Siapa bilang menjadi sugar baby itu enak?.
Bergelimang kemewahan, bisa membeli tas mahal, perhiasan dan gadget terbaru dengan mudah. Bisa memiliki apartemen dan mobil seharga milyaran, segampang membalikkan telapak tangan.
Lea Michella dan teman-temannya, menempuh jalur instan agar bisa hidup enak. Mereka rela menjual kehormatan demi mengumpulkan pundi-pundi uang.
Namun ternyata, kehidupan sugar baby tak seindah dan semudah yang sering diceritakan oleh penulis di novel-novel online. Nyatanya ada banyak hal serius yang harus mereka hadapi.
Sanggupkah mereka bertahan atas pilihan yang mereka ambil?. Ikuti saja kisah ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pratiwi Devyara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lea Hilang
Hari itu pertama kalinya sejak tiga bulan, Lea mengunjungi adiknya Leo. Sepulang dari sekolah, ia menyambangi sekolah adik keduanya tersebut.
"Lea?"
Leo terkejut dengan kehadiran kakaknya, ia melihat Lea celingukan dari kejauhan. Gadis itu tengah mencari keberadaan Leo, diantara kerumunan siswa yang baru saja keluar.
"Leaaa."
Leo berteriak lalu menghampiri Lea.
"Buuuk."
Ia memeluk sang kakak secara serta merta.
"Lo dari mana aja?. Kenapa nggak ada kabar, kenapa pesan gue nggak pernah lo balas, telpon gue lo reject terus. Dan kenapa setiap gue ke sekolah lo, gue nggak pernah ketemu sama lo."
"Sssttt." Lea menutup mulut adik lelakinya yang cerewet itu.
"Kita jangan bicara disini." ujar Lea.
Ia pun mengajak Leo menuju ke sebuah tempat makan. Kebetulan di dekat sekolah Leo, memang banyak orang-orang yang jualan. Tidak seperti di sekolahnya yang sangat dibatasi. Mengingat sekolahnya tersebut bertaraf semi Internasional.
"Jadi selama ini lo tinggal di apartemen temen lo?" tanya Leo kepada Lea, ketika akhirnya mereka telah duduk.
"Hmm." Lea mengangguk sambil tersenyum, mereka kini tampak memakan bakso.
"Tapi kenapa lo nggak ngabarin, seenggaknya lo kasih tau gue. Kalaupun lo nggak mau bicara lagi sama orang rumah." Leo kembali berujar.
Lea kini menghela nafas dan tampak memperlambat makannya.
"Gue butuh waktu buat menyendiri, gue sakit hati banget saat terakhir berantem sama ibu. Apa ibu nyariin gue?" tanya Lea.
Gantian Leo yang menghela nafas. Remaja itu lalu menyedot es teh manis yang ada dihadapannya.
"Gue kangen rumah." ujar Lea lagi.
"Sebaiknya lo nggak usah kesana."
Kali ini Leo berujar, namun wajahnya menunjukkan ekspresi yang tak begitu nyaman.
"Kenapa emangnya?" tanya Lea heran.
Leo hanya menggelengkan kepalanya.
"Gue juga udah nggak tinggal disana koq."
"Oh ya, sejak kapan?. Terus lo tinggal dimana?" tanya Lea.
"Nggak lama setelah lo pergi, gue juga berantem sama mereka. Dan sekarang gue tinggal di rumah temen gue. Gue sambil kerja jaga warnet sama PS, di deket rumah temen gue itu."
"Lo berantem gara-gara apa sama mereka?" tanya Lea penasaran.
"Gue marah atas sikap ibu yang biasa aja, padahal lo nggak ada dirumah dan nggak ada kabar juga. Ibu sedikitpun nggak khawatir dan malah mengalihkan pembicaraan, setiap kali gue tanya soal elo."
Lea memperlambat makannya, ada rasa tak nyaman yang kini merayap di hatinya.
"Selama gue pergi, ibu nggak ada nyariin gue ke sekolah atau apa?" tanya nya kemudian.
"Lo sendiri, pernah nggak ketemu ibu saat di sekolah?" Leo balik bertanya.
Lea diam. Selama kurang lebih tiga bulan ini, tak sekalipun ia menemukan ibunya tengah berdiri didepan sekolah untuk mencarinya.
"Lo nggak usah pulang, bakalan sakit hati doang kalau lo ngotot. Gue sama lo itu cuma dianggap penghalang, bagi kebahagiaan keluarga mereka."
Lea mereguk es teh manis yang ada di depannya, beruntung bakso tersebut sudah hampir habis. Karena mendadak ***** makannya hilang begitu saja.
Lea memberikan Leo sejumlah uang saku, ketika ia hendak berpamitan pulang. Kebetulan gadis itu masih memiliki beberapa dari agency. Leo bertanya darimana Lea mendapatkan uang sebanyak itu. Namun Lea menjawab jika dirinya kini juga bekerja, pada sebuah toko milik ibu temannya.
Awalnya Leo menolak, dia mengatakan jika uang itu sebaiknya digunakan untuk keperluan Lea saja. Namun Lea meyakinkan adiknya itu, jika ia saat ini masih memiliki uang lain. Akhirnya Leo pun mau menerima uang tersebut.
Lea dan Leo berpisah di depan sekolah. Leo pulang kerumah temannya, sementara kini Lea hendak pulang ke kediaman Daniel. Namun, Ia masih penasaran dengan apa yang tadi dikatakan oleh Leo. Benarkah sang ibu tak mencari dirinya sama sekali.
Padahal dimana pun tempat, seburuk-buruknya seorang ibu. Ia pasti sedih jika anaknya tidak pulang-pulang kerumah. Dan sebandel-bandelnya seorang anak, mereka juga pasti selalu ingat rumah.
