Gairah Tabu Tuan Sergio

keributan justru berpindah ke depan pintu keluar.

Dilan dan Davin berdiri saling berhadapan, sama-sama bersikeras ingin menemani Shannara.

​"Di sini sudah ada saya," ucap Dilan tegas, menatap Davin lurus. "Anda boleh pulang, istirahat aja. Shannara adalah tanggung jawab saya."

Davin, yang punya tugas dari Sergio, tetap tegak. "Terima kasih, tapi saya nggak capek. Lagipula, kasus ini mungkin butuh koneksi yang lebih besar. Saya bisa bantu, nona Shannara."

​"Koneksi?" balas Dilan, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kenapa kamu begitu tertarik dengan masalah adik Shannara? Shannara sudah punya saya, sebagai temannya."

Shannara, yang merasa kepalanya mau pecah, memijat pelipisnya. "Aduh, sudah, sudah! STOP!" serunya lelah. "Begini saja, ikut semua! Aku pusing dengerin kalian!"

Keduanya terdiam, tapi tatapan mereka tetap saling menantang. Sampai akhirnya di parkiran, masalah sepele pun jadi ajang rebutan; mobil siapa yang akan dinaiki Shannara.

​​"Naik mobil saya saja, Nara. Aku yang bawa," pinta Dilan.

Davin membuka pintu mobilnya, dengan gerakan profesional. "Mobil saya lebih nyaman, Nona Shannara. Dan lebih aman."

Shannara menarik napas panjang, membuat keputusan cepat demi mengakhiri drama ini. "Davin, aku ikut Dilan, ya," putusnya. "Aku... minta maaf. Kami akan bertemu di kantor polisi."

Davin mengangguk sopan, ekspresinya tidak berubah. "Tidak masalah, nona Shannara. Saya akan mengikuti dari belakang."

...---------------...

Sesampainya di kantor polisi, Shannara disambut kabar yang menghantam seperti badai.

Adik tirinya, Aldi, ditangkap karena menjadi kurir narkoba.

​​"Ya Tuhan, apa-apaan lagi ini?" Shannara berbisik, syok, rasa lelahnya kini berganti panik yang memuncak.

​Ia diizinkan bertemu Aldi, tetapi hanya boleh ditemani satu orang. Seketika, Davin dan Dilan kembali bersitegang.

​​"Saya yang harus ikut. Saya punya catatan kasus hukum dan pengalaman berurusan dengan kepolisian," ujar Davin, nadanya penuh otoritas.

​​"Saya temannya. Saya lebih menenangkan Shannara. Anda orang asing," balas Dilan.

Shannara, ingin segera menyelesaikan ini, menoleh ke Dilan. "Dilan, kamu temani aku. Davin, kamu tunggu di luar, ya. Terima kasih," keputusannya final.

​Davin terpaksa mundur. Dilan mengangguk mantap dan menemani Shannara ke ruang besuk.

Di ruangan kecil yang dingin itu, Shannara menatap adiknya, Aldi, dengan mata yang memancarkan kekecewaan dan amarah.

​"Kamu gila, ya?" bentak Shannara. "Nggak bisa apa biarin keluarga kita hidup tenang sebentar saja?! Ada-ada saja ulahmu! Kemarin Ibu baru mati-matian usaha sampai gadai rumah buat bebasin kamu, sekarang kamu masuk lagi dengan kasus kurir narkoba!"

Aldi, yang terlihat acak-acakan, menunduk sebentar, lalu balas menatap kakaknya dengan pembelaan diri. "Aku dijebak, Kak! Aku bersumpah! Aku nggak tahu kalau itu narkoba. Aku cuma disuruh anterin sabun balok ke rumah orang dan dibayar tujuh puluh ribu!"

​​"Kenapa kamu sebodoh itu, Aldi?!" Shannara memukul kepala adiknya dengan kesal. "Kamu ini bukan anak remaja lagi! Kenapa pikiranmu sesempit itu sih? Kenapa kamu selalu memilih jalan pintas paling kotor?!"

Dilan meraih bahu Shannara, berusaha menenangkan emosinya.

​​"Aku cuma butuh duit, Kak!" pinta Aldi, matanya merah. "Aku nggak pikir panjang. Itu juga karena Kakak pelit banget kalau aku minta duit, Ibu juga tiap aku minta harus ngomel dulu, bilang nggak punya duit melulu! Ini salah kalian!"

​​"Kalau diperiksa, aku juga nggak bakal ketahuan pake! Aku bersih, Kak!" desak Aldi. "Senakal-nakalnya aku, paling cuma minum alkohol. Aku nggak pernah sentuh barang haram itu. Aku bersumpah demi Tuhan!" tambah Aldi, memohon simpati.

Shannara terdiam, hanya napasnya yang tersisa.

"Ibumu sampai masuk rumah sakit gara-gara kamu tahu gak?" katanya pelan tapi tajam.

Aldi kaget. "Ibu? Sakit lagi? Ya ampun... Tapi, kan Ibu memang udah sering sakit, Kak. Masa semuanya salahku juga? Kenapa selalu aku yang disalahkan?"

​"Justru Ibu sakit-sakitan karena mikirin kamu, Aldi! Kamu nggak pernah bikin hidup kami tenang!" Shannara sudah kehabisan kata-kata.

Aldi merangkai kedua tangannya memohon. "Kak, tolong! Kali ini aku nggak bersalah. Aku cuma korban salah tangkap. Tolong sewa pengacara untuk bebaskan aku. Yang harusnya ditangkap itu orang yang suruh aku antar sabun batangan itu! Aku cuma orang yang lagi kepepet butuh duit. Tolonglah, Kak!"

Shannara keluar dari ruangan itu dengan kepala berdenyut. Masalah utamanya kini: Uang untuk sewa pengacara.

​​"Aku bisa bantu, Nar," ujar Dilan tiba-tiba, memahami dilema Shannara. "Kakak sepupuku seorang pengacara. Dia spesialis kasus pidana. Mungkin dia bisa bantu mengurus kasus ini. Aku akan minta tolong padanya."

​​"Aku pikir-pikir dulu, Lan," jawab Shannara, meski ia tahu ia tidak punya pilihan.

Dilan tahu kegelisahan Shannara pasti soal uang. "Kamu nggak perlu khawatir soal biaya. Aku akan tanggung sepenuhnya. Demi kamu."

Tapi sebelum mereka sempat bicara lebih jauh, Davin sudah muncul di depan pintu kantor polisi. Di sampingnya berdiri seorang pria berjas abu-abu dengan wajah serius.

Davin menatap Shannara datar. "Nona Shannara, Anda tidak perlu bingung soal pengacara. Masalah Anda sudah diurus." ​Ia menoleh pada pria di sampingnya. "Ini Pak Rendra. Rekan saya, seorang pengacara. Spesialisasi pembebasan."

Pengacara itu mengulurkan tangan. "Saya adalah pengacara yang ditunjuk Tuan Sergio untuk mengurus kasus adik Anda. Saya sudah membaca berkasnya. Saya akan berusaha membebaskan adik Anda dari jeratan hukum, secepatnya."

Shannara dan Dilan saling tatap. Shannara tahu ada seribu pertanyaan berkecamuk di kepala Dilan sekarang.