Asti Gadis Pembawa Kutukan
Wajah bude Ayu semakin pucat sejak Asti pulang menjemputnya dari berjualan di pasar . Hati- hati Asti memapah kakak almarhum ayahnya itu ke kamar tidur di samping ruang sholat.
Asti segera ke dapur menyalakan kompor dan merebus air. Tangannya sedikit membuka jendela kayu agar dapur besar ini tak terlalu pengap. Di ujung dapur masih ada tumpukan kayu kering yang kemarin dibawakan Lek No dari kebun belakang. Biasanya Bude Ayu selalu mengunakan tungku batu dengan bahan bakar kayu bakar untuk memasak.
Setelah air mendidih, Asti langsung menuangkan pada gelas yang sudah diisi gula dan teh celup. Dicarinya nampan kecil untuk membawa teh manis panas itu ke kamar budenya
Tampaknya Bude Asti dapat tertidur lelap. Segera Asti menyalakan lampu agar kamar ini lebih terang. Dia segera keluar dari kamar itu dengan hati- hati. Dilihatnya angka 5 pada jam besar di atas tembok ruang tamu.
Lama, Asti menatap halaman di depan rumahnya yang luas dan ditumbuhi pohon Jambu air dan Mangga. Sesekali terdengar suara motor lewat di depan rumah .
Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, maka desa ini mulai menjadi gelap. Lampu di teras depan pun tak dapat menerangi gelapnya jalan karena di sisi kanan dan kiri ditumbuhi poho- pohon jati yang besar dan rimbun.
Dari kejauhan mulai terdengar suara- suara malam . Ada kepakan kelelawar yang keluar dari sarangnya.Serangga yang mulai menggesek-gesekkan sayapnya di atas pohon- pohon tinggi, sehingga menimbulkan bunyi- bunyian.
Setelah itu desa mereka akan sangat menjadi sangat sepi. Jarang warga desa keluar dari rumah di malam hari, bila bukan karena urusan yang sangat penting dan mendesak.
Tampak Bude Ayu agak terhuyung- huyung keluar dari kamarnya. Di tangannya ada lipatan sajadah dan mukena . Wajahnya lebih segar sejak bangun tadi sebelum Magrib tiba.
" Nggak usah keluar dulu, De! Bu Haji Anissa tadi siang sudah pesan kok."
"Nggak enak, Asti. Bude sudah 2 kali absen ngaji ".
"Emang sekolah, harus absen segala ... " Ujar Asti geli.
Bude Ayu dan Bu Haji Anissa sangat senang karena ibu- ibu dan remaja putrinya mulai rajin datang ke mushola untuk pengajian ibu- ibu setiap malam Rabu . Setelah sholat Magrib berjamaah, mereka mengadakan kegiatan keagamaan. Terkadang diadakan ceramah atau belajar membaca Al-Qur'an. Sering juga tanya jawab yang dibimbing oleh Bu Haji Anissa dan beberapa ibu guru yang mengajar agama Islam di sekolah terdekat.
Kata Pak Haji Anwar, kita boleh kekurangan materi tetapi tidak boleh kekurangan akhlak. Kata- kata itulah yang digunakan kedua wanita itu untuk menggerakkan kaum wanita untuk mempelajari Ilmu Agama secara lebih mendalam . Bukan hanya buat diri sendiri tetapi buat anak- anak mereka. Sebagai bekal dan dasar pendidikan yang akan membentuk karakter dan akhlak mulia.
Asti tahu di desanya ini kehidupan warganya masih banyak yang serba kekurangan. Tak ada sungai yang mengaliri desa mereka, sehingga sawah - sawah hanya dapat ditanami saat musim penghujan.
Desa mereka sangat terpencil sehingga jalan penghubungnya utamanya pun berupa tumpukan batu padas dan kerikil agar dapat dilewati kendaraan roda empat. Sedangkan wilayah desa mereka terdiri dari bukit- bukit tandus dengan tanah berkapur.
Penghidupan sebagian warga desa adalah bertani. Hanya beberapa orang saja yang memiliki lahan sawah dan kebun. Termasuk lahan sawah Bude Ayu yang merupakan warisan dari ayahnya yang mantan kades, Pak Harjo Winangun.
Sebagian lagi pekerjaan penduduk di desa itu adalah buruh tani. Mereka bekerja menanam padi atau memotong padi saat panen dengan upah harian. Banyak juga yang berdagang di pasar kecamatan dengan menjual hasil yang dipetik dari kebun sendiri seperti pisang, pepaya, cabe atau tomat.
Ada beberapa warga yang tertentu yang mempunyai usaha dari mengolah kayu jati. Mereka banyak mendapat pesanan untuk membuat kusen jendela dan pintu. Ada juga yang membuat kursi atau lemari dari kayu jati. Pohon jati sangat mudah tumbuh di daerah ini , karena tanahnya kering dan mengandung kapur.