Karena kian penasaran, Lea pun memutar arah untuk menuju ke rumahnya. Sesampainya disana, benar apa yang dikatakan oleh Leo. Ia melihat sebuah pemandangan yang menusuk hati. Dimana sang ibu dan keluarga barunya itu tengah bergembira, dengan kedatangan sebuah motor baru.
"Yeay, akhirnya kita punya motor." teriak Ryan dan Ryana.
Mereka lalu berfoto-foto didepan motor tersebut. Tampak sang ibu wajahnya begitu sumringah dan tertawa lepas. Sama sekali tak ada beban, padahal kedua anaknya yang lain sedang tak ada disana dan tak tahu bagaimana kabarnya.
Lea yang tadinya rindu itu pun, mendadak jadi benci seketika. Gadis itu lalu berbalik arah dan tak lagi ingin menoleh kebelakang. Lea juga rasanya enggan pulang ke kediaman Daniel cepat-cepat. Ia ingin menghabiskan waktunya terlebih dahulu di suatu tempat. Hingga perasaannya bisa netral kembali.
Lea lalu berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti saja langkah kakinya.
***
Sore hari menjelang malam, Daniel pulang. Ia tak menemukan Lea ditempatnya.
"Lea."
Panggilannya terdengar di segala penjuru, namun tak ada jawaban. Ia memeriksa ke segala ruangan dan Lea tak ada di manapun. Lalu Daniel pun meraih kunci mobil dan beranjak. Ini kini menyusuri jalan demi jalan sambil menelpon Richard.
"Kenapa lo nggak telpon aja ke nomornya." ujar Richard.
"Masalahnya, gue kagak punya nomornya dia." ujar Daniel masih berusaha fokus mengemudi.
"Lo gimana sih?. Jangan-jangan kabur lagi tuh anak."
"Ya kalau kabur nggak masalah, gue juga nggak butuh dia. Yang gue takutkan dia menemui si tua bangka, karena di iming-iming sesuatu. Gue mikirin Grace, ini."
"Iya juga sih, coba deh lo tanya daddy lo." ujar Richard.
"Gue nggak ada nelpon dia, takut dia tau gue nyariin Lea dan akhirnya dia ngumpetin anak itu. Gue mau nemuin dia dikantornya. Sekalian kalau dia bertingkah, gue kasih tau aja sama Grace soal kelakuannya. Bodo amat, kesel gue."
"Ya udah lo nyetir dulu sana, ati-ati. Ntar kabarin gue." ujar Richard lagi.
"Ok, ok. Gue jalan dulu, ya."
"Ok."
Daniel melanjutkan perjalanan dengan hati yang begitu kesal. Bisa-bisanya bocah bodoh itu, sudah diselamatkan dari buaya. Sekarang malah menuju ke sarangnya, pikir Daniel.
"Mana Lea?"
Daniel secara serta merta masuk keruangan kerja ayahnya, ketika ia telah sampai. Para receptionist di bagian bawah pun, tak mampu menghalau pria itu. Mereka juga tahu jika Daniel adalah anak dari Edmund. Jadi mereka juga serba salah, dalam keadaan seperti ini.
"Mana Lea?" tanya Daniel sekali lagi.
"Dia tidak disini." ujar Edmund seraya menatap puteranya itu.
"Terus dimana?" tanya Daniel lagi.
"I don't know, kan kamu yang bawa."
"Saya tanya sekali lagi, dimana Lea. Atau saya beritahukan semua kepada Grace."
"Jangan coba-coba." ancam Edmund dengan wajah penuh kemarahan, namun syarat akan ketakutan.
"Ya sudah, tinggal bilang dimana dia?" ujar Daniel.
"I don't know, saya tidak pernah mengusik gadis itu sejak kamu membawanya."
Edmund menatap tajam ke mata Daniel, dan di sanalah pula Daniel mengerti. Jika memang Edmund tidak mengetahui keberadaan Lea. Meski ia tak begitu yakin dengan ayahnya tersebut. Daniel lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin Lea telah kabur, pikirnya.
"Ya sudah."
Daniel pun tak peduli lagi. Asal Lea tidak bersama dengan Edmund, itu bukan masalah besar baginya. Karena kekhawatiran terbesarnya adalah mengenai nasib Grace. Ia tidak ingin Grace disakiti oleh ayahnya.
Daniel kembali ke penthouse, namun ketika ia membuka pintu. Ia menemukan Lea tengah menonton televisi.
"Dari mana kamu?" tanya Daniel kemudian.
"Ya sekolah lah." jawab Lea sambil terus memperhatikan televisi.
"Sekolah mana yang jam segini baru pulang?"
Kali ini Lea menoleh pada Daniel.
"Om, jaman sekarang sebagian sekolah itu sudah full time. Jarang banget yang jam 12 siang udah pulang. Minimal jam 2 atau jam 4 sore. Jangan samain dengan jaman om dulu, om aja udah tua."
Daniel menatap tajam ke arah Lea.
"Ya tapi ini sudah malam." ujarnya kemudian.
"Saya tadi main dulu."
"Lain kali bilang kalau mau kemana-mana."
"Mau bilang ke siapa, nomor om aja nggak ada."
Daniel menghela nafas kesal, ia kemudian mengeluarkan handphone.
"Mana nomor kamu." ujarnya kemudian.
Lea pun lalu menyebutkan nomor telponnya pada Daniel.
and yes, kurang suka bagian daniel nyingkat nama lea, apaan banget dipanggil "le"? ubur² ikan lele?? 🤭
masih nunggu ya lanjutannya thor