NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:398
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 23

Perjalanan pulang dari Sarang Serigala Salju terasa jauh lebih sunyi dan berat daripada yang diperkirakan. Kemenangan melawan Penguasa Kegelapan terasa hampa, hanya sekadar jeda singkat sebelum badai yang sesungguhnya. Kata-kata Luna—Sang Pencipta Void, Peleburan, dan yang paling membingungkan, Liontin Kedua—menggantung di udara seperti hawa dingin yang tak terhapuskan.

Ratih, dengan Liontin Api Biru yang kini berdetak tenang di lehernya, hanya bisa merasakan beban tanggungannya. Api Birunya kuat, tetapi gagasan bahwa ia "tak ada apa-apanya" di hadapan Sang Penghancur menusuknya lebih dalam daripada mantra kegelapan.

Mereka tiba di perbatasan Desa Tiga Batu pada sore hari, tepat saat matahari terbenam dan menyiramkan warna merah darah di atas reruntuhan.

Desa itu bagaikan kuburan, dimana ada

Bau gosong, debu, dan energi kegelapan yang membusuk masih melekat di udara. Mayat-mayat Mayat Hidup yang mereka hancurkan kini hanyalah tumpukan tulang dan daging busuk, tetapi di antara mereka, terbaring juga tubuh-tubuh yang mereka kenal: wajah-wajah para tetangga, para lansia yang menyayangi Ratih, dan anak-anak yang kini hanyalah kekosongan.

Suasana mencekam dan kelam menyelimuti Ratih dan teman-temannya.

Wijaya segera mengambil alih. Dengan ketenangan seorang prajurit yang teruji, ia memimpin penguburan. Mereka bekerja tanpa bicara, menggali lubang, membersihkan jasad, dan menguburkannya di bawah naungan pohon Tiga Batu yang kini tinggal dua setengah.

Malam harinya, setelah pekerjaan suram itu selesai, mereka duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka nyalakan di tengah reruntuhan.

Ratih memejamkan mata, merasakan rasa sakit yang tak terlukiskan. Api Biru di nadinya tidak bisa menyembuhkan kesedihan ini. Dimana dia telah kehilangan semuanya dalam sekejab mata, nenek dan bibinya juga telah tiada dengan cara yang sadis.

Dara dan Jaya duduk sedikit terpisah, bersandar pada pilar batu yang runtuh.

"Kau sangat berani di lembah itu," bisik Jaya, suaranya serak. Ia menatap Dara, yang wajahnya masih pucat karena penggunaan energi murni yang berlebihan.

Dara hanya tersenyum tipis. " Aku tak seberani itu, aku hanya mencoba melindungi kalian, dan berusaha membantu. Kau tau Golem yang aku hancurkan, mungkin mereka terpikat padaku ha ha ha " dara mencoba melucu mencairkan ketengangan udara disitu.

Tangan Jaya perlahan meraih, menyentuh pergelangan tangan Dara. "Tangan ini telah mampu membuat ilusi yang menakjubkan, dan lebih menakjubkan lagi itu adalah menjadi milikmu " ucap jaya dengan sorot mata yang serius, dan membuat dara terseyum malu.

Disisi lain

"Liontin Kedua," gumam Wijaya, memecah keheningan. "Liontin yang sama kuatnya dengan milikmu, Ratih. Dari mana kita memulainya?"

Ratih membuka mata, tatapannya kosong. "Luna bilang, aku harus kembali ke desa ini. Liontin itu… pasti ada hubungannya dengan tempat ini. Liontin Api Biru adalah milik garis keturunanku, Api Merah."

Wijaya mengangguk. "Kalau begitu, kita cari di tempat leluhurmu menyembunyikan rahasia terbesarnya. Tempat yang bahkan Penguasa Kegelapan tidak tahu."

Pagi berikutnya, Ratih, ditemani Wijaya dan Serigala Salju bernama Sagara, memulai pencarian di sekitar reruntuhan. Dara dan Jaya tetap tinggal untuk memantau sekeliling dan memulihkan energi.

Mereka mencari di rumah tua Ratih, di bawah sisa-sisa pohon Tiga Batu, tetapi hasilnya nihil.

"Tidak ada yang luput dari mata Penguasa, Ratih," kata Wijaya, saat mereka berdiri di depan lubang di tanah tempat gudang desa pernah berdiri. "Pasti tersembunyi oleh sihir yang lebih tua."

Saat Ratih menyentuh tumpukan batu yang gosong, Liontin di lehernya mulai terasa hangat.

Itu di bawah... bisik sebuah pikiran di benaknya. Bukan suara Luna, tetapi sebuah resonansi yang sangat kuno.

Ratih menunjuk ke tanah di bawah reruntuhan lumbung. "Di sana. Ada sesuatu yang memanggil Liontin."

Dengan bantuan cakar kuat Sagara, mereka menggali. Mereka menembus lapisan tanah keras dan batu, hingga akhirnya, Sagara menggeram pelan, menggaruk-garuk permukaan batu basalt.

Ini adalah pintu rahasia.

