Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Kumohon Tuhan
Liburan sudah usai, semester baru pun dimulai. Waktu itu Ghani dan aku sedang dalam perjalanan pulang setelah menghadiri acara resepsi anak dari salah satu dosen senior universitas ketika sebuah panggilan masuk ke ponsel Ghani. Dia di kalakian menepikan mobil untuk mengangkat telepon tersebut. “Halo?”
Sayup-sayup terdengar suara seseorang dari ujung sana.
“Iya, gue lagi bareng Kayra, nih. Bentar, gue kasih teleponnya ke dia. Tunggu.” Ghani kemudian menyerahkan ponselnya kepadaku. “Rian.”
Aku menatap Ghani dengan heran. Kenapa Bang Rian menelepon Ghani hanya untuk berbicara denganku? Yang kutatap hanya mengedikkan bahunya.
Ah, iya! Aku lupa mengaktifkan nada dering ponselku. Kuambil benda itu dari tangan Ghani dan mendekatkannya ke telinga setelah menyiapkan jiwa dan raga untuk menghadapi omelan dari si cerewet itu. “Ya, Bang?”
“Hapemu di mana sih, Dek? Dari tadi Abang telepon enggak pernah diangkat. Abang cemas tahu, Dek.” Nah, kan. Diomelin.
“Di dalam tas, Abang, tadi Kayra silent soalnya lagi di acara nikahannya anak Pak Amir. Kenapa Abang telepon aku?” Mengalihkan isu pembicaraan adalah langkah yang paling tepat saat ini.
“Abang mau mastiin jumlah undangan buat kamu. Soalnya besok Abang mau ke Padang, biar sekalian Abang bawain. Kalau nunggu kamu pulang nanti kelamaan.” Sekarang calon pengantin pria juga mulai ikut-ikutan rempong ngurusin undangan. Maklumlah, acaranya kurang lebih hanya tinggal satu bulan lagi.
Sambil mendengarkan ocehan Bang Rian, aku melirik Ghani yang sedang asik memerhatikan lalu lintas di luar mobil yang berhenti. “Bawain lima puluh buah aja dulu, Bang, soalnya nanti kan aku cuma ngundang orang jurusan sama beberapa dosen yang aku kenal. Teman-teman yang mau diundang di sini juga enggak banyak. Kayra rasa segitu aja dulu udah cukup.”
“Oke deh. Eh, jangan lupa bilangin Ghani harus udah ada di rumah sebelum acara nikahannya, ya. Gak benar kalau dia gak datang sebelum itu.”
Aku memutar bola mata. Entah apa obsesinya terhadap kehadiran si Ghani. “Iya, iyaaa. Nanti Kayra tanya Ghani dulu.”
Ghani menoleh padaku saat mendengar namanya disebut. Dia serta-merta mengangkat kedua alis matanya, mengekspresikan pertanyaan yang ada di dalam kepala. “Udah ya, Bang, kita mau lanjut jalan dulu.” Aku lantas menutup telepon tanpa mendengar balasan dari Bang rian dan mengembalikannya pada Ghani.
“What?” Ghani bersuara sambil menerima ponselnya dariku. "Si Calon Manten bilang apa emangnya?"
Mau tidak mau aku mendesah dengan dramatis karena kedramatisan abangku yang satu itu. “Bang Rian mau minta kamu ada di rumah sebelum acara nikahannya. Aku gak nyangka ternyata cowok juga bisa se-excited itu soal acara pernikahan, ya. Aku soalnya gak lihat itu pas Bang Bian nikah. Secara, kan, doi kalem bin teang banget jiwanya.” Aku tahu-tahu tergelak mengingat kejomplangan sikap dan sifat kedua kakakku di rumah.
Namun, ternyata Ghani tidak berbaginsentimen yang sama denganku. Dia kini malah mengenakan ekspresi yang agak kelam. Matanya menatap sesuatu, jauh dari hal-hal yang ada di depan kami. “Yeah. Benar. Seorang laki-laki bisa se-excited dan se-mcemas itu soal hari penting mereka,” ulangnya dengan senyum yanh simpul dan mata yang masih menerawang.
Tiba-tiba aku menjadi merasa bersalah pada Ghani. “I’m so sorry, Ghan. Really sorry,” ucapku dengan lirih setelah menyadari kesalahan.
