Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Suara adzan subuh mengalun lembut dari masjid di ujung jalan.
Seperti biasa, dentingnya menembus sunyi kamar, menyusup ke telinga Rangga yang masih terpejam.
Dengan enggan, ia membuka mata. Udara pagi yang dingin menyelinap dari sela-sela jendela yang sedikit terbuka.
Di sebelahnya, Nayla istrinya masih terlelap dengan lengannya melingkar erat di pinggang Rangga, seolah enggan melepaskannya dari pelukan malam.
Semalaman, Rangga nyaris tak bisa tidur. Bukan karena mimpi buruk atau gelisah, tapi karena pelukan yang erat dan dalam, seolah penuh makna.
Ia tidak tega memindahkan tangan istrinya, takut membangunkannya, meski tubuhnya mulai kaku tertahan posisi.
Dengan hati-hati, ia melepaskan diri dan bangkit dari tempat tidur.
Suara air kran di kamar mandi memecah keheningan pagi.
Saat membuka celana, ia mendapati sesuatu yang membuatnya terdiam sejenak dan melihat celananya yang basah.
Rangga langsung mendesah panjang ketika si mungil mengeluarkan semburannya.
"Lega sekali rasanya," gumamnya sambil membersihkan diri.
Tapi benaknya tak bisa berhenti memutar ulang peristiwa semalam atau lebih tepatnya, keheningan di antara mereka.
Nayla membuka matanya dan ia melihat dirinya yang sedang berada di kamar utama.
"Bukankah aku semalam tidur di ruang keluarga?" gumam Nayla.
Karena mengantuk sekali akhirnya semalam Nayla ketiduran di depan televisi.
Ia tidak tahu jam berapa suaminya pulang ke rumah dan membopongnya ke kamar utama.
Nayla duduk perlahan di atas ranjang. Selimut yang masih menutupi kakinya perlahan ia singkap.
Udara pagi yang menyelinap lewat celah jendela membuatnya menggigil sedikit.
Matanya melirik ke arah kamar mandi yang pintunya tertutup rapat, tapi dari balik sana terdengar suara aliran air yang belum berhenti.
Pintu kamar mandi terbuka perlahan, mengeluarkan uap tipis dari dalam.
Rangga keluar dengan rambut masih basah, handuk melilit lehernya. Pandangan mereka bertemu sesaat.
"Sudah bangun?" tanya Rangga datar, tapi tidak dingin.
Nayla mengangguk pelan. "Mas Rangga yang membopongku ke sini?"
Rangga mengangguk tanpa kata. Ia berjalan ke arah lemari, membuka pintunya dan mengambil baju ganti.
Tangannya bergerak cepat, seolah ingin menyibukkan diri, tapi matanya beberapa kali melirik Nayla dari sudut pandang.
"Maaf aku ketiduran," ucap Nayla, berusaha mengisi kekosongan di antara mereka.
"Tidak apa," jawab Rangga singkat. Ia duduk di tepi ranjang, punggungnya menghadap Nayla. Hening kembali melingkupi kamar.
Nayla ingin berkata sesuatu, tapi ragu. Ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka, dan pagi itu seolah terlalu rapuh untuk membukanya.
"Lekaslah mandi, aku akan menunggumu di ruang makan." ucap Rangga.
Nayla menganggukkan kepalanya dan ia pun langsung bangkit dari tempat tidur.
Langkah Nayla tertahan sejenak di ambang kamar mandi.
Suara air menetes dari kran bocor di wastafel menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Ia menatap bayangannya di cermin.
"Mas Rangga, apakah kamu sudah membuka hatimu?" gumam Nayla.
Air hangat menyentuh kulitnya, tapi tak cukup menghapus beban yang menempel di pikirannya.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan napas, mencoba melupakan percakapan yang tidak pernah sempat terjadi yang mungkin takkan pernah benar-benar bisa mereka mulai.
Sementara itu, di ruang makan, Rangga duduk menatap kosong ke cangkir kopi yang mengepul perlahan.
Ponselnya tergeletak di meja, layar menyala sesaat sebelum redup kembali.
Ia belum menyentuh sarapan yang telah disiapkan Bi Ina sejak tadi.
Setelah selesai mandi, Nayla mengenakan pakaian kerjanya.
