Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetangga Baru
"Saya nggak di salami, Mbak?" protes Bagas pada wanita anggun di depannya.
Bu Ratna langsung menginjak lagi kaki Bagas hingga laki-laki itu memekik pelan untuk kedua kalinya.
"Ibuk, kenapa injak kaki aku?" tanya Bagas pada wanita paruh baya di sampingnya.
"Yang sopan kamu! Malu-maluin aja!" ucap Bu Ratna dengan mata yang melotot kearah Bagas.
"Iya, iya. Maaf." Bagas tersenyum malu-malu kearah Vani. Laki-laki berusia delapan belas tahun itu ternyata langsung terpikat oleh kecantikan Vani yang apa adanya.
"Maafin Bagas ya Mba Vani. Dia anaknya emang gitu. Mulutnya suka jahil."
Vani hanya mengulum senyum melihat tingkah konyol Bagas. Dasar, bocah! bisik Vani sembari menggeleng pelan.
"Nggak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak, eh ...!" Vani langsung membekap mulutnya sendiri. Merasa sudah salah ucap hingga membuat laki-laki di depan sana mendengus dengan wajah tidak suka.
"Saya emang bocah, Mba. Tapi juga udah bisa bikin bocah."
Pletak!
Satu jitakan keras mendarat di kepala Bagas. Bu Ratna semakin melotot mendengar ucapan Bagas yang semakin lama tambah ngawur saja.
"Udah ah, lama-lama Mba Vani bisa jantungan kalau dengar kamu ngomong. Mba Vani, Ibu pulang dulu ya? Maaf sekali lagi sama anak Ibu yang satu ini." Menunjuk pada wajah Bagas.
Bu Ratna menarik tangan Bagas dan memaksa laki-laki muda tadi untuk mengikutinya.
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Sekali lagi makasih oleh-olehnya."
Bu Ratna dan anaknya sudah berlalu dari rumah Vani. Saatnya untuk wanita itu masuk dan bersih-bersih sebelum menyambut kepulangan Faisal.
Setelah selesai mandi, Vani beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan memilih beberapa bahan masakan. Malam ini Vani ingin membuatkan nasi goreng untuk Faisal. Kebetulan ia juga belum makan sejak sore tadi.
Jam sudah menunjukkan angka sembilan. Nasi goreng lengkap pun sudah terhidang di atas meja makan. Tapi, orang yang Vani tunggu belum juga menampakan diri. Vani duduk menunggu kepulangan suaminya hingga bosan sendiri.
"Ke mana kamu, Mas? Apa kamu masih marah?" Vani berbisik sendiri mengingat pertengkarannya padi tadi dengan Faisal.
Jika di pikir, Vani lah yang seharusnya marah karena Faisal malah menuduhnya berbohong. Tapi, bagi Vani untuk apa memperpanjang masalah? Ia akan tetap berusaha menghormati laki-laki itu.
Hingga pukul sepuluh malam Faisal belum juga sampai di rumah. Vani lelah sendiri menunggunya. Nafsu makannya pun menghilang sudah. Vani melirik dua piring nasi goreng yang belum tersentuh sana sekali. Ia bangkit dan melangkah gontai meninggalkan meja makan menuju kamarnya.
.
.
.
Di Rumah Bu Widia.
"Ini enak, Mas. Beli di mana?" Luna makan dengan lahap hidangan yang tersaji di depannya. Tadi jam sembilan lebih Faisal pulang dari kantor langsung mampir ke rumah sang ibu dengan membawa berbagai macam makanan dari restoran siap saji.
"Istrimu suruh ke sini dulu, Nak. Biar bisa makan bareng," usul Pak Harjo pada anak lelakinya.
"Ngapain sih, Pak, pakai suruh Vani ke sini? Palingan dia udah makan duluan di rumah." Bu Widia terlihat tak suka dengan usulan suaminya. Bagus malahan jika Vani tidak ada di sini, pikirnya.
"Jangan seperti itu, Bu. Bagiamana pun Vani itu istrinya Faisal. Dan harusnya makanan ini langsung kamu bawa pulang, Nak, bukan malah di bawa ke sini." Pak Harjo menasehati putranya. Tapi, dua wanita di depan sana langsung mendengus tak suka. Entah apa yang terjadi dengan mereka hingga keduanya sangat membenci Vani.
"Udahlah, Pak. Ngapain sih mikirin Mba Vani. Dia udah gede, Pak. Kalau laper ya bisa masak sendiri." Luna ikutan sependapat dengan Bu Widia.
"Kamu juga, Lun, kenapa malah ikutan membela Ibu? Kasihan Mbak–mu itu lho di rumah sendiri. Mbok sana panggil dulu suruh ke sini."
"Ogah, Pak. Buat apa? Malah bagus makanan ini buat aku semua. Kalau ada Mba Vani ke sini, nanti aku nggak kenyang dong?" Masih mengunyah dengan mulut penuh makanan.
Pak Harjo menggeleng menyaksikannya kelakuan istri serta kedua anaknya. Tidak menyangka saja jika menantunya akan diperlakukan seperti itu oleh keluarganya sendiri.
"Nak, kamu tega biarin Vani makan sendiri di rumah?" Pak Harjo beralih pada Faisal lagi. Herannya Faisal terlihat santai sekali sambil tangannya sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Biarin ajalah, Pak. Aku lagi males," jawabnya kurang semangat.
"Tuh, kan. Faisal aja males, apalagi kita. Ya, kan Bu?" Luna menyambar lagi.
"Biarin ajalah, Pak. Buat apa sih Bapak pusing mikirin Vani. Kurang kerjaan amat!" Bu Widia melengos. Ketiganya nampak kompak sekali untuk mengabaikan Vani. Lain halnya dengan lelaki tua itu yang merasa prihatin dengan nasib Vani.
Maafkan Bapak ya, Van. Udah buat hidup kamu menderita seperti ini. Seandainya dulu Bapak nggak jodohin kamu sama Faisal. Mungkin hidup kamu nggak kayak gini. Pak Harjo membatin dengan penuh penyesalan. Niatnya ingin ikut menjaga Vani menggantikan almarhum ayahnya malah berakhir menyedihkan. Andai saja kedua orangtuanya Vani masih ada, pasti mereka akan sangat marah mengetahui putri semata wayangnya di perlakukan seperti ini.
"Tambah ini lagi, Lun, ini enak lho." Bu Widia mengambil udang goreng dan meletakkan di piring Luna.
"Aku juga mau, Bu." Kini gantian Faisal meminta pada sang ibu untuk mengambilkannya.
"Bapak mau ndak? Ini enak lho, Pak. Mumpung Faisal lagi ada duwit buat beliin." Bu Widia menatap pada suaminya yang sejak tadi diam dan tidak ikut menikmati makanan di depannya. "Ibu ambilkan ya?"
"Ndak usah, Bu. Bapak udah kenyang. Kalian habisin aja semua." Pak Harjo bangkit dari kursi makan dan melangkah pelan melewati pintu ruangan itu.