Pintu Menuju Kegelapan yang Tertidur

Setelah memindahkan batu basal yang berat, mereka menemukan tangga batu kuno yang turun ke dalam kegelapan mutlak. Udara dingin dan lembap segera merayap keluar, membawa serta bau jamur purba dan—yang paling mengganggu—bau yang sangat mirip dengan Lembah Penguasa, tetapi lebih tua, lebih pekat.

"Ini bukan sihir kegelapan Penguasa," bisik Wijaya, tangannya langsung mencari posisi pertarungan. "Ini adalah kegelapan yang mendahuluinya."

Ratih mengaktifkan Api Birunya, dan benang-benang api menyelimuti tangannya, memancarkan cahaya biru dingin yang nyaris tidak bisa menembus bayangan.

Mereka turun. Ruangan di bawah tanah itu adalah sebuah kuil kecil, dibangun dari batu yang sama dengan pilar-pilar di Lembah Bayangan Gema. Di tengah ruangan terdapat sebuah altar batu yang retak, dan di atasnya, diletakkan sebuah benda.

Itu adalah sebuah Liontin. Tetapi berbeda.

Liontin pertama Ratih berbentuk api, sementara yang ini berbentuk Mata Ketiadaan—sebuah batu obsidian hitam yang di tengahnya terdapat kristal ungu tua.

Saat Ratih mendekat, Liontin Mata Ketiadaan mulai berdenyut.

Sebuah Kehadiran yang Dingin

Tiba-tiba, Sagara meraung, menoleh ke belakang pintu masuk.

"Apa itu?" desis Ratih.

"Ada yang mengawasi," Wijaya memutar tubuhnya, memegang udara kosong di antara mereka. "Bukan Mayat Hidup, bukan Bayangan Pengawal. Ini... lebih halus."

Ratih merasakan Api Birunya redup, seolah energi di ruangan itu menyerapnya.

Krtt... Krtt...

Suara itu datang dari bayangan di sudut. Suara tulang yang retak, atau mungkin hanya pasir yang bergesekan. Namun, suara itu tumbuh.

Dari kegelapan, muncul sesosok tubuh. Bukan sosok bayangan seperti Penguasa, tetapi sosok yang dibentuk oleh bayangan. Wujudnya tinggi dan kurus, dengan mata tanpa pupil yang memancarkan cahaya redup seperti kunang-kunang mati. Ia tidak berjalan, ia melayang, dan di udara di sekitarnya, partikel debu tampak membeku.

Sosok Itu Mengawasi Ratih.

"Liontin... itu harus kembali," suara Sosok itu berderak, seperti radio yang rusak. Suaranya bukan berbicara, melainkan merangkak masuk ke telinga dan pikiran mereka. "Liontinmu... kunci Sang Peleburan... Liontin Kedua adalah milikku."

Tiba-tiba Susana menjadi sangat mencengkam . Sosok ini memancarkan aura kedinginan yang mutlak, rasa putus asa yang jauh melampaui kematian. Jika Penguasa Kegelapan adalah boneka, ini adalah tali yang menggerakkannya.

"Liontin ini milik leluhurku!" balas Ratih, mencoba menyembunyikan gemetar di suaranya.

Sosok itu tertawa, dan tawa itu terdengar seperti suara paku yang mencakar papan tulis. "Leluhurmu... mereka semua hanyalah bahan bakar untuk ketiadaan. Mereka gagal. Dan kau akan gagal."

Sosok itu bergerak, dan itu adalah kecepatan yang mustahil. Ia meluncur melewati Wijaya dan Sagara, langsung menuju Ratih.

Wijaya meraung dan melompat, tangannya menciptakan perisai energi murni yang tipis untuk menangkis. BUM! Perisai itu hancur, dan Wijaya terlempar ke dinding, darah mengalir dari hidungnya. Sagara hanya bisa mengeluarkan lolongan tertahan, terjepit oleh gravitasi sihir yang mendadak meningkat.

Ratih tidak punya waktu untuk berpikir. Ia meraih Liontin Mata Ketiadaan.

Saat tangannya menyentuh Liontin obsidian itu, Sosok itu membeku. Kedua Liontin itu beresonansi, Api Biru Ratih bertemu dengan ketiadaan yang tertidur.

"TIDAK! Belum waktunya!" raung Sosok itu.

Dalam sekejap, Liontin Mata Ketiadaan memancarkan kilatan ungu tua. Energi dari Liontin itu tidak menyerang, tetapi bertindak sebagai portal. Sosok itu, dengan jeritan yang merobek gendang telinga, tersedot kembali ke dalam bayangan dari mana ia berasal. Kegelapan mutlak.

Saat keheningan kembali, Ratih tersungkur di tanah, memegang kedua Liontin itu. Liontin Mata Ketiadaan terasa dingin, seperti menggenggam es abadi.

Liontin Biru Ratih dan Liontin Obsidian itu kini diletakkan berdampingan di tangannya, berdenyut dengan ritme yang bertentangan, namun seimbang.

Liontin Kedua telah ditemukan.

Luna mengatakan bahwa Sang Penghancur tidak akan keluar sampai kedua Liontin itu bersatu. Ratih kini memegang keduanya, dan ia baru saja bertemu dengan antek yang lebih tua dan lebih mengerikan daripada Penguasa Kegelapan.

Jangan lupa tinggalkan jejak dan komentarnya teman-teman 🙏🤗

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!