Ia segera turun ke bawah, tempat suaminya, Rangga, sudah menunggunya di ruang makan.
Rangga menatap wajah istrinya yang baru saja selesai mandi, dengan rambut yang masih sedikit basah dan terurai indah.
"Ayo, Mas, kita sarapan dulu," ucap Nayla sambil mengambilkan sepiring nasi goreng untuk suaminya.
Rangga menerima piring itu dan mulai menikmati sarapannya.
Namun, matanya tak bisa lepas dari wajah Nayla. Istrinya itu terlihat begitu cantik pagi ini, dalam balutan sederhana yang justru menambah pesonanya.
"Kenapa jantungku berdetak sekencang ini?" pikir Rangga.
"Apakah aku… jatuh cinta pada Nayla?"
Lamunannya buyar saat Nayla menepuk pelan tangannya.
“Mas Rangga kenapa? Mas sakit?” tanya Nayla, nada cemas terdengar jelas.
Rangga menggeleng pelan. Ia menyunggingkan senyum kecil, mencoba menenangkan hati Nayla, sekaligus menyembunyikan gejolak yang sedang berkecamuk dalam dirinya.
Ia belum siap jatuh cinta pada Nayla. Tidak sekarang. Tidak ketika hatinya masih terikat pada janji yang pernah ia ucapkan kepada Anita yang sudah berjanji untuk tidak mencintai wanita lain selain dirinya.
Setelah menghabiskan sarapannya dengan terburu-buru, Rangga berdiri dan memandang Nayla.
“Tunggu sebentar, ya. Aku ada keperluan,” ujarnya singkat.
Nayla hanya mengangguk, kembali melanjutkan sarapannya meski raut wajahnya menyimpan tanya.
Rangga mengambil kunci mobilnya dan melangkah keluar.
Tak lama, mobilnya melaju tenang di jalan pagi yang sepi, menuju tempat yang selalu membuat hatinya remuk.
Di bawah langit yang mendung, Rangga berdiri mematung di hadapan pusara Anita.
Angin pagi berhembus pelan, membawa harum bunga kamboja yang jatuh dari pohon di dekat makam.
Suasana sunyi, hanya suara dedaunan yang bergesekan yang menemani keheningannya.
Ia berlutut perlahan, tangannya meraba nisan batu yang mulai dipenuhi lumut.
Mata Rangga menatap nama yang terukir di sana dengan tatapan sayu, lalu ia berbisik lirih, seolah Anita masih bisa mendengarnya.
“Maafkan aku, Nit…” suaranya parau. “Aku mencoba menepati janjiku. Tapi hati ini mulai goyah…”
Ia menunduk, genggamannya mengepal.
“Nayla baik, sangat baik. Dia tulus… dia perhatian… dan aku mulai merasa nyaman di dekatnya. Aku takut, Nit. Takut kalau perasaan ini berubah jadi cinta. Tapi aku juga lelah terus membohongi diri sendiri.”
Butiran air mata menetes pelan dari sudut matanya. Ia tidak menjerit, tidak menangis kencang.
Tapi kesedihan itu terasa begitu dalam, sunyi, dan menghancurkan dari dalam.
“Aku masih mencintaimu. Tapi Nayla sekali sudah menjadi istriku."
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dedaunan berjatuhan di sekitarnya, seperti ikut menangisi kebimbangannya.
Setelah beberapa saat, Rangga berdiri dan menatap makam itu untuk terakhir kalinya pagi itu.
“Aku akan selalu datang ke sini. Tapi mungkin saatnya aku membuka hati, perlahan.”
Ia membalikkan badan dan melangkah pergi, meninggalkan pusara Anita dengan hati yang masih penuh luka namun sedikit lebih ringan
Mobil Rangga berhenti perlahan di depan rumah. Ia mematikan mesin, namun tidak segera keluar. Kepalanya bersandar di setir, matanya terpejam sejenak.
Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya,bukan karena ia sudah melupakan Anita, tetapi karena ia mulai menerima kenyataan bahwa hidup terus berjalan.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya keluar dari mobil dan melangkah masuk ke rumah.
"Ayo Mas kita berangkat kerja." ajak Nayla yang sudah siap.
Rangga menganggukkan kepalanya dan ia langsung mengajak istrinya untuk berangkat ke rumah sakit.