Rumah besar yang berbentuk joglo yang ditempati Bude Ayu dan Asti adalah peninggalan dari Mbah Kung Rasidi Winangun yang termasuk sesepuh desa Sendang Mulyo. Sedangkan Kakek Asti, yang menjadi keturunan kedua Winangun itu pernah menjadi kepala desa dua periode. Jadi peninggalannya cukup banyak, dari sawah yang mengelilingi alas Pring ( hutan Bambu), kebun kelapa sampai dua rumah besar dengan halaman luas.
Sebagian sawah mereka dikerjakan oleh beberapa warga desa dengan sistem bagi hasil. Kebun dan lahan di dekat rumah, dikerjakan oleh Lek Sarno. Namun beberapa tahun ini luas sawah mereka mulai menyusut karena dijual Bude Ayu untuk membeli sebuah toko di area depan pasar kecamatan dan modal untuk Asti berjualan pakaian muslim dan perlengkapan khusus wanita.
Wanita itu melarang keponakannya itu mengikuti jejak teman- temannya yang banyak merantau ke beberapa kota besar di Pulau Jawa, setelah lulus SMK. Ada yang melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Sebagian lagi mengadu untung untuk mendapatkan lowongan kerja dari beberapa pabrik yang ada di kabupaten atau daerah lain. Bahkan dua teman dekat Asti malah menjadi TKI dan bekerja di Taiwan.
Toko yang dibeli Bude Ayu itu ada di depan pasar di kecamatan. Jauhnya hampir enam km dari rumah. Asti dan Bude Ayu yang bergantian menjaganya. Sebulan sekali Asti berbelanja ke Yogyakarta atau Solo untuk menambah stok barang di tokonya.
Mereka menjual berbagai jenis pakaian wanita mulai dari kerudung, gamis, blus, rok, pakaian dalam sampai aksesoris. Asti masih berusaha menjaga dirinya dari lawan jenis. Apalagi dia berhijab sejak SMP atas anjuran sang Kakek. Jadi dia tidak menjual pakaian pria atau yang lainnya. Walaupun ada satu dua orang pembelinya laki - laki karena membelikan pakaian di tempat Asti untuk istri atau keluarganya.
Bude Ayu dan Asti akan membuka toko itu dari pukul 08.30 sampai pukul 16.00. Setiap hari. Apalagi kalau hari pasaran tiba, pasar itu semakin ramai dengan pembeli yang datang dari seluruh pelosok desa.
Udara malam semakin dingin. Asti berkeliling rumah untuk menutup jendela dan mengunci pintu. Samar- samar terdengar suara Bude Ayu mengaji. Wanita itu melupakan rasa sakitnya agar tetap dapat menjalankan ibadahnya.
Asti kembali ke kamarnya setelah dia merasa keadaan sudah cukup aman. Penataan kamarnya ini tidak berubah dari tahun ke tahun.
Di sana hanya ada tempat tidur dari kayu yang disebut dipan dengan kasur dari kapuk randu yang sangat nyaman ditiduri walau udara panas atau dingin. Kakeknya menempatkan lemari pakaian kuno tiga pintu yang terbuat dari kayu jati . Juga ada seperangkat meja belajar yang dipesankan kakeknya ketika dia kelas 1 SMP. Karena kamar itu cukup luas, Asti memasang tikar mendong di lantai yang kosong, di atasnya diletakkan karpet Turki oleh- oleh dari Pak Haji Anwar tetangga depan rumah, saat beliau kembali beribadah haji membawa rombongan yang cukup besar. Di sana ada digelar sajadah untuk dia sholat dengan rak pendek di bawahnya dengan tumpukan buku- buku tentang agama Islam dan sebuah Alquran yang hampir dibacanya setiap malam bila tidak mendapat halangan.
Tampaknya dia harus bertahan di desa ini demi kasih sayang pada budenya. Tak banyak yang diharapkan karena kehidupan menjadi lebih sulit. Apalagi sejak budenya keluar dari rumah Pak Kushari Juwono. Semua membawa luka dan sakit hati.
Bude Ayu hanya dinikahi secara agama saja oleh pak kades desa sebelah sebagai istri ketiga. Tetapi anak- anak dari kedua istrinya terdahulu terus merongrongnya setelah ayah mereka meninggal. Mereka mengira mantan istri ketiga ayahnya itu telah menguras harta warisan keluarga mereka. Padahal Bude Ayu tidak membawa barang berharga apa pun kecuali satu koper pakaian bawaannya dulu saat pertama kali datang rumah itu.
Terlebih Mas Hardiman Juwono alias Mas Timbul, putra Sulung dari Pak Kades Kushari itu kembali menuntut pembagian warisan terbanyak . Padahal pria itu sejak menikah dengan gadis tercantik di Desa Sendang Ranti itu sudah mendapat pembagian warisan terbesar berupa rumah dekat pasar , mobil dan modal usaha.
Berbagai usaha telah dijalankannya anak sulung Pak Kushari itu, mulai dari jual beli mobil bekas, buka konter Hp dan pulsa sampai warung sembako namun semua bangkrut.
