"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”
Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.
Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.
Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
honeymoon
Saat Yasa hendak berangkat kerja, telefon dari mama menghentikan langkahnya.
"Yasa kamu itu dimana sih sebenernya, mama sampai nyamperin kamu loh ke rumah tapi kamu ngga ada. Daritadi mama telfonin ngga di angkat" teriak mamanya membuat Yasa sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Aku tinggal di apartemen Yara ma. Ada apa sih"
Yara yang mendengar namanya disebut pun menoleh kearah Yasa seolah bertanya 'Ada apa?'
"Mama udah pesenin tiket pesawat dan tiket hotel untuk kamu honeymoon di Jepang" ucap mamanya dari seberang sana
"Apa? Ma ngga bisa seenaknya gitu dong, aku belum ngomong sama Yara. Kami juga belum packing"
"Yasa kamu jangan banyak cincong deh, semua udah disiapin disana. Kalau soal baju tinggal beli yang baru"
"Ma ngga bisa di cancel aja? Kerjaan aku gimana?"
"Ngga bisa Yasa! Mama udah pesan kamar sampai seminggu! Mama ngga mau rugi pokoknya. Soal pekerjaan kamu biar papa yang handle. Malam ini kamu berangkat, titik"
Mama Vanesha langsung menutup telfonnya begitu saja
"Kenapa?" Tanya Yara yang sedari tadi sudah penasaran
"Mama nyuruh kita honeymoon, tiket pesawat dan kamar hotel udah dipesen mama"
"Apa? Aku ngga mau aku udah terlalu lama aku ngga masuk kerja"
Yasa menyeringai "Kalau kamu berani, coba saja tolak nyonya besar haha" Yasa tertawa, mungkin kalau dengannya Yara berani membantah, tapi kalau ibunya pasti Yara tidak berani.
"Yasa kamu ngga bisa coba bujuk mama?"
"Apa kamu bilang tadi?" Yasa menatap tajam
"Eh, suamiku kamu coba bujuk mama ya. Aku ngga enak terlalu lama cuti. Lagian buat apa coba kita honeymoon orang nikahnya juga terpaksa"
Yasa merangkul pundak Yara
"Sudahlah tidak usah pikirkan kerjaanmu itu, aku bisa membelinya jika hanya itu yang kau khawatirkan. Kita bisa jalan-jalan saja kan?" Yasa menaikturunkan alisnya
Yara menghela nafasnya dia tahu tidak mungkin baginya menolak Yasa dan keluarganya
"Memangnya kita akan kemana?" Tanya Yara
"Mama udah pesen ke Jepang"
Yara melotot "Ke luar negeri?"
"Iyalah, kamu pikir"
"Aku kira ke Bali atau kemana gitu"
"Udahla kita harus siap-siap, kita berangkat malam"
Lagi-lagi Yara melotot "Malam ini?"
"Malam tahun baru" Ucap Yasa sambil berjalan menuju kamar meninggalkan Yara
"Yasaaaa yang bener" Yara mengikuti jejak Yasa
Mendengar Yara memanggil namanya dia berhenti dan menatap tajam ke arah Yara
"Eh maksudnya Suamiku" dia nyegir lucu
Yasa dan Yara pun memanfaatkan waktu yang ada untuk packing barang dan istirahat, karena nanti malam mereka akan berangkat.
Bandara Soekarno-Hatta — Malam hari
Udara malam terasa dingin menusuk tulang begitu mereka tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Langit gelap, tapi area keberangkatan internasional justru terang benderang dan penuh aktivitas. Orang-orang berlalu lalang dengan langkah cepat ada yang menarik koper, ada yang sibuk mengecek boarding pass, dan ada pula yang hanya berdiri memeluk keluarganya dengan wajah berat hati.
Petugas bandara yang mengenakan seragam rapi berdiri di beberapa titik, mengarahkan penumpang ke jalur masing-masing. Suara pengumuman bandara bergema pelan di seluruh penjuru ruangan, menyebutkan jadwal keberangkatan dan nomor gate dengan intonasi formal yang khas.
Di tengah keramaian, Yasa dan Yara terlihat sedang duduk menunggu
"Aku belum pernah naik pesawat sebelumnya" ucap Yara sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung
"Kamu bisa tidur nanti, mama pesan tiket first class"
Yara melotot "bukannya mahal ya"
"Ngga, biasa aja"
Yara mengerucutkan bibirnya, ya harusnya dia sudah tahu keluarga suaminya.
----
Begitu melewati lorong pesawat dan masuk ke kabin first class, Yara nyaris melongo. Ini jauh dari bayangannya tentang naik pesawat. Bukan kursi, tapi lebih mirip ruang pribadi kecil yang elegan. Setiap penumpang mendapat pod pribadi lengkap dengan kursi yang bisa diubah menjadi tempat tidur, layar hiburan besar, dan lampu baca eksklusif.
Interiornya didominasi warna lembut krem, abu muda, dan coklat kayu. Cahaya lampu ambient yang hangat memantul pelan dari dinding kabin yang halus. Ada aroma samar parfum mahal yang menciptakan kesan tenang dan premium.
Begitu mereka duduk dan mengenakan sabuk pengaman, seorang pramugari mendekat. Senyumnya ramah, seragamnya rapi dengan logam kecil bertuliskan namanya Aiko.
"Ada yang ingin dipesan untuk makan malamnya?" tanyanya sopan sambil menunjukkan menu elektronik.
Yara menatap menu sebentar lalu menjawab, "Saya pesan Wagyu donburi dan salmon panggang, terima kasih."
Pramugari itu terdiam sejenak, seolah kaget, sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum tulus.
