Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25.Titik yang Tak Bisa Mundur
Lucas mulai menyadarinya terlalu pelan.
Bahwa membiarkan Dewi berada sedekat ini adalah kesalahan.
Bukan karena Dewi melakukan sesuatu yang terang-terangan. Justru karena semuanya terasa wajar. Terlalu wajar. Makan bersama, diskusi ringan, kehadiran yang konsisten. Dewi tidak menuntut, tidak memaksa—dan di situlah letak bahayanya.
Lucas tahu ia seharusnya menarik diri.
Tapi ia tidak bisa.
Bukan sekarang.
Tugas yang diembannya menuntut kedekatan itu. Rencana Athaya—yang belum sepenuhnya ia pahami—tetap berjalan, meski Athaya sendiri menghilang. Lucas berada di tengah, setengah sadar bahwa ia sedang melangkah ke wilayah abu-abu.
Saat kebimbangannya mencapai puncak, rapat itu terjadi.
Ruang rapat Night Holding dipenuhi wajah-wajah serius. Kursi utama kosong—kursi yang seharusnya ditempati Athaya. Lucas menatapnya lama, sebelum pintu terbuka dan Mahesa masuk, langkahnya mantap.
“Athaya berhalangan,” ucap Mahesa singkat. “Saya gantiin.”
Lucas menegakkan punggung. Ada sesuatu yang mengeras di dadanya. Mahesa bukan orang asing—dan tatapan itu seolah tahu lebih banyak dari yang ia ucapkan.
Sepanjang rapat, Lucas nyaris tidak mendengar apa pun selain suara pikirannya sendiri. Setiap kali Dewi berbicara di seberang meja, Lucas menangkap bayangan Athaya—dingin, tajam, jauh.
Gue salah, pikirnya. Tapi gue belum bisa berhenti.
Di tempat lain, keputusan pahit juga jatuh pada Danu.
Ia duduk berhadapan dengan orang-orang perusahaan, tangan terlipat di atas meja. Wajahnya lelah, matanya merah karena kurang tidur—bukan karena kerja, tapi karena pencarian yang tidak pernah berujung.
“Cukup,” ucap salah satu dari mereka. “Lo harus fokus ke sini.”
Nama Gio masih menggantung di benaknya, tapi dunia tidak menunggu.
Dengan berat hati, Danu berhenti mencari. Bukan karena menyerah—melainkan karena dipaksa memilih tanggung jawab yang tidak bisa ia tunda.
Dan jauh dari mereka semua, pagi datang dengan cara yang berbeda bagi Gio.
Ia terbangun dengan rasa mual yang langsung naik ke tenggorokan.
Gio bangkit tergesa, nyaris tersandung menuju kamar mandi. Begitu sampai, tubuhnya menolak isi perutnya sendiri. Muntah datang cepat, panas, menyisakan rasa pahit yang menempel lama.
Ia bersandar di dinding kamar mandi, napasnya terengah.
“Baru bangun aja udah begini…” gumamnya lemah.
Kehamilan tiga bulan ternyata tidak selembut yang ia bayangkan.
Nafsu makannya aneh. Ada hari-hari ia lapar terus, tapi begitu makanan ada di depan mata, perutnya menolak. Ada juga hari-hari di mana satu aroma saja cukup membuatnya mual.
Pagi itu, ia ingin sesuatu yang asam—sangat asam. Tangannya gemetar saat mengambil jeruk dari meja, menggigitnya perlahan. Baru beberapa gigitan, perutnya kembali bergejolak.
Ia menghela napas, frustasi.
Tangannya refleks turun ke perutnya. Mengusap pelan. Protektif.
“Tenang,” bisiknya, entah pada siapa. “Aku masih belajar.”
Mood-nya tidak kalah kacau. Detik ini ia ingin menangis tanpa alasan, detik berikutnya ia merasa kesal hanya karena sendok jatuh. Ia membenci dirinya sendiri karena itu—karena merasa tidak stabil, tidak kuat.
Siang itu, ia hanya bisa makan sedikit nasi dan sup bening. Sore harinya, ia menginginkan makanan yang sama sekali tidak masuk akal baginya beberapa bulan lalu.
Tubuhnya berubah. Dan ia harus mengikutinya, meski tertatih.
Gio duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Lelah yang tidak wajar menekan kelopak matanya. Ia baru tidur dua jam, tapi rasanya seperti tidak tidur sama sekali.
Pikirannya melayang ke Jakarta.
Ke Danu.
Ada rasa bersalah yang terus menggerogoti, tapi juga ketakutan yang lebih besar. Ia belum siap. Belum tahu bagaimana harus berkata. Belum tahu apakah Danu akan mengerti—atau justru hancur.
“Sedikit lagi,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kasih aku waktu.”
Tangannya kembali mengusap perutnya, kali ini lebih lama.
Di dalam tubuhnya, sesuatu tumbuh. Dan di luar, dunia terus bergerak—tanpa menunggu ia siap.
-bersambung-