Pria beranak dua itu kembali bergabung dengan teman- temanya dan menjadi preman di terminal di kota .Tentu setelah modal usahanya amblas bersisa. Malah dia sering datang ke pasar kecamatan dengan kelompoknya itu untuk meminta uang keamanan dari pedagang yang berjualan di luar area pasar.
Pagi hari Asti sudah disibukkan dengan kegiatan cuci mencuci dan masak di dapur. Karena masih belum terlalu sehat, Asti membuatkan bubur nasi untuk budenya. Nanti dimintanya Bu Lek Ratih, Istri Lek No untuk menjaga Bude Ayu sementara dia berangkat ke toko.
Seperti pada umumnya warga desa "Sendang Mulya" para ibu- ibu masih memanfaatkan kayu bakar yang cukup banyak tersedia di desa mereka untuk memasak di dapur.
Terlihat asap bergulung dari dapur Bulek Ratih yang rumahnya terletak di belakang kebun yang cukup luas itu.
"Lek. Lek Ratih!" Panggil Asti setelah membuka pintu dapur. Wanita yang dicarinya itu tidak berada di tempat kebangsaannya itu.
Di Ruangan yang cukup besar itu juga memperlihatkan dua tungku kayu yang menyala dengan api besar. Si Bulek pasti ada di dalam rumah, karena jarang sekali wanita itu keluar rumah tanpa mematikan kompor atau api dapur.
Setelah mengucapkan salam, Asti menerobos masuk ke dalam ruangan. Di ruang depan terdengar percakapan beberapa orang. Kemarin Asti mendengar tentang kepulangan Mas Joko Adi, anak sulung Lek No yang bekerja di Semarang sejak tahun lalu.
"Mbak Asti, sini! " Panggil Joko ketika dia melihat gadis itu yang muncul dari di dapur belakang rumah.
"Kenalkan ini, teman- temanku yang kerja satu PT di Semarang."
Para pemuda yang berumur antara 20 sampai 30 tahun itu bangun dari duduk mereka. Tetapi mereka menjadi ragu saat Asti hanya mengatupkan kedua tangannya di dada. Gadis itu berhijab dan tak mau bersalaman dengan pria yang bukan muhrimnya.
"Assalamualaikum, Selamat datang di desa kami" ujar Asti. "Maaf Mas Joko, aku ada perlu sama Bulek Ratih. Bisa , Ya?"
Pemuda yang dipanggil Joko itu segera mengetuk pintu kamar ibunya. Tadi ibunya masuk kamar setelah mendengar suara Hp yang diletakkannya di meja.
"Asti,ya? Sek ..." Seru wanita itu di dalam kamarnya. Segera Ibu itu keluar sambil menenteng HP.
Ternyata kedatangan Joko itu juga membawa teman - temannya. Apalagi dia juga melihat sebuah mobil sejuta umat itu terparkir di depan rumah Lek No.
Bulek Ratih segera membawa Asti ke dapur. Kemarin dia juga sudah melarang bude membuka toko setelah mendengar Asti berbelanja ke Solo sejak pagi hari.
"Titip Bude ya Bulek. Belanjaan baru mau dikirim hari ini."
"Ya, wes sana berangkat! Tadi Si Ninuk juga sudah bawa motor mau cari sarapan. Mau barengan apa?"
Si Ninuk anak bungsu Bulek Ratih baru saja menyelesaikan ujian UN di kelas IX. Dia sudah terbiasa ke sekolahnya dengan membawa motor karena sekolah SMPN terdekat jaraknya lebih dari 15 km.
Di desa ini tidak ada angkutan umum. Kalau mau pergi ke mana pun cara yang paling mudah adalah ke terminal yang jaraknya sepuluh km. Hanya di perbatasan desa dekat hutan bambu itu ada jalan provinsi yang dilalui oleh beberapa bus besar dan bus kecil sejenis Elf untuk ke berapa kota kecil di sekitarnya.
Kepergian Asti yang hanya mampir sebentar. Dikomentari oleh rekan - rekan kerja Mas Joko.
" Dia itu yang namanya Nastiti Anjani, toh? " tanya teman Mas Joko yang paling dewasa.
"Iya. cantik kan?"
" Iya, " sahut Danang" Nggak nyangka di desa ini ada gadis secantik itu. Dia udah punya pacar belum?"
Joko tidak banyak mengomentari pembicaraan rekan kerjanya itu. Apalagi setelah mendengar kedatangan motor Ninuk yang membelikan sarapan dan jajanan pasar yang sangat terkenal di desa mereka.
"Ayo, dimakan sarapannya! Siang nanti kita mampir pasar. Asti punya toko di sana."
Dalam sekejap bungkusan nasi bercampur kuah sambel tumpang dan rebusan sayuran itu tandas di piring masing- masing. Mereka juga menikmati teh wedang panas yang khas dari daerah itu.
Bulek Ratih segera menengok Bude Ayu. Pertengkaran Bude Ayu dengan mantan anak tirinya itu terjadi di depan pasar hampir seminggu yang lalu.
