Asti hanya tinggal berdua dengan Bude Ayu di sebuah desa di daerah paling timur di Jawa Tengah.
Dalam usianya yang hampir 22 tahun, tak ada seorang pemuda pun yang mau menjalin hubungan dengan gadis itu karena Asti terkena kutukan setelah kakek dan ayahnya dulu membuka jalan desa membelah hutan bambu yang terkenal angker. Satu demi satu anggota keluarga Asti meninggal dimulai dari ayahnya sebelum dia dilahirkan.
Kini dia kehilangan Bude Ayu, satu- satunya keluarga yang tinggal. Sehingga Asti berniat meninggalkan desa itu bersama kutukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atin Supriyatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Kembali ke Rumah Dinas
Pagi-pagi sekali Satrio sudah sampai di rumah joglo dengan mobil kesayangannya. Asti yang tidak menyangka kalau ternyata dia sudah cukup lama tinggal di desa ini.
Sampai ditinggal Satrio dinas empat hari saja tidak terasa. Dua hari sebelumnya mereka kedatangan Pak Rahman dan beberapa saudaranya yang akan mengurus surat-surat itu. Pria itu tidak terkejut, ketika Asti justru berniat akan membangun rumah atau ruko untuk usaha. Apalagi dia juga tahu perhiasan mantan istrinya itu juga punya nilai jual yang tinggi.
Pak Barjo yang mengurus ganti nama kepemilikan tanah itu atas nama Nastiti Anjani. Apalagi, Asti masih punya data-data Bude Ayu yang lengkap termasuk surat dan akte kematian Bude Ayu. Mereka tertegun, ketika Asti mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar biaya balik nama, pajak dan jasa untuk orang yang mengurus surat tersebut. Hampir 20 juta telah dikirimkan Asti lewat M-banking kepada pria itu.
" Sepertinya Asti bisa menjual semua perhiasan peninggalan Mbah Putri untuk membangun rumah itu, Lek No. Eh, iya. Nanti aku simpan bros dan liontin yang paling bagus untuk Bulek Ratih!"
Wanita itu terkejut. Dia tahu, perhiasan Ibu Sri itu dibelinya di toko emas di kota Solo atau Yogyakarta, dari hasil panen padi mereka yang melimpah.
Dulu, Pak Harjo Winangun sangat bermurah hati kepada warga dan para pekerjanya, sehingga hasil panen padinya melimpah ruah. Belum lagi tanah bengkok desa, jatah Pak Harjo Winangun sebagai kepala desa, yang boleh dimanfaatkan warga untuk menanam cabe, sayuran dan kacang-kacangan.
Sayangnya, kehidupan Keluarga Winangun tidak selalu berjaya. Meninggalnya ayah Nastiti, yaitu Bagas Prasetyo, juga menghancurkan kebahagian orang tuanya. Walaupun pria muda itu juga meninggalkan bayi yang ada di perut istrinya.
Para Warga desa tak mengacuhkan berbagai mitos tentang kutukan Hutan Bambu yang menimpa anak dan cucu keturunan Winangun. Sebab, Pak Harjo yang merupakan murid dari didikan pesantren di daerah Muntilan itu mendatangkan Pak Ustad Muda yang penuh semangat, Ustad Haji Anwar.
Sejak itulah Beliau bersama keluarganya sambil memberikan pengajaran agama islam sekaligus mengubah pandangan masyarakat desa itu yang masih sangat kuat memegang adat dan tradisi nenek moyang mereka. Perubahan itu memerlukan waktu bertahun-tahun, seiring dengan perubahan zaman.
"Nggak mau pulang, nih!" ledek Satrio yang melihat Istrinya agak bermalas-malasan dan masih berbaring di tempat tidur.
Belum tahu saja, kalau dua hari lalu , Asti dan Lek No harus bolak-balik mengurus berbagai surat dari kantor lurah, kecamatan sampai ke kantor BPN setempat.
Mereka juga harus menggunakan jasa notaris. Mungkin karena melihat keadaan Asti yang sedang hamil, mereka juga merasa kasihan dan mempercepat pengurusannya.
"Nanti, biar Pak Sarno saja, ya. Mbak yang ngurus selanjutnya, Ditunggu 2 atau 3 bulan. Mudah-mudahan cepat selesai." Ujar Pak Bambang Munadi ramah.
"Ya, Asti. Kasihan bayimu..." bisik Lek No menenangkan.
Asti punya impian tinggi untuk memanfaatkan tanah itu menjadi tempat usaha, kalau perlu Joko, anak Sulung Lek No tak usah lagi menambah kontrak kerjanya di perusahaan di Semarang itu.
Dia rela membagi warisannya untuk anak-anak Lek No kelak. Sebab selama ini, peran Lek No dan Bulek Ratih bukan hanya kerabat atau orang yang mengurus tanah peninggalan kakeknya. Tetapi suami istri itu sudah seperti orang tuanya baginya. Mereka memberinya perhatian , kasih sayang dan perlindungan.
Suami istri itu malah jadi tertidur setelah sholat dzuhur. Asti lelah dengan urusan surat-surat tanah. Satrio kecapekan dengan tugasnya di lapangan selama tiga hari ini. Sampai mereka dibangunkan karena ketukan pintu yang berulang-ulang. Siapa lagi yang berani membangunkan mereka bersemangat seperi itu? Ya hanya Ninuk lah, orangnya!
"Ada apa, Ninuk?" jawab Satrio yang segera membuka pintu kamar itu. Dia takut suara ketukan itu menggangu istrinya yang masih terlelap.
