Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Setelah sarapan sederhana mereka nikmati bersama, suasana rumah terasa lebih tenang dari biasanya.
Khanza masih sibuk membereskan meja makan, sementara Reza duduk santai di ruang tamu, menatap istrinya dengan senyum tipis.
“Za…” panggil Reza pelan.
“Iya, Mas?”
Reza berdiri, berjalan mendekat, lalu menggenggam kedua tangan istrinya.
Matanya teduh, berbeda sekali dengan tatapan dingin semalam.
“Kemarin aku janji sama kamu, kalau aku bakal buktiin perasaan aku dengan perbuatan, kan?”
Khanza mengangguk pelan, menatap suaminya penuh rasa penasaran.
Reza menarik napas dalam, lalu tersenyum.
“Ayo kita ke Bandung hari ini. Yang kemarin sempat tertunda gara-gara semua masalah itu. Aku pengen kita mulai lembaran baru di sana.”
Khanza membelalakkan matanya saat mendengar perkataan dari suaminya.
“B-beneran, Mas? Ke Bandung?”
Reza mengangguk sambil mencium pipi istrinya yang terkejut.
“Ya, Sayang. Aku pengen lihat kamu bahagia tanpa air mata. Kita jalan-jalan, refreshing, biar semua luka kemarin pelan-pelan sembuh. Aku butuh itu, kamu juga butuh.”
Tanpa sadar, Khanza langsung memeluk suaminya erat-erat.
“Mas, terima kasih. Aku kira kamu nggak akan pernah ajak aku lagi. Aku janji, aku bakal bikin perjalanan ini jadi kenangan indah buat kita berdua.”
Reza mengusap rambut panjang istrinya sambil mengecup keningnya.
“Kita nggak butuh rencana besar. Yang aku mau cuma satu yaitu kamu di samping aku. Itu udah cukup bikin aku bahagia.”
Khanza menganggukkan kepalanya dan ia segera bersiap-siap kembali.
Ia meminta suaminya untuk mandi terlebih dahulu.
"Bagaimana, kalau kita mandi bersama."
Reza langsung membopong tubuh istrinya dan membawanya ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi mereka berdua tak hanya mandi.
Mereka melakukan hubungan intim seperti pasangan suami istri lainnya
Suara desahan terdengar jelas di dalam kamar mandi.
Setelah satu jam kemudian mereka telah selesai dan memakai pakaiannya.
"Mas Reza, nakal." ucap Khanza.
"Tapi kamu suka, kan?"
Khanza menganggukkan kepalanya dan segera ia mengajak suaminya masuk ke dalam mobil.
Reza segera melajukan mobilnya menuju ke arah Bandung.
"Sayang, sudah hubungi mama kalau kita baik-baik saja?"
"Astaghfirullah, aku hampir lupa."
Khanza mengambil ponselnya dan menghubungi Mamanya.
Ia mengabari kalau mereka berdua akan bulan madu ke Bandung.
Mama yng mendengarnya langsung bahagia dan meminta mereka untuk tidak bertengkar lagi.
Setelah mengobrol dengan mama, Khanza memasukkan ponselnya kedalam tasnya.
Perjalanan menuju Bandung terasa berbeda kali ini.
Tidak ada keheningan canggung, tidak ada pertengkaran.
Hanya canda kecil, obrolan ringan, dan sesekali tawa Khanza yang membuat hati Reza terasa damai.
Di tengah perjalanan, Reza melirik istrinya yang sedang sibuk membuka jendela, menikmati semilir angin.
“Kamu tahu, Za?” katanya tiba-tiba.
“Apa, Mas?” Khanza menoleh, tersenyum manis.
“Sejak pertama kali lihat kamu tersenyum. Aku tahu kalau aku nggak akan pernah bisa lepas dari senyum itu. Makanya aku terlalu takut kehilangan kamu.”
Khanza terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Reza yang memegang setir.
“Mas, mulai sekarang jangan takut lagi. Aku nggak akan kemana-mana. Senyum ini cuma buat kamu.”
Reza tersenyum kecil, menahan perasaan hangat yang memenuhi dadanya.
“Kalau gitu, aku mau lihat senyum itu terus sampai kita tua nanti.”
Mobil melaju di jalan tol, membawa mereka menuju Bandung.
Reza meminta Khanza untuk tidak khawatir dengan Bimo yang masih kabur.
"Aku sudah meminta polisi untuk mencari keberadaan Bimo dan mereka yang lainnya."
Khanza mengangguk pelan, merasa lebih lega.
“Syukurlah, Mas. Aku cuma pengen kita tenang tanpa ada gangguan lagi.”