Lagi- lagi si preman itu minta uang dengan cara yang kasar. Konyolnya lelaki yang bertato dan menindik telinga dan hidung ya dengan anting itu tak mau diberi uang sepuluh ribu rupiah. Malah dia meraih dompet Bude Ayu yang menyimpan hasil penjualan hari itu.
Kalau tak ditolong kepala keamanan pasar dan tukang becak yang parkir di depan toko, dompet itu bisa dibawa kabur oleh si preman itu.
Mas Timbul kesal saat dia kena tonjok wajahnya oleh Mas Kusno, si penjaga toko emas yang tokonya ada di sebelah toko Asti. Bude Ayu sampai terseret-seret ke jalan raya hanya untuk mempertahankan dompet itu.
" Kamu, Ratih ?" Panggil Bude Ayu.
" Saya, De."
Bulek Ratih membantu wanita itu turun. Kata Mbah Muji yang dipanggil Asti untuk mengurut kaki budenya yang terkilir, tak ada luka dalam. Mungkin Bude Ayu mengalami shock karena diserang pria muda yang sangat marah dan benci padanya.
Padahal beberapa sesepuh desa sudah menengahi permasalahan itu. Apalagi Pak Kades Ali Mustafa, yang sangat mengormati nama besar
Harjo Winangun almarhum, ayah Bude Ayu. Wanita yang masih segar dan cantik diusianya yang menginjak hampir 50 tahun itu memang tidak membawa apa pun dari rumah almarhum suaminya. Masalah pembelian kalung emas dan motor baru untuk Asti ke sekolah dianggap uang mahar dan hadiah itu tidak bisa diminta lagi
Dasarnya Si Timbul sudah kadung dendam, segala kesusahan hidup dan kegagalan usahanya ditujukan pada kehadiran Bude Ayu dan Asti seperti duri tajam dalam keluarga ayahnya, Kushari Juwono.
Padahal Bude Ayu secara perlahan mampu mengerakkan ibu- ibu di desa mantan suaminya itu dalam kegiatan kesehatan ibu dan anak. Sekarang ada kegiatan PKK dan posyandu. Pemberian makanan sehat dan bergizi dan penimbangan bayi. Program itu terus berlanjut yang dipimpin ibu kades yang baru.
Hampir semua anak- anak dari kedua istri Pak Kushari Juwono tidak menyelesaikan pendidikan formalnya secara tuntas. Bahkan yang sudah di kelas 12 SMA tidak lulus, karena lebih banyak bolosnya daripada belajar di dalam kelas.
Kedua istri Pak Kushari itu terlalu memanjakan anak - anak mereka dengan materi. Hampir semua adik- adik kandung dan adik ipar Pak Kushari itu memegang berbagai usaha miliknya.
Pria itu memiliki berhektar- hektar sawah, perusahaan pengolahan kayu jati sampai beberapa toko yang menjual berbagai keperluan pertanian sampai menyewakan mobil, truk dan alat- alat berat untuk berbagai proyek pembangunan.
Mereka mulai mendapat kesulitan saat mencari pekerjaan setelah ayahnya meninggal dan harta warisan dibagi sesuai dengan hukum Islam dan peraturan adat istiadat di keluarga besar itu. Salah satunya adalah Mas Timbul yang hanya sekolah SMA kelas 10 lalu keluar karena bergaul dengan remaja lainnya yang juga putus sekolah.
Pasar kecamatan akan semakin ramai apabila jatuh pada hari pasaran. Apalagi hari pasarannya di hari Minggu. Pasar terbesar di kecamatan itu berubah dari aktivitas jual beli menjadi seperti acara perayaan atau keramaian saking penuhnya orang- orang yang ada di pasar tersebut
Sejak toko dibuka jam 08.00, Asti terus menerus melayani pembeli. Sebagian pembeli adalah orang- orang yang datang dari berbagai pelosok desa di sekitaran kecamatan. Sejak Subuh orang - orang datang dengan motor, mobil dan bus luar kota dengan rute melewati pasar tersebut.
Mereka tidak hanya berbelanja juga menjual berbagai hasil bumi yang ada di sekitar mereka, biasanya hasil kebun seperti singkong atau ubi. juga buah- buahan. Kadang ada yang menjual berbagai kerajinan tangan seperti tikar anyaman dari daun pandan duri dan lain - lainnya.
Sesekali Asti meneguk air putih dari botol air mineral yang baru sempat dibelinya. Yu Yemi, yang membuka warung nasi pun belum mengantar pesanannya sejak tadi. Ada dua ibu- ibu yang masih memilih- milih gamis yang digantung di depan toko. Hati- hati Asti mendorong kotak uang ke dalam etalase kaca dan menguncinya.
Kalau pasar dalam keadaan ramai seperti ini kadang- kadang muncul hal- hal tak terduga.Yang paling sering adalah copet. Kadang ada juga anak- anak yang hilang karena terpisah dari orang tuanya.