Tadi sebelum tidur, Satrio sempat menyentuh dahi Asti yang terasa hangat. Dia tahu, istrinya dijaga dan dirawat oleh orang tua Ninuk dan Bude Prapti dengan sangat baik. Namun udara panas di daerah ini dari hari ke hari semakin kering dan banyak menerbangkan debu-debu jalan. Maklum di daerah mereka ada pembangunan dari bagian proyek jalan trans Jawa. Daerah mereka nanti akan menjadi pintu keluar paling Timur di daerah Jawa Tengah.
"Nanti, pulangnya kita mampir ke praktek dokter Siska, ya?" bujuk Satrio.
Asti menggeleng lemah.Tetapi dia juga mau tak mau harus kembali ke rumah dinas Satrio di kota. Mana jadwal besok ada kegiatan Ibu-ibu Bhayangkara di kantor Satrio bertugas. Dua minggu yang lalu, Ibu Anggita menyerahkan sebuah blus khusus dari organisasinya itu untuk wanita yang hamil. Malah masih bagus lagi.
"Lumayan, Mbak Asti. Nggak perlu jahit lagi kan!" Bujuk Mamanya si kembar itu.
Malah wanita itu berniat mengirim berbagai barang si kembar untuk bayi Asti nanti kalau sudah lahir. Ibu Anggita juga sudah membantu Asti membuat daftar barang-barang yang diperlukan untuk bayinya Asti akan lahir sampai usia 6 bulan.
Sebagian besar dalam daftar itu adalah baju bayi dari yang untuk harian, piyama, bedong, selimut sampai gendongan. Sedangkan dari boks bayi, bak mandi sampai berbagai peralatan makan, pencuci botol susu bayi dan lainnya akan menggunakan barang si kembar.
Mungkin karena Satrio berhubungan baik dengan Pak Sadewo yang termasuk seniornya di kantor, dia setuju saja. Apalagi Satrio juga sedikit menceritakan kalau Asti sudah tidak punya orang tua. Sedangkan Bulek Ratih , saat punya bayi pun sudah hampir 18 tahun yang lalu. Jadi Ibu Anggita yang akan menjadi penasehat Asti dan Eyang Putri , ibu mertua pak Sadewo Hadianto.
" Langsung pulang ke rumah aja, Mas!" perintah Asti , saat mobil dikendarai Satrio melawati Gerbang besar bertuliskan "Selamat Datang di Kota ....."
Hampir satu jam lebih mereka berada di dalam mobil, dan melewati jalan provinsi yang seperti tak ada ujung-ujungnya dan banyak berpapasan dengan berbagai kendaraan yang semakin padat saja.
Sampai di rumah, Asti langsung masuk kamar dan kembali terbaring di kasurnya yang nyaman. Tak peduli, kalau Satrio buru-buru menyalakan AC di kamarnya itu.
"Kamu kelihatan capek banget, sih. Ikut panen kacang tanah di sawah kah?" Tanya Satrio bergurau sambil mengelus bahu Asti. "Mau dipijat?"
"Sudah kemarin sore sama Ninuk..."
Dahi Satrio mengernyit tanda dia tak mempercayai ucapan Asti."Mau dia kamu suruh memijit?"
"Maulah, aku kan nanti yang bayar kuliahnya! Lihat aja anak itu, kalau nilainya nggak bagus. Aku akan kirim dia kuliah di tempat yang jauh sekalian... biar nggak males..."
Tawa Satrio terdengar geli." Kenapa sih, kamu punya keponakan seaneh , Ninuk. Sepupunya anteng, diam. Eh, Ninuk itu kata orang mirip bola bekel. Loncat ke sana-ke sini nggak jelas.."
" Mas, aku boleh absen nggak untuk kegiatan besok di kantormu?"
"Jangan , Dek! Sebulan yang lalu kamu sudah absen dua kali, lho. Aku yang nggak enak dengan Pak Bos kalau istrinya lapor!"
"Kita bisa, minta surat sakit dari dokter Siska kan?"
"Kamu benar-benar sakit? Tadi diajak ke rumah sakit nggak mau!"
"Badanku sakit semua, Mas..." bisik Asti lirih.
Dua hari yang lalu Lek No terpaksa menyewa mobil Pak Riyadi, seorang pengusaha mebel yang juga mempunyai rental mobil. Pria muda yang menjadi supir mobil Avanza keluaran tahun kemarin itu masih kurang menguasai kendaraanya.
Jadi kalau berbelok atau melaju sering kurang pas. Lek No jadi kasihan melihat wajah Asti yang pucat. Sebab lalu lintas di dekat Kantor BPN daerah itu sangat ramai dan padat. Semakin senam jantung saja Pak Sarno dan Asti yang jadi penumpangnya!
Semalam Bude Prapti yang menjaga Asti. Berkali-kali Asti masuk keluar mandi karena pusing dan muntah. Sampai, pagi hari Asti bertambah demam. Karena cemas, Satrio harus minta izin pada atasannya untuk membawa Asti ke rumah sakit. Oleh Dokter Siska, Asti disuruh diopname saja.Sebab karena selain demam tinggi, Asti kehilangan banyak cairan dan harus diinfus.
Seumur-umur, baru kali ini Asti merasakan sakit dan harus mendapat tindakan medis. Satrio yang panik setelah mendapat telepon dari Bude Prapti karena keadaan sakitnya Asti bertambah parah. Dia segera pamit ke rumah sakit, dan memeluk istrinya yang terbaring pucat dan lemas.
"Asti! Asti? Panggil Satrio sambil mengecup dahi istrinya yang suhunya semakin tinggi.
Pria itu semakin gelisah. Sampai dia lapor ke pos tempat perawat berjaga. Dokter Siska pun segera datang dan memeriksa keadaan Asti Dari hasil pemeriksaan, Asti terkena virus sejenis influenza, mungkin karena dalam keadaan hamil, membuat si penderita jadi lebih lemah pertahanannya.