Reza melirik istrinya sekilas, lalu tersenyum.
“Kita pasti bisa, Za. Aku janji.”
Mereka kembali larut dalam suasana perjalanan yang hangat.
Sesekali Khanza menyandarkan kepalanya di bahu Reza, meski suaminya sedang fokus menyetir.
Beberapa jam kemudian, mobil mereka memasuki kawasan Bandung.
Udara sejuk langsung menyambut, berbeda sekali dengan panasnya Jakarta.
Pepohonan rindang dan pemandangan pegunungan membuat Khanza tak berhenti tersenyum.
“Mas, indah banget ya,” gumamnya sambil menatap keluar jendela.
Reza menoleh sebentar, lalu mengusap kepala istrinya penuh sayang.
“Indah, tapi tetap kalah sama kamu.”
Khanza menepuk lengan suaminya dengan malu-malu.
“Mas ini, bisa aja…”
Mereka berhenti di sebuah villa yang sudah dipesan Reza sebelumnya.
Suasananya tenang, dengan balkon menghadap ke hamparan hijau perbukitan.
Begitu masuk ke kamar, Khanza tertegun. Di meja sudah ada bunga mawar putih dengan kartu kecil bertuliskan 'Untuk istriku, awal yang baru'
Air matanya langsung menetes, kali ini bukan karena sakit hati, tapi bahagia.
“Mas, kamu nyiapin semua ini?”
Reza mendekat, memeluk pinggang istrinya dari belakang.
“Za, ini awal kita. Aku pengen kita buang semua luka kemarin, mulai dari sini. Nggak ada lagi kata ‘terpaksa’, yang ada cuma ‘kita’.”
Khanza membalikkan badan, menatap wajah suaminya.
“Aku janji, Mas. Aku bakal buktiin kalau cinta aku cuma buat kamu.”
Mereka berpelukan lama, seakan ingin memastikan bahwa kali ini tidak ada lagi jarak yang memisahkan.
Namun di luar sana, di balik kabut pegunungan Bandung, bayangan ancaman masih ada.
Seorang pria berdiri tak jauh dari villa itu, memandang dengan tatapan tajam.
Telepon di tangannya bergetar, lalu ia mengangkatnya.
"Ya, mereka sudah sampai. Tunggu saja waktunya.”
Di balik pepohonan rimbun tak jauh dari villa, Devan berdiri dengan kacamata hitam menutupi tatapan matanya.
Tangannya menggenggam ponsel, sementara tatapannya fokus ke arah balkon villa tempat Reza dan Khanza baru saja masuk.
Senyum tipis tersungging di wajahnya, bukan senyum bahagia, melainkan penuh kepahitan dan obsesi.
“Kamu pikir semua selesai hanya karena kalian pergi bulan madu, Za?” gumamnya pelan.
“Selama aku masih hidup, kamu nggak akan pernah bisa benar-benar bahagia sama dia.”
Ponselnya kembali bergetar, kali ini nama Bimo muncul di layar.
Devan menjawab dengan suara rendah namun tegas.
“Ya, aku lihat mereka sudah sampai di villa. Kau masih di tempat persembunyian, kan?”
Suara Bimo terdengar di seberang, serak dan terburu-buru.
“Iya, Dev. Tapi polisi sudah mulai mencium jejakku. Aku nggak bisa lama-lama di sini.”
Devan menatap tajam ke arah villa, matanya menyipit.
“Tenang, aku yang urus. Kamu jangan khawatir soal polisi. Selama aku di belakangmu, mereka nggak akan bisa sentuh kamu.”
“Kenapa kamu masih mau bantu aku, Dev? Padahal aku tahu kamu juga benci sama Reza.”
Devan tersenyum miring, nada suaranya berubah dingin.
“Kita punya musuh yang sama, Bim. Reza merebut semuanya dariku, termasuk Khanza. Jadi kalau kita kerja sama, aku yang akan dapat Khanza, dan kamu bebas dari semua tuduhan. Itu adil, kan?”
Bimo terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dari seberang.
“Baiklah. Aku akan ikuti rencana kamu. Apa langkah selanjutnya?”
Devan menatap kembali ke villa. Dari kaca jendela, ia bisa melihat Khanza tertawa kecil saat Reza memeluknya dari belakang.
Tatapan Devan mengeras, rahangnya menegang.
“Langkah selanjutnya… tunggu mereka lengah. Saat Reza sibuk dengan rasa cintanya, kita akan ambil apa yang paling berharga dari dia. Khanza… akan jadi milikku.”
Ia menutup telepon, lalu memasukkan ponsel ke sakunya.
Angin pegunungan berhembus pelan, membawa suara alam yang tenang.