Pasar ini adalah pasar tradisional yang didatangi oleh penduduk semua desa sampai dari yang ada di pelosok. Mereka bukan hanya untuk jual beli saja. Banyak pengunjung juga membawa anggota keluarga atau rombongan datang ke tempat ini sebagai hiburan, karena hanya ada seminggu sekali.
Asti memang menjual berbagai pakaian, gamis dan hijab yang paling terbaru modelnya. Jadi banyak ibu- ibu yang tertarik datang ke tokonya. Dia juga tidak mencari untung terlalu banyak agar uang penjualan dapat dibelikan barang dagangan lagi.
Dari jauh dia melihat Mas Joko dan teman-temannya datang dengan menggunakan mobil Avanza . Biasanya mobil- mobil yang datang akan diarahkan ke tempat parkir yang ada di belakang pasar. Mungkin karena parkir penuh, Jadi para juru parkir dadakan mengatur mobil itu parkir di depan toko- toko untuk sementara.
Asti tidak berani menyapa mereka. Dia pura- pura sibuk merapikan dagangannya yang tadi tidak jadi dipilih pembeli. Salah satu teman Mas Joko datang menghampirinya
"Laris Mbak jualannya?" ujarnya basa- basi.
" Lumayan. Mas masih mau lihat keliling pasar . Silakan!"
Pria itu tertegun saat melihat senyum manis yang tersungging dari bibir Asti. Kalau tidak ditarik tangannya oleh Joko, sobat akrabnya itu pasti bisa mendadak menjadi patung Bali yang akan menghias di depan toko milik Asti .
"Kowe waras, Dim?"
Joko tahu, Dimas adalah karyawan senior di antara mereka. Malah mereka tinggal di mes yang sama. Dimas sudah lama tertarik saat melihat wajah cantik Asti yang fotonya terpasang di grup wa keluarga Joko.
Joko dulu yang menjaga Asti dan Ninuk sebagai anak laki- laki satunya di keluarga mereka. Dia juga sudah mendengar rumor itu sejak dia sekolah SMP. Dia dan Asti beda 1 tahun. Saat itu Asti kelas 8 dan dia di kelas 7. Banyak siswa di sekolahnya yang tertarik dengan kecantikan Asti. Apalagi Asti remaja sangat aktif di olahraga. Dia pandai bermain bulu tangkis, voly dan tenis meja.
Bahkan Asti sering mewakili team sekolah dalam pertandingan voly sampai tingkat kabupaten. Malah dia dipilih menjadi pemain volly terbaik karena dapat memimpin team sekolahnya menjadi juara pertama dalam kegiatan Porseni tingkat pelajar SMP.
Mungkin karena kalah pamor, Fahira Rahmadani anak Pak Camat Suripto Abimanyu menyebut Nastiti Anjani sebagai gadis kutukan. Fahira dan Asti sama - sama duduk di kelas 8, tetapi beda kelas.
Gadis remaja berusia 15 tahun itu mendengar kisah kelam keluarga Winangun dari pengasuhnya Mbah Parmi yang tinggal satu desa dengan Asti. Cerita kutukan Alas bambu yang ditujukan ke Asti itulah yang selalu disampaikan Fahira ke beberapa sahabatnya dengan tujuan Asti dijauhi para siswa, terutama siswa yang paling populer di sekolah mereka.
Dulu sebagai kades terpilih oleh warga desa Sendang Mulyo, Pak Harjo Winangun dan anaknya, Bagas Prasetyo berjanji untuk membuka jalan alternatif untuk mencapai jalan provinsi terdekat. Sebab desa mereka sangat terisolir dan kurang mendapat perhatian dari pejabat daerah setempat. Mau ke mana- mana harus melewati desa lain. Sebab sekeliling desa mereka adalah bukit - bukit batu padas dan separuh desa mereka dilindungi oleh hutan bambu yang luas dan lebat.
Pak Harjo juga sudah membuat upacara adat untuk memohon keselamatan, sebelum membuka hutan tersebut. Pria itu memimpin proyek membuka sebagian hutan bambu untuk mencapai jarak terpendek ke jalan propinsi.
Setelah dibuka, jalan itu diratakan dengan alat berat yang disewa selama tiga hari.
Bahkan sebagian sawah milik pak Harjo Winangun dipakai untuk kepentingan pembuatan jalan desa itu . Semua pengerjaan jalan itu memakai uang pribadi pak kades. Walaupun tidak beraspal, akhirnya mereka punya jalan desa sendiri. Masyarakat desa membantu secara bergotong-royong bergantian selama 3 hari.
Para penduduk desa segera menggunakan jalan itu . Mereka dapat ke pasar, ke terminal juga ke sekolah anak- anak lebih dekat. Walaupun bukan jalan mulus dan rata, para penduduk cukup terbantu dengan adanya jalan desa itu.
Sayangnya, rumor tentang larangan mengganggu hutan bambu atau alas Pring itu mulai dibicarakan oleh penduduk desa yang sepuh atau yang sudah tua, yaitu kakek atau nenek dari beberapa warga desa itu. Mereka sudah mendengar larangan itu dari nenek moyang mereka yang merupakan warga yang pertama kali bermukim di daerah itu.
