Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bukan Siapa-Siapa
Di sore hari, matahari sudah terlihat tenggelam menyambut kegelapan, sehingga hanya menyisakan senja dengan warna indah di bagian barat.
Saat ini, Alena tengah bersantai di balkon kamar Audrey sembari menikmati senja dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya, terasa sangat sejuk. Rambut coklat panjangnya yang sudah tidak di ikat berterbangan mengikuti arus ke mana angin pergi, sehingga sesekali gadis itu harus menyingkirkan rambut yang terbang menutupi pandangannya.
Alena melihat-lihat rumah di kawasan elite itu. Tidak ada rumah satu tingkat, apalagi rumah kumuh. Minimal dua tingkat, itu pun lumayan besar. Benar-benar kawasan orang kaya.
Alena menoleh ke arah Audrey yang sedang tidur, hanya melihat sosoknya yang terbaring. Pandangannya ke depan lagi terlihat termenung.
Setengah jam yang lalu ... Audrey mencurahkan hatinya, semua masalahnya, unek-uneknya, seakan-akan tidak punya kesempatan untuk melakukan ini lagi.
Alena mengingat bagaimana bibirnya berucap terbata sesenggukan karena tangisan yang tidak berhenti, matanya sembab dan merah karena terlalu lama menangis sambil memeluknya. Dia juga mengucapkan 'jangan tinggalin gue' berkali-kali.
Mungkin terlalu lelah dan menangis terlalu lama, sehingga dia tertidur di pelukannya. Saat itu Alena langsung membaringkannya dan menutupi tubuhnya yang masih terbalut seragam dengan selimut.
Alena tidak pernah membayangkan dia akan menunjukkan sisi rapuhnya kepada dirinya. Apakah Dhita dan Risha pernah berada di posisinya tadi yang melihat sisi rapuh Audrey? Sepertinya tidak. Audrey menceritakan semua masalah tentangnya yang sudah sebagian Alena tahu. Sahabat kecilnya, adiknya, keluarganya, cinta pertamanya.
Alena bertanya-tanya, mengapa Audrey menceritakan hal yang bisa di sebut rahasia juga tahu kepadanya? Bukannya ia hanya orang baru? Apakah Audrey menaruh kepercayaan kepadanya? Alena tidak bisa mengetahui jawaban itu.
Namun, Alena akan berusaha untuk memegang kepercayaan Audrey kepadanya, karena semua yang Audrey curahkan merupakan keinginan sendiri untuk mengatakannya, jadi ia akan menyimpan semuanya baik-baik.
Mengingat nasib Audrey di novel itu, Alena menghela nafas gusar. Lalu saat terpikir sesuatu, ekspresinya terlihat bersungguh-sungguh. "Aku emang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan biarin mereka menderita seperti alurnya."
Alena memeriksa ponsel, keningnya langsung mengernyit. Tadi ia tidak mengecek dan mendengar suara ponsel karena sibuk menenangkan Audrey, lalu sekarang ... ada banyak panggilan tak terjawab dari kakak dan mamanya.
Apa pak Adi tidak bilang apa-apa? Alena langsung mengecek WhatsApp.
Dan ... benar saja,
...WhatsApp...
^^^Pak Adi^^^
^^^| Nona Alena, saya minta Maaf. Mobil yang saya tumpangi waktu mau pulang ke rumah Non, mogok. Baterai hp saya mau habis, jadi saya belum sempat memberitahu Nyonya tentang Non Alena yang main ke rumah temen Non. Jadi, sekarang Non Kasih kabar ke orang di rumah biar mereka gak cemas.^^^
Itu adalah pesan dari dua jam yang lalu. Walaupun Alena tidak terlalu asing dengan jalanan di sekitar rumah Audrey, yang menjadi masalah adalah jaraknya yang cukup jauh. Jika berangkat sekolah dari rumah Audrey dengan kendaraan, maka memakan waktu dua puluh menit melewati rumahnya.
Jika saja mobil yang mogok diperbaiki dari tadi, bisa saja sekarang sudah selesai, itu pun jika ada bengkel di dekat tempat mogoknya mobil. Bagaimana jika tidak?
"Mungkin sekarang pak Adi belum pulang," gumam Alena seraya menghela nafas berat. Mengingat wajah Berliana saat marah, ia bermonolog. "Hah ... omelan Mamah pasti jadi santapan malam ini."
Alena menoleh ke belakang lagi di mana Audrey masih tertidur pulas. Alena takut mengganggu karena dia akan menelepon Ravael untuk mengabari. Ia tidak berani menelepon mamanya, tidak siap untuk menerima omelan panjang.
Drrt Drrt. Alena tersentak kaget mendengar suara dering ponsel di tangannya. Ia lantas menutupi suaranya agar tidak terlalu berisik. Melihat nama yang tertera di sana, matanya menyala. Kebetulan itu adalah Ravael menelpon duluan.
Alena langsung mengangkatnya. "Hall—"
"Dek?! Sekarang kamu di mana?! Tadi Mamah telepon kakak waktu kakak masih di sekolah, Mamah nanyain, kamu sama kakak gak? Tapi kamu gak ada di sini lho! "
"Iy—"
"Sekarang kamu di mana dek?! Pak Adi juga gak aktif! Kamu gak pa-pa, kan?!"
"Kak—"
"Sekar—"
"Kak Rava!" Dengan kesal Alena berteriak.
Bagaimana ia bisa berbicara? Dari tadi dia bertanya berturut-turut memotong ucapannya. Setelah sadar, Alena menutup mulut dengan tangan.
Apakah teriakannya terlalu kencang? Dengan hati-hati ia menoleh ke belakang. Helaan nafas lega langsung keluar. Dia masih tertidur.
Alena berbalik badan sedikit menjauh dari pintu balkon. "Aku baik-baik aja, Kak. Aku di rumah temen. Pak Adi udah pulang duluan, tapi mobilnya mogok. Di tambah baterai ponselnya abis, jadi mana sempet ngabarin tentang aku."
Terdengar helaan nafas di seberang telepon. "Terus ... sekarang kamu dimana? Bentar lagi kakak selesai main basket di sekolah, jadi sekalian jemput kamu."
"Aku di—Tut."
"Yah! Baterainya abis lagi!" gerutunya sembari menatap layar ponsel yang mati. Alena menggigit kuku jarinya. "Terus aku pulang gimana? Gak tega bangunin Audrey."
Ia menatap langit yang belum sepenuhnya gelap. "Aku pulang sendiri aja, deh .... "