"Baik, akan segera kami siapkan," ucapnya, lalu berlalu.
Yara menoleh ke Yasa. "Kok dia kaya kaget gitu ya?"
Yasa menjawab santai tanpa menoleh, "Mereka jarang mendapatkan ucapan terima kasih."
Yara mengernyit. "Bukannya harusnya orang yang berada dan berpendidikan tinggi lebih punya sopan santun?"
Yasa menoleh, tersenyum miring. "Ya, tapi mereka gengsi."
Yara hanya mengangguk pelan. Ada yang terasa mengganjal di dadanya, seolah baru menyadari realita kecil tentang dunia yang jarang ia perhatikan.
Tak lama, makanan datang disajikan di atas meja kecil yang bisa dibuka dari sisi kursi. Penyajiannya mewah, serba minimalis tapi elegan. Yara makan perlahan, menikmati setiap suapannya.
Tapi setelah makan, rasa mual mulai menyerang.
"Perutku agak aneh. Aku mual," keluh Yara sambil menyandarkan kepala ke kursi.
"Jetlag," jawab Yasa pendek. "Tidur aja. Nanti juga hilang."
"Aku udah coba, tapi susah banget tidur," sahut Yara sambil membolak-balik posisi tidurnya, gelisah seperti anak kecil.
Yasa menghela napas lalu menekan tombol kursinya agar posisi tidurnya lebih datar. Ia memindahkan sekat kecil di antara mereka agar bisa lebih dekat, lalu tanpa bicara memeluk Yara dari belakang dan mengelus pelan punggungnya.
"Tenang aja… tidur," ucapnya pelan di telinga Yara.
Suara napas Yasa yang teratur, hangat pelukannya, dan gerakan lembut di punggungnya perlahan membuat Yara mengantuk. Tak lama, ia pun terlelap dengan tenang di pelukan suaminya.
----
Setibanya di bandara Tokyo, cuaca sejuk langsung menyapa kulit mereka. Sebuah mobil hitam sudah menunggu tepat di depan pintu kedatangan. Sopir berseragam rapi membukakan pintu untuk mereka dengan senyum sopan. Yasa menggandeng tangan Yara masuk ke dalam mobil, lalu keduanya duduk nyaman menikmati perjalanan menuju hotel.
Sesampainya di hotel yang modern namun tetap mengusung sentuhan tradisional Jepang, Yasa langsung menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Yara merapikan barang-barang mereka terlebih dahulu, menyusun koper, menggantung beberapa pakaian, dan menata perlengkapan pribadi di meja kecil dekat jendela. Setelah itu, ia pun menyusul Yasa mandi.
Mereka turun ke restoran hotel untuk sarapan. Interior restoran bergaya minimalis Jepang, dengan jendela besar yang menghadap taman zen dan kolam ikan koi. Meja sarapan penuh dengan pilihan menu khas Jepang; mulai dari onigiri, miso soup, tamagoyaki, grilled fish, hingga nasi putih dan natto.
"Ini apa?" tanya Yara sambil menunjuk sejenis kacang berlendir yang asing di matanya.
"Itu natto. Fermented soybeans. Cobain, enak... kata orang-orang," jawab Yasa sambil tertawa pelan.
Yara mengernyit, mencicipi sedikit, dan langsung minum jus jeruknya, “Hmm… yang ini ngga dulu deh. Aku pilih ini aja,” ia menunjuk tamagoyaki dan grilled salmon.
Yasa mengangguk sambil senyum. "Klasik banget seleramu."
Setelah sarapan, mereka kembali ke kamar hotel.
"Kita mau ngapain?" tanya Yara sambil berusaha mengimbangi langkah cepat Yasa.
"Tidur lah," jawab Yasa santai.
"Tidur?" Yara menatapnya tidak percaya. “Kita ngga jalan-jalan?”
Langkah Yasa tiba-tiba berhenti, membuat Yara yang berada di belakang menabrak punggungnya.
"Kamu mau jalan-jalan?" tanya Yasa dengan wajah serius, tapi matanya penuh kepura-puraan.
Yara diam, kesal.'Huh, ngga peka banget sih jadi cowok. Buat apa jauh-jauh ke sini cuma buat tidur, dirumah juga bisa tidur' pekiknya dalam hati
"Ngga usah lah ya. Tidur aja dulu. Kan baru nyampe. Besok aja jalan-jalannya. Lagian aku udah bosan ke sini," Yasa menambahkan dengan nada menggoda, dia tau Yara pasti kesal karena ingin jalan-jalan tapi dia akan menunggu Yara merengek.
'Yang bosan itu kamu, bukan aku!' Yara memanyunkan bibirnya
"Yaudah, kalau gitu aku pergi sendiri aja!" Yara berbalik, tapi langsung ditarik Yasa.
"Haha, oke baiklah kita jalan-jalan, Yara. Jangan ngambek gitu dong."
Sepertinya sebuah kesalahan untuk menjahili wanita mandiri seperti Yara
"Siapa yang ngambek," sanggah Yara cepat, meskipun ekspresi mukanya sudah ketahuan.
Mereka segera naik ke atas dan bersiap-siap terutama Yara yang sudah sangat bersemangat. "Kita jalan-jalan naik apa?" tanya Yara.
"Jalan kaki."
"Hah?" Yara melongo.
Yasa tertawa melihat wajah Yara yang polos.
"Ck! Kamu nyebelin banget sih!" Yara memukul pelan lengan Yasa.
"Kita bakal naik mobil. Kan udah dibilang semua udah disiapin Mama, termasuk transportasi."
Yara mengangguk paham
To be continued