Ghani kemudian kembali menatapku. Senyumnya kembali melembut. Matanya kembali meneduh. “Nothing to sorry about. I’ll try to rearrange my schedule for that week and see if I canmake it.”
“Bang Juno pasti senang banget kalau kamu bisa hadir dari awal. Makasih banyak ya, Ghan. Thank you so much.”That’s how dearly Ghani is.
****
Kalau saja ada orang yang sedang jatuh cinta binasa karena lantaran dia berpisah dengan kekasihnya, maka hal itu maklum adanya. Mengapa? Karena begitu berat beban kesedihan yang harus ditanggungnya. Apalagi bila perpisahan itu terjadi, segala harapan telah sirna, segala dambaan hati telah tiada dan segala suka menjelma duka. Dalam kondisi seperti itu, siapa pun yang keras hatinya akan luluh seketika. Sesungguhnya, pada saat-saat perpisahan, segala lambaian tangan, tatapan dan lelehan air mata akan merobek-robek hati sekaligus menebarkan aroma kesedihan yang mendalam. –Ibnu Hazm El Andalusy.
Disakiti dan menyakiti akan berdampak sama padamu; kau akan hidup dengan rasa sakit selamanya. Kalaupun tidak selamanya, katakanlah waktu di mana kau mengingat rasa itu akan sedikit lebih lama daripada saat kau lupa. Rasa itu akan menggerus hari-harimu, menguras air mata. Aku pernah mencintai dan disakiti. Sudah aku ceritakan padamu bagaimana sakitnya. Dan setelahnya, aku menyakiti lalu mencintai. Menyakiti orang yang mencintaiku, akan tetapi setelah dia pergi, akhirnya aku sadar bahwa aku telah mencintainya dan rasa itu cukup untuk membuatku setengah mati (lagi).
Iya, iya, iya. Aku sekarang memang masih memikirkan kebodohan yang kulakukan terhadap Alex. Setelah sekian lama, this year will be its fourth anniversary for God’s sake, dia masih di sana. Di pelupuk mata, di tengah hati, di akhir hari, di dalam mimpi. Ayolah! Aku masih jalan di tempat, tidak mau beranjak dari keadaan ini sebenarnya. Setelah empat tahun, aku masih saja meratapi keputusan payahku.
Aku (dulu) sempat menyalahkan Alex karena tidak memberitahuku apa pun tentang keseriusannya. Aku (juga) pernah menyalahkan Bang Rian yang tidak memberitahukan hal yang diberitahukan Alex padanya. Aku bahkan menyalahkan Alex dan status sosial selangitnya karena tidak memberiku kesempatan kedua setelah mengingkari janji sendiri. Namun, semakin hari, aku semakin menyadari bahwa salah sebenarnya ada di pundakku. Aku yang sudah berjanji, aku sendiri yang mengingkari. Kini aku harus menikmati sakit akibat karma yang kuciptakan sendiri. Menikmati patah hati, kalau aku boleh meminjam istilah yang dipakai Bang Rian. Terima kasih.
Ghani (malah) ikut mendukung ke-tidak-move-on-anku karena dia yakin pasti ada yang belum selesai di antara Alex dan aku. (Apanya yang belum selesai?). Dia akan selalu bilang satu hal yang sama saat aku mengeluhkan ketidakmampuanku menyudahi perasaan. “You’ll ready when you’re ready, Kay. Enggak usah dipaksakan, percayakan saja semuanya sama waktu Tuhan.” Itu.
“You won’t get anywhere if you’re trying so hard to erase him. You will end up remembering all
the things you want to forget. Just enjoy it. Let it be. Whenever he cross your mind, share it. Don’t fight back, it’s useless. Got me? You know I will always be by your side.” Ghani menyentil keningku dengan telunjuknya. Aku tersenyum sementara menunduk. (Masih) malu.
Tuhan, andai saja Ghani benar, bahwa semua ini keputusan-Mu, bisakah aku memohon? Kalau memang ada urusan di antara Alex dan aku yang belum selesai, Tuhan, kalau saja memang semuanya tergantung waktu-Mu, maukah Kau menyegerakannya? Rasanya berat, Tuhan, harus menjalani hari-hari dengan hati seperti ini. Kumohon, Tuhan, segerakan. Aku hanya ingin lepas dari sesak yang sudah empat tahun menggerogoti. Aku mohon.
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️