Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Apa yang terjadi di sini?" tegur seorang wanita dengan nada galak dan sangar.
Ningsih dan Lastri terperanjat mendengar suara itu, tapi tidak dengan Bi Sumi dan Wulan. Keduanya tetap terlihat tenang sebab Wulan tak tahu siapa yang datang, sedangkan Bi Sumi tak ada abdi yang tidak menghormatinya sekalipun itu dari paviliun Ratih.
"Bi Misnah!" Lastri mengernyitkan dahi melihat abdi kepercayaan Ratih datang ke kamar Wulan.
"Nyai Ningsih dan Nyai Lastri, sedang apa di sini sampai membuat keributan besar? Kalian tahu Nyai Ratih yang sedang sarapan terganggu oleh keributan yang kalian buat. Kalian tahu akibatnya jika mengganggu waktu makan Nyai Ratih, bukan?" ujar Misnah membuat keduanya semakin gemetar ketakutan.
"Bi Misnah, itu dia ... kami datang ke sini dengan maksud baik untuk mengunjunginya, tapi dia malah berteriak maling. Dia menuduh kami maling, Bi!" tuding Lastri dengan kesal menunjuk Wulan yang duduk tenang di kursi sembari menikmati secangkir kopi hangat yang disuguhkan Bi Sumi.
"Bi Sumi! Apa benar yang dikatakan Nyai Lastri? Kamu tahu sendiri apa hukuman dari memfitnah majikan," selidik Bi Misnah menatap tajam Bi Sumi yang terlihat tetap tenang.
"Misnah! Apa yang dikatakan Nyai Lastri memang benar, tapi apa yang dilakukan Nyai Wulan pun tidak salah. Jika ingin berkunjung ke tempat orang lain haruslah dengan tatakrama yang baik. Tidak bisa menyerobot masuk begitu saja. Beruntung Nyai Wulan hanya meneriaki mereka maling, dan tidak sampai memukul mereka," ujar Bi Sumi dengan tegas meski suaranya terdengar pelan.
Misnah melirik Wulan yang terlihat biasa-biasa saja setelah Ratih mengirim guna-guna semalam. Dahinya mengernyit, kebingungan sendiri. Teluh yang dikirim Ratih bukanlah teluh sembarang. Teluh yang perlahan mengikis kecantikan seorang wanita dan melemahkan seluruh syarafnya.
Bagaimana mungkin dia baik-baik saja? Seharusnya dia terlihat pucat dan lesu, bukan? Tidak mungkin!
"Ada apa? Kenapa kamu menatap saya seperti itu?" tegur Wulan menyadari tatapan tajam Misnah terhadapnya.
"Apa itu berarti kamu menganggap nyai Ratih juga maling karena masuk ke kamar ini tanpa izin terlebih dahulu?" ujar Misnah sengit.
Wulan menoleh dan tersenyum, dia berkata"Itu kamu sendiri yang mengatakan, bukan aku." Wulan melambaikan kedua tangan menolak pernyataan tadi.
"Kamu ...!" Misnah geram, menuding Wulan dengan lancang.
"Lancang kamu, Misnah! Beraninya kamu menghardik majikan dan menatapnya seperti itu! Ingat, kamu hanya abdi di istana ini dan Nyai Wulan adalah istri sah juragan! Kamu harus tahu posisimu sendiri jika tak ingin celaka!" hardik Bi Sumi dengan suara lantang.
Misnah berpaling, mendengus mendengar ancaman dari pengasuh juragan itu. Selama ia berada di sisi Ratih, maka tak ada yang perlu dia takuti.
"Sudahlah! Saya datang ke sini hanya untuk memberitahu kalian agar tidak membuat keributan lagi. Nyai Ratih akan memaafkan kalian semua, tapi jika masih berlanjut jangan salahkan Nyai mengambil tindakan sekalipun itu istri sah juragan!" ujar Misnah sembari melirik tajam pada Wulan.
Bagus! Bahkan, seorang pelayan saja bisa bersikap sombong seperti itu. Sepertinya aku harus memberinya pelajaran.
Wulan bergumam, kemudian bangkit dari duduknya dan mendekati Misnah. Lalu ....
Plak!
Satu tamparan Wulan mendarat di pipi pelayan angkuh itu sampai membuat kepalanya berpaling ke kanan.
"Kamu berani memukul saya!" protes Misnah tak terima.
"Kenapa? Saya mendisiplinkan pelayan di istana ini apa salah saya? Kamu berani mengancam majikan, hukumannya tidak ringan. Bi Sumi, apa hukuman karena mengancam majikan?" Wulan menatap tajam pada Misnah yang masih tak sadar akan posisi dia sendiri.
"Menjawab, Nyai. Hukumannya adalah dicambuk sebanyak dua puluh kali dan dikurung di gudang kayu selama tiga hari tiga malam," jawab Bi Sumi dengan lantang.
Misnah membelalak, menyalang pada Bi Sumi yang baru saja berbicara dengan lantang.
"Bi Sumi, kamu harus ingat saya siapa? Saya adalah abdi pribadi nyai Ratih. Kamu tidak bisa seenaknya kepada saya!" sengit Misnah seraya berbalik hendak pergi, dan kedua istri juragan hendak mengikuti.
"Tunggu!"
Langkah mereka terhenti saat teguran Wulan terdengar.
"Apa aku sudah menyuruh kalian pergi? Apa seperti ini cara orang-orang di istana ini bersikap? Datang seenaknya dan membuat masalah, tanpa meminta maaf ketika salah!" ucap Wulan tegas.
Misnah dan kedua wanita yang bersamanya menoleh kepada Wulan.
"Kamu jangan sok, Wulan! Jangan mentang-mentang istri sah juragan kamu bisa seenaknya!" hardik Lastri geram dengan sikap Wulan.
"Kalian tahu saya adalah istri sah juragan, tapi kalian masih berani membuat keributan di kamar saya. Sepertinya jika tidak dihukum kalian akan terus melakukan ini kepada saya," balas Wulan membuat mereka semakin geram.
"Apa yang mau kamu lakukan, Wulan!" Ningsih panik mendengar kata-kata Wulan.
"Berlutut dan minta maaf kepada saya!"
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa