Kisah ini tentang perjuangan seorang anak laki-laki bernama Nandang Batuah yang bercita-cita menjadi seorang Abdi Negara. Hidup bersama adik perempuan dan ibunya yang seorang janda berpenghasilan minim. Simak perjalanan hidupnya ya.
Dunia nyata sudah cukup pelik dengan segala likaliku yang lumayan berat. Maka dalam karya ini author berharap dapat membawa pembaca ke dunia halu yang manis.
Di sini
No pelakor
No pebinor
Ada bawang secukupnya
Ada Kopi sedikit pahit
Ada gula pasir yang lumayan membuat hatimu berdesir.
Mari ramaikan
Semoga terhibur
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmeLBy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 : NANDANG TERENYUH
Sebelum pukul 7 Nandang sudah berada di rumah setelah mengantar emak Puspa terapi latihan berjalan.
Buru buru ia melaksanakan sholat dan makan malam, lalu bergegas untuk ke komplek Onel. Ada 3 rumah yang menunggu untuk di bersihkan. Biasanya rumah tersebut tak berpenghuni, namum uang dan kunci rumahnya sudah di titip dengan mami Onel. Sehingga memang bebas saja Nandang mau datang bebersih jam berapapun tidak akan mengganggu sang penghuni rumah.
Malam itu, Nandang bersemangat sekali ketika mendapat chat dari tante tante bernama Noni yang juga minta rumahnya di bersihkan, artinya akan ada 4 rumah yang bisa ia eksekusinya malam ini.
"Alhamdulilah kemungkinan malam ini bisa dapat uang dua ratus ribu, lumayan bisa ganti jasa terapis emak hari ini kan. Ya... rajin memang pangkal kaya." Kekeh Nandang membatin kesenangan.
"Lembur Ndang...." sapa Karman saat motor Nandang ia parkirkan di depan rumah Onel.
"Iya bang. Mami mana? tumben pintunya di tutup." Ujar Nandang sambil membuka keranjang berisi pakaian bersih yang di titip Andini tadi ada 6 bungkus.
"Mami lagi liburan ke luar kota, dia takut juga membusuk jika di rumah terus Ndang... ha... ha... ha." Gelak tawa Karman tak karuan, sembari menyerahkan kunci rumah Onel.
"Ayo bang, temani Nan masuk." ajak Nandang agar Karman menjadi saksi. Terutama dalan urusan menimbang pakaian kotor yang sepertinya sudah mulai ada tertumpuk lagi di depan rumah Onel.
"Malam sekali kamu datang." Tukas Karman lagi.
"Tadi ngantar emak terapi hingga lewat magrib. Mau datang siang. Pakaian belum selesai di setrika semua." Jawab Nandang pelan dengan tangan mulai menimbang nimbang plastik pakaian kotor tadi.
"Hum... cukup lama juga kalian bertahan bekerja seperti ini ya Ndang. Padahal kalian termasuk masih bocah yang seusia kalian pasti lebih mementingkan diri sendiri dan hanya tau meminta uang saja pada orang tua." Celetuk Karman yang selalu ringan hati membantu Nandang atau Andini jika mengerjakan penimbangan ini, Karman juga yang kadang membantu mengingatkan soal tagihan laundry yang harus para 'ayam' itu bayar. Agar kedua anak itu selalu pulang membawa uang tanpa tunggakan pembayaran jasanya.
"Ha...ha. abang. Nan mau minta uang sama siapa? ayah tak punya, emak pun masih belum kenal kalo kami ini anak anaknya. Mana sekarang emak kalo liat Nan panggilnya akang. Emak kira Nan ini ayah, suaminya dahulu. Jadi apa apa lebih sering minta di temenin sama Nan ketimbang Ndin." Curhat Nandang pada Karman.
"Ga papa... yakinlah, pelan pelan juga pasti sembuh. Berusaha terus mengobatinya dan berdoa. Kalian juga anak sholeh dan sholehah, pasti doa kalian di denger sama Allah." Tukas Karman menguatkan.
"Amin. Terima kasih dukungannya bang. Permisi, ada 4 rumah yang harus Nan bersihkan hari ini. Nan ke sana dulu ya bang." Pamit Nandang sopan dan mulai melangkah ke rumah yang kuncinya sudah di tangannya.
Bukan hal yang berat bagi Nandang pekerjaan ini, sehingga sesungguhnya Nandang agak bingung dengan para penghuni rumah yang memerlukan tenaga orang lain untuk sekedar menyapu, mengepel dan merapikan tatanan rumah yang berantakan akibat ulah mereka sendiri.
Tapi, bukankah adanya jenis manusia seperti itu justru menguntungkan bagi Nandang. Yang kadang hanya membutuhkan waktu 30 menit sudah selesai dalam hal membersihkan semuanya. Ya, walau tempat yang paling berantakan adalah selalu kamar tidur.
Nandang jadi teringat bagaimana saat dulu emak masih sehat, ia selalu banyak bicara untuk menguraikan apapun tentang pekerjaan manusia yang di malam harinya selalu bermetamorposa menjadi kupu-kupu.
Sekarang Nandang sudah jadi mahasiswa, tentu tidak sepolos waktu emak jelaskan. Bahkan kini teman kampusnya pun sudah ada yang menjadi kupu-kupu di tempat lain. Jadi ayam kampus juga ada. Yang kadang kebelet saling berpagut lidah dan bertopang di dada kekasihnya juga sering Nandang lihat. Untuk itu, Nandang hanya perlu mawas diri.
Nandang juga kadang tertawa kecil mengingat betapa emak dulu menakut nakutinya perihal kedekatannya dengan wanita, yang bisa hamil setelah dia mengalami mimpi basah.
Ah... emak, selalu punya cara untuk memprotek anaknya. Agar tidak terjerumus ke hal negatif itu.
Walau bagaimanapun lelahnya mengurus emak sekarang, namun baik Nandang ataupun Andini tak pernah merasa itu beban. Bagaimanapun mereka bangga dengan emak Puspa. Yang walau di usia tergolong masih cukup muda dan memerlukan sokongan untuk menghidupi dua anaknya, namun tetap memilih menyandang status janda cerai matinya.
Walaupun takdir menggiringnya bekerja di lahan yang bisa lebih cepat dan praktis untuk mendapatkan uang. Namun Puspa tetap memilih membanting tulangnya dengan bekerja serta hidup dengan sederhana dan terus saja bersahaja.
Rumah yang Nandang bersihkan itu random, tak jelas susunannya kadang bersebelahan dengan rumah yang ada penghuninya. Apalagi jika malam begini, telinga Nandang sering ternoda dengan suara suara cekikikan horor yang menyeramkan lebih seram dari seringai kuntilanak mungkin. Juga lolongan tak jelas. Bahkan, jika ia tak salah terka bukan hanya suara wanita, tapi pria juga. Bersahutan tapi verbalnya tidak jelas, hanya issstt... yees... faster. Oh may god... kalau Nandang tidak salah dengar juga sih.
Sebenarnya Nandang penasaran mereka sedang berbuat apa di dalam, tapi pekerjaan lebih menarik baginya untuk segera di selesaikan agar cepat pulang dan mencari kasur tidurnya.
Nandang sudah selesai dengan tiga rumah dan sudah mengantongi uang seratus lima puluh ribu rupiah. Rumah terakhir ialah rumah Noni. Sengaja Nandang buat itu kena giliran terakhir sebab biasanya rumah itu paling tak banyak sampah dan tidak rusuh. Jadi, sangat enteng untuk bersihkan.
"Nandang...." suara wanita agak lemah samar di tangkap oleh indra pendengaran Nandang dari arah dalam kamar.
"Iya tante..." Jawab Nandang melangkah masuj dan memberanikan diri berdiri di ambang pintu kamar Noni.
"Nandang... tolong." Rintihnya lagi. Nandang melihat ada sebuah ember kecil plastik di bawah tepian ranjang Noni. Berisi semacam kotoran basah seperti bekas muntahan.
"Tante... Noni kenapa?" Nandang belum berani melangkah masuk ke kamar pribadi Noni tersebut.
"Tante sakit Dang. Tolongin tante bisa?" tanyanya dengan suara lemah, tubuhnya masih tertutup semua oleh selimut.
Akhirnya Nandang memberanikan mendekati ranjang yang di atasnya ada Noni itu. Dan memberanikan merapa kening Noni dengan punggung tangannya.
"Maaf, permisi ya tante." Ucap Nandang sebelum menyentuh kening Noni.
"Tidak panas." Jawab Nandang polos.
"Siapa bilang panas. Aku bilang sakit Dang." Jawab Noni mulai galak.
"Sakit apanya, tidak deman kok tante?"
"Emang sakit cuma demam? tante masuk angin. Tolong kamu pijat atau kerokin tante ya, tu liat. Bekas muntahan tante dari tadi makanya lemes banget." Ujar Noni masih dalam balutan selimut.
"Hah...?? Nan ga bisa mijet tante." Nandang memundurkan posisinya.
"Tolong balurkan minyak gosok saja di punggung tante. Tolong lah Nan. Jam segini teman teman tane sudah pada kerja, sejak tadi sudah tidak ada yang perduli sama tante. Apa kamu juga mau membiarkan tante mati konyol sendiri di sini?" ancam halus Noni yang tentu tidak masuk akal namun mengundang iba di hati Nandang yang selalu mudah terenyuh dengan derita orang lain.
Bersambung...