Kejadian itu bermula ketika Mas Bagas kuliah di sebuah kampus di Yogyakarta. Pemuda yang merupakan anak bungsu Pak Harjo Winangun itu dan diharapkan akan menjadi kades seperti ayahnya. Pemimpin rakyat yang dapat mengayomi penduduk, memberi kesejahteraan dan keamanan.
Bertahun- tahun tinggal di Kota Pelajar, Mas Bagas pulang ke desa membawa gadis yang sangat cantik. Katanya gadis itu berasal dari Kalimantan Selatan. Mereka menikah dengan wali nikah kakak gadis itu yang bekerja di Surabaya
Karena mendadak, mereka hanya merayakan secara sederhana. Tanpa ada hiburan seperti pagelaran wayang kulit yang menjadi ukuran kalau keluarga pengantin adalah orang kaya atau orang mampu.
Hampir setahun lebih mereka menikah, tiba-tiba mendengar kabar dari Lek No kalau truk sembako yang dibawa Mas Bagas mengalami kecelakaan di sebuah jalan tol di daerah Jawa Barat.Ternyata pria itu bekerja sebagai supir truk di sebuah perusahaan ekspedisi antar barang sebagai upaya mencari tambahan untuk membiayai kelahiran putri pertamanya.
Berita itu menjadi kenyataan pahit saat orang tua Mas Bagas kembali dari Yogyakarta bersama ambulan yang membawa jenazah anaknya.
Sejak itulah keluarga Winangun mengalami kesedihan dan penderitaan dengan meninggalnya satu persatu anggota keluarga itu.
Itulah kutukan dari Hutan Bambu yang kehilangan keangkerannya karena sebagian hutan itu menjadi jalan utama menuju desa "Sendang Mulyo" yang sangat ramai di siang hari . Karena sekarang di sisi kiri dan kanan jalan itu berdiri lapak orang berdagang. Dari bensin eceran, buah - buahan hasil panen penduduk setempat sampai minuman.
Hampir tiga bulan berselang, menantu Pak Harjo Winangun datang menitip bayi yang baru berusia dua bulan. Bayi perempuan yang cantik itu diberi nama Nastiti Anjani. Wanita itu akan kembali ke Banjarmasin setelah mendapat kabar keluarganya mendapat musibah di tanah kelahirannya.
Justru istri Harjo Winangun yang menjadi nelangsa melihat cucunya dilahirkan tanpa melihat ayahnya. Ibu Sumiarsih mulai sakit dan batuk- batuk. Jadi Bulik Ratih yang baru menikah dengan Lek No pun membantu menggurus bayi itu. Tak sampai enam bulan kemudian, ibu Sumiarsih masuk rumah sakit di kota dan meninggal tiga hari kemudian.
Setelah kematian ibunya, memaksa Bude Ayu datang bersama suaminya yang menjadi ABRI dan bertugas di Sumatera . Wanita itu berniat merawat keponakan kecilnya itu yang sudah yatim dan ditinggal pergi ibunya .
Sampai terdengar kabar kalau Bude Ayu telah bercerai dengan suaminya itu. Ternyata hampir lima tahun menikah dengan suaminya , wanita itu mengalami keguguran sampai dua kali. Bahkan Bulek Ratih hampir tak percaya ketika mendengar kalau tempat tugas suami Bude Ayu lebih terpencil dari desa mereka.
Rumor "Kutukan Hutan Bambu" menjadi semakin luas, karena Fahira semakin benci dengan ketenaran nama Nastiti Anjani. Walaupun Fahira melanjutkan pendidikan SMA di Semarang, beberapa murid di sekolah itu meyakininya.
Apalagi tak lama kemudian, Pak Harjo Winangun, kakek Asti tutup usia saat cucunya duduk kelas 9.
Bude Ayu juga akhirnya menerima lamaran pak kades tetangga sebelah. Sebab pria itu selalu mau membantu segala kesulitan yang dialami keluarganya. Mungkin Bude Ayu sudah tahu bagaimana tanggapan dari anak- anak dari istri pertama dan istri kedua pak kades. Jadi wanita itu hanya mau menikah secara agama saja.
Pria yang sudah berusia 55 tahun itu melihat kesungguhan Asti untuk belajar. Jadi Asti disekolahkan di sebuah SMK swasta terbaik . Pria itu juga membelikan Asti motor matik untuk memudahkan keponakan istri ketiganya itu berangkat dan pulang sekolah tepat waktu.
-----
Asti berbelanja lauk dan sayur mayur setelah pasar mulai sepi menjelang Adzan Dhuhur. Dia berusaha untuk tidak tergantung dengan kebaikan orang lain.
Gadis itu akan menutup tokonya, sambil menempelkan kertas dengan tulisan "Sedang Istirahat."
Di dekat warung nasi Yu Yemi ada toilet umum. Tak jauh dari tempat itu ada mushola kecil yang biasanya dipakai oleh para pedagang untuk menjalankan kewajiban mereka untuk beribadah.
Barang- barang belanjaannya dititip pada tetangga desanya itu. Asti telah selesai sholat. Wajah cantiknya yang polos tak memakai make up, semakin segar dan bersih.
" Yu, nasinya dua dibungkus. lauknya lengkap ya."
" Lho, mau langsung pulang Mbak Asti?"
" Nggak, Yu. Nanti yang satu buat Bude Ayu. Satunya tak makan di toko aja."
" Kirain mau tutup. Sayang, Mbak Asti! mumpung masih rame. maklum tanggal muda.."
"Mantap !" Ujar Asti geli. " Wong Ndeso kayak kita aja. Kok, kenal tanggal muda, Yu . Bahasamu itu tinggi bener, lho!"
Yu Yemi tertawa geli sambil membungkus makanan yang dipesan Asti.
" Maklum gaul sama Bu Rita, yang sering mampir beli lauk mateng di sini."
Bu Rita yang disebut Yu Yemi adalah salah satu staf pengajar di Sekolah SDN yang letak sekolah itu tidak jauh dari pasar ini.
Tangan halus Asti mulai mendorong etalase agar lebih masuk ke dalam toko. Beberapa kardus belanjaannya tadi diantar oleh mobil Elf yang mempunyai trayek melewati daerah ini ke berbagai kota terdekat lainnya.
"Perlu dibantu, Mbak ?"
Suara berat Mas Kusno mengejutkan Asti yang sedang berusaha menutup rolling door tokonya. Gadis itu menatap sang penegur tadi.
" Sudah selesai, Mas. Matur Suwon!"
Bukanya Asti tidak peka dengan perhatian lelaki yang bernama Kusno Wijaya itu. Pria yang lahir dan besar di daerah Madiun itu masih meninggalkan jejak leluhurnya. Dengan kulitnya yang putih bersih dan matanya yang agak sipit. Pria itu juga masih berkerabat dengan si pemilik toko emas tersebut Koh Eddy Tan .
Asti sudah mendengar tentang kutukan yang diterima keluarganya sejak dia masih kecil. Berita itu semakin meluas sejak dia sekolah SMP. Sehingga sekarang setelah dia lulus SMK 3 tahun yang lalu tak ada satu pun pemuda di desa mereka berani mendekatinya.
Justru Asti bersyukur tidak bergaul dekat dengan para kaum Adam itu saat dia remaja. Mungkin karena perubahan zaman, satu persatu teman- teman perempuannya di SMK itu dulu banyak yang DO. Mereka hamil di luar nikah karena cara berpacaran mereka tidak mengindahkan adat ketimuran dan ajaran agama. Alias kebablasan.
Mas Kusno yang Asti dengar, jugavsudah bertunangan dengan kerabat mereka yang tinggal di Salatiga. Jadi Asti hanya bersopan santun saja dengan pria itu.
" Terima kasih, Pak Bejo! "
Ucap Asti kepada tukang parkir di pasar ini. Dengan cepat lelaki paruh baya itu tadi mengambil kunci motor dan menjalankan motor beat merah milik Asti yang baru dibelinya tahun lalu, setelah menjual Scoopy hitam yang dulu dibelikan oleh Pak Kushari almarhum .
Beberapa tas kresek sudah diikat dengan kuat oleh lelaki itu setelah membawa motor Asti dari parkiran yang cukup aman di depan kantor pengurus pasar. Selembar uang kertas sepuluh ribuan telah disodorkan Asti yang diterimanya dengan penuh syukur. Dia dan beberapa orang yang juga mengantungkan hidupnya di pasar ini sangat mengenal sosok cucu Pak Harjo Winangun almarhum.
Bukan saja Asti dapat menyelesaikan sekolahnya sampai sampai tamat SMK di tengah keterbatasannya. Gadis berhijab sederhana itu sangat menghargai orang yang lebih tua darinya tanpa memandang pekerjaan dan status sosialnya.
Bahkan gadis cantik itu sangat sopan dan sangat halus bertutur kata. Sayang rumor itu membuatnya dijauhi para pemuda dari beberapa desa yang tertarik dengan kecantikan wajah dan perilakunya. Mereka takut terkena imbas dari kutukan itu. Para pemuda itu akan seribu kali berpikir untuk menjadikan Asti kekasihnya. Apalagi kalau dijadikan menantu! Para pemuda itu bakal mendapat sumpah serapah dari orang tua mereka. Mungkin bisa juga mereka dicoret dari KK dan tidak diakui sebagai anggota keluarga.
Pak Haji Anwar dan Bu Haji Anissa sudah sering membahas hal itu. Namun pendidikan sebagian warga desa yang hanya lulus SD itu sangat susah diubah. Berbagai kebiasaan dan adat warisan nenek moyang itu masih mendarah daging di kehidupan mereka. Padahal sebagian kebiasaan itu sudah bertentangan dengan ajaran Agama Islam, kalau bisa disebut musyrik.
