Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HADWIN BINGUNG
Tiga hari lalu Briela memutuskan untuk menghindar dari Hadwin dan ia memutuskan untuk tinggal sementara di apartemennya sendiri.
Kesibukannya masih berlanjut seperti biasa, pekerjaan yang tiada habisnya itu selalu menyapa Briela setiap harinya. Ia terlalu sibuk dalam bekerja namun ketika ia kembali ke apartemen Briela merasa sunyi.
Tidak terlihat sosok Hadwin yang biasanya menawarinya makan, menanyakan perihal menu makan malam juga sosoknya yang sesekali bekerja dengan laptopnya di sofa televisi. Tidak— tentu saja sosok Hadwin tidak akan terlihat, ini bukan apartemen Hadwin dan Briela sendiri yang memutuskan untuk menjauhi pria itu.
Dan pertanyaan Jennifer malam itu kembali terngiang di kepala Briela setiap kali wanita itu mulai memejamkan mata.
"Mengapa?" Sebuah pertanyaan yang merujuk pada perasaan Briela yang merasa kecil ketika membahas perasaan yang Hadwin utarakan pada Briela beberapa waktu lalu. Perasaan tulus yang Hadwin ceritakan dengan tenang pada wanita yang bahkan Briela sendiri tidak tahu itu siapa.
Briela mencoba mencari jawabannya namun tidak ketemu. Dan sampai saat ini pun Briela masih belum tahu apa alasannya mengapa dirinya merasa kecil.
Briela membuka lagi matanya, ia mengubah posisi tidur menjadi telentang. Menatap langit-langit kamar dalam gelap. Hitam.
Ponselnya berbunyi, panggilan telepon dari Hadwin. Briela merasa senang entah oleh sebab apa, tetapi ia teringat lagi jika dirinya masih merasa perlu untuk menghindari Hadwin. Briela menatap layar ponselnya yang berkedip. Ia menimbang haruskah menerima panggilan telepon itu atau tidak.
Briela membuang napasnya kasar ketika akhirnya panggilan telepon itu berakhir tanpa terangkat. Dan lagi-lagi ponselnya berbunyi, notifikasi pesan datang padanya.
"Aku tahu kau sedang sibuk-sibuknya, Brie. Makan dan istirahatlah tepat waktu!" Ini jam tidur, tidurlah dan lanjutkan pekerjaanmu besok lagi!
Briela mengesah pelan. Pria itu benar-benar naif dan bodoh pikir Briela. Bagaimana jika ada orang yang memanfaatkan sikapnya yang naif itu?
Tiba-tiba saja Briela memikirkan hal yang tidak perlu. Briela menendang selimutnya lalu mengacak rambutnya sendiri.
Di kamarnya Hadwin menatap layar ponselnya yang tetap diam. Lagi-lagi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda balasan dari pesan yang ia kirim pada Briela.
Briela memang jarang membalas pesannya tetapi beberapa waktu terakhir sepertinya jarak diantara keduanya sempat menipis. Memang sempat ada kesalahpahaman beberapa hari lalu tetapi tiga hari lalu ia sudah menyelesaikannya bersama Briela. Hadwin bahkan sempat membuka rahasianya pada Briela.
Bukankah seharusnya jarak di antara mereka sudah benar-benar terkikis?
Salahkah jika ia berharap?
Tetapi mengapa kali ini rasanya Briela lebih dingin dari biasanya. Pesan darinya juga benar-benar di abaikan oleh Briela. Tiga hari lalu Hadwin menerima pesan dari Briela bahwa wanita itu butuh waktu untuk sendiri, pekerjaannya membutuhkan fokus dan ketenangan. Hadwin membiarkannya berada di apartemennya dan berpikir positif untuk hal itu.
Namun, semakin banyak hari yang terlewati tanpa adanya Briela di apartemennya. Hadwin merasa sepi dan sunyi. Ia merindukan hangatnya suasana di apartemennya ketika ada Briela.
Pria itu menghela napas, meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas dan mencoba tidur.
Malam semakin merangkak. Hawa dingin yang menyapa semakin menembus lapisan kulit hingga terasa sampai ke tulang. Bahkan jaket juga selimut tebal yang membalut tubuhnya tidak cukup untuk menahannya. Pemanas ruangan seolah tidak berguna.
Hadwin berjalan mondar-mandir dalam kamarnya yang remang-remang. Ia membuka gorden jendela kamarnya. Hujan salju yang cukup lebat sedang mengguyur kota, pantas saja hawa dinginnya begitu kental terasa.
Hadwin lagi-lagi terpikirkan Briela. Apakah pemanas di apartemennya berfungsi? Apakah wanita itu melindungi tubuhnya dengan baik? Apakah Briela merasa hangat di sana? Berbagai pertanyaan berputar di kepalanya.
Tidurnya bahkan tidak terasa nyenyak, bukan karena hawa dingin yang menyerang. Hadwin bahkan sudah melupakan hawa dingin yang menusuk kulitnya. Ia hanya memikirkan kondisi Briela.
Hadwin beranjak ke dapur, membuka lemari es yang kini penuh dengan bahan masakan, namun ia belum memasak lagi sejak dua hari lalu. Briela berada di apartemennya sendiri dan Hadwin enggan memasak, ia lebih sering memesan makanan siap saji sejak Briela tidak pulang. Hadwin mengeluarkan daging dan beberapa sayuran.