Diam- diam masih ada warga desa Sendang Mulyo yang pada hari tertentu meletakkan sesajen di pokok batang bambu terbesar di jalan yang membelah hutan itu Sesajen itu berupa bunga- bunga yang terdiri dari 7 macam bunga. Ada setumpuk jajanan pasar dan nasi dengan Ingkung ayam lengkap dengan lauk- pauk lainya beserta sayur urap. Yaitu berbagai sayuran yang direbus yang diberi sambal dari parutan kelapa yang diberi bumbu dari ulekan cabe, garam, bawang merah, terasi dan sedikit gula merah.
Pak Haji Anwar hanya geleng- geleng kepala bila melihat sajen itu. Dulu dia datang ke desa ini karena kebaikan Pak Harjo Winangun. Pak Harjo berharap dengan kehadiran ustaz muda ini segala pikiran kuno dan kebiasaan adat lama dapat dikikis dengan pendidikan agama.
Sebagai pasangan muda Pak Anwar dan istrinya ingin hidup mandiri. Pak Harjo Winangun telah memberikan lahan di samping mushola yang dibangun lelaki itu. Rumah besar itu menjadi tempat tinggal mereka sekaligus mengelola mushola sederhana itu.
Ayah Pak Haji Anwar dan Pak Harjo Winangun dulu satu pesantren di Boyolali. Mereka sangat akrab karena tinggal di satu kabupaten.
Pak Haji Anwar selain menjadi pengurus Masjid besar di Kecamatan juga mempunyai usaha biro perjalanan haji dan umroh. Beliau sering mendampingi jemaahnya itu untuk umroh.
Untungnya Pak Harjo Winangun telah melaksanakan rukun Islam yang kelima itu saat kebun kelapanya panen berton- ton dan dibeli oleh tengkulak dari Jakarta. Saat itu Asti baru berusia 9 tahun dan duduk di kelas 4 SD
Kedatangan Asti telah ditunggu oleh budenya yang sedang duduk di bangku teras. Wajah Kakak ayahnya almarhum itu sudah lebih cerah dari kemarin. Asti segera meraih tangan wanita itu dan mencium punggung tangganya.
" Pasarnya rame banget ya ? " kata Bude Ayu setelah Asti menurunkan bebagai kantong belanjaan nya dari depan motornya.
"Alhamdulillah. Rame, De"
Asti segera memisahkan beberapa lauk dan sayur ke kresek yang lebih kecil. Nanti kresek itu akan diberikan ke Bulek Ratih. Begitulah cara Asti menghargai kebaikan keluarga Lek No itu. Mereka jarang hitung - hitungan soal pembagian hasil panen kebun dan panen padi. Lek No Bertahun- tahun mengabdikan dirinya pada keluarga Harjo Winangun yang telah mengangkatnya dari keterpurukan.
Asti memaksa Budenya mencoba nasi masakan Yu Yemi itu. Warung sederhana di pasar itu menjual berbagai lauk pauk dan sayur yang murah tetapi enak.
Banyak para pembelinya adalah ibu - ibu yang bekerja. Mereka membeli makanan matang dan lauk dari warung yu Yemi setelah pulang kerja untuk keluarga di rumah. Di dekat pasar itu ada berdiri kantor pemerintahan daerah, bank swasta. dan pemerintah, puskesmas juga beberapa kantor milik swasta yang sebagian pekerjanya adalah wanita.
"Istirahat, De. Besok kalau badannya agak enakan bantu aku ke toko, ya! Tadi barang- barang belanjaan baru diantar agak sore. Asti belum sempat bongkar, De. Report. Toko ramai sejak dari pagi sampai sore ."
Wanita yang itu tersenyum lebar. Kegembiraan Asti adalah kebahagiaanya. Sebenarnya bisa saja dia menguliahkan Asti ke Solo, Yogyakarta atau Semarang. Atau beberapa kota di Jawa Timur yang mempunyai kampus yang bagus.
Dia merasa agak egois karena menahan satu- satunya keturunan Harjo Winangun untuk tetap di desa walaupun memberi keluarganya ini kutukan. Padahal prestasi Asti di sekolah cukup baik dari SD sampai SMk.
Dari kecil Asti akan lantang menyebutkan cita- citanya jadi dokter. Semakin besar cita- citanya juga berubah karena melihat keadaan di sekelilingnya. Dia akhirnya berniat menjadi guru setelah melihat banyak warga desa hanya dapat melanjutkan sekolah mereka hanya sampai SMP. Lebih banyak lagi penduduk desa yang hanya lulus SD.
Bagi anak laki- laki, orang tua mereka akan mencari berbagai upaya agar anak mereka dapat melanjutkan sekolahnya ke SMK atau SMA yang jarak terdekatnya ada di kota Kabupaten. Kadang orang tua mereka membelikan mereka motor untuk mencapai jarak yang hampir 20 km dari desa mereka. Sebagian lagi mencari kost yang terdekat dengan sekolah. Sebab jarak itu cukup melelahkan ditempuh pulang- pergi hampir setiap hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 442 Episodes
Comments