Pria itu dengan cekatan memotong daging dan sayuran lalu menyulapnya menjadi sup daging yang aromanya menggugah selera. Begitu matang Hadwin mengisinya ke dalam termos sup.
Hadwin berdiri menyender di parkiran luar kantor Briela saat itu masih sepi, belum ada staf karyawan yang datang. Sebuah mobil akhirnya masuk ke parkiran dan itu milik Stella sekertaris pribadi Briela.
Wanita dengan setelan kerja yang selalu terlihat rapi itu menghampiri Hadwin, memberinya salam hormat pada pria yang menjadi suami dari atasannya itu.
Tidak berselang lama mobil Briela memasuki lahan parkir. Wanita itu parkir tidak jauh dari tempat Hadwin parkir. Ia turun dari mobilnya sekilas melihat Hadwin yang juga menatap padanya lalu Briela berbalik dan masuk ke dalam kantornya.
Hadwin merasakan hatinya tercubit, itu jelas sikap yang disengaja. Briela sengaja menghindarinya dan Hadwin harus menerima kenyataan, sebelumnya ia selalu menolak kemungkinan itu dan selalu berpikir positif tetapi hari ini ia benar-benar yakin jika Briela mengabaikannya.
Apa yang salah disini? Apakah sebelumnya Hadwin salah mengambil langkah? Pria itu mengingat-ingat lagi empat hari lalu saat keduanya meluruskan kesalahpahaman. Sepertinya tidak ada yang salah hari itu.
Hadwin bingung, pria itu benar-benar kebingungan. Ia masih saja mencari letak kesalahannya sampai-sampai suara Stella mengejutkannya.
Hadwin lupa jika saat ini ada orang lain di sampingnya. Hadwin tersadar, lalu menitipkan termos sup pada Stella untuk diberikan pada Briela.
Beruntung asisten pribadi istirnya bukanlah orang yang suka ikut campur, Hadwin jadi tidak perlu menjelaskan apa pun pada Stella.
Hadwin pergi dari depan perusahaan istrinya dengan masih membawa kibingungannya. Ia ingin menghampiri Briela langsung dan mempertanyakannya namun ia ragu. Ia sudah berjanji untuk tidak mengumbar hubungannya di depan umum. Namun Hadwin benar-benar buntu, ia tidak menemukan kesalahannya.
Di dalam ruangannya Briela menghempaskan bobot tubuhnya dengan kasar pada kursi putar miliknya. Ia teringat sosok Hadwin yang segar dan menawan seperti biasanya dan lagi-lagi ia merasa kecil dibuatnya.
Stella mengetuk pintu ruangannya dan masuk dengan membawa termos sup dan menaruhnya di meja Briela. Briela menaikkan sebelah alisnya.
Stella paham dengan eksperesi yang ditunjukkan atasannya. "Ini dari suami Anda, beliau menunggu Anda hanya demi memberikan ini. Tetapi Anda malah pura-pura tidak melihatnya."
Briela memicingkan mata, tidak biasanya Stella mencampuri urusan pribadinya. Tetapi entah mengapa jika menyangkut Hadwin, Stella beberapa kali mengungkap protesnya dengan gamblang.
Briela kesal akan hal itu. "Siapa yang atasanmu di sini?" Dan hanya itu yang akhirnya bisa Briela ucapkan.
Stella mendengus tanpa menjawab pertanyaan kekanakan Briela.
"Saya menerima email dari asisten Laura Bailey, pihaknya memutuskan untuk menerima kerjasama yang kita ajukan." Stella melaporkan perihal pekerjaan. Dan hal itu tentu saja membuat mood Briela meningkat.
"Tetapi Laura Bailey mengajukan syarat—"
Briela memotong kalimat Stella karena terlalu bersemangat, "Katakan syaratnya!"
"Dia akan membawa model pria untuk promosi produk kerja sama kita nantinya."
"Tidak masalah untuk itu. Bukankah itu menguntungkan kita, kita tidak perlu mencari model prianya. Untuk model wanita kita bisa memakai Jennifer, nanti aku akan menghubunginya," ucap Briela bersemangat.
"Dan satu lagi ... ," Stella menjeda kalimatnya. Briela menunggu dengan tidak sabar.
"Laura Bailey juga meminta suami Anda untuk berpartisipasi dalam proyek kerja sama ini. Asisten Laura Bailey mengatakan jika atasannya mendapat inspirasi dari hubungan kalian untuk proyek yang akan mendatang."
Briela tiba-tiba merasakan lemas di kakinya, ia kembali terduduk.
"Apakah kalian sedang bertengkar?" Lagi-lagi Stella mencampuri urusan pribadinya.
Briela tidak dapat berkata-kata, ia tidak mungkin jujur dengan apa yang terjadi.
"Tidak. Karena ini urusan pekerjaan, kau atur saja untuk menghubungi pihak Infinity Solution. Jangan sampai ada kesalahan! Ini akan menjadi proyek kerja sama besar."
"Tetapi Anda benar-benar tidak sedang bertengkar bukan?"
Briela mengabaikan pertanyaan Stella dan membuka termos sup di depannya.
"Dia masak apa hari ini?"
🥀🥀 Hai hai readers maaf ya kalo dua hari ini aku agak telat-telat up nya. Kalian bakal setia menunggu kan? Nggak akan kabur kemana-mana bukan? Hihi aku harap gitu ya, kalo kalian sampe kabur, aku bakalan nangis di pojokan🤭🥀🥀