Luna terjebak dalam pernikahan kakaknya dengan william, pria itu kerap disapa Tuan Liam. Liam adalah suami kakak perempuan Luna, bagaimana ceritanya? bagaimana nasib Luna?
silahkan dibaca....
jangan lupa like, komen dan vote
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momy ji ji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25.
Sore hari di mansion terasa begitu mencekam bagi Luna.
Setelah menyaksikan kehancuran Dion, jiwanya seolah ikut mati.
Di bawah cahaya lampu kamar yang temaram dan tirai kamar yang tertutup. Ia hanya bisa meringkuk di sudut tempat tidur, memeluk lututnya sendiri sementara Liam pergi menghadiri pesta bisnis besar untuk merayakan kemenangan tendernya.
Kamar mewah yang seharusnya menjadi tempat istirahat kini terasa seperti sel penjara yang dingin.
Luna menatap kosong ke arah jendela, mendengarkan detak jam dinding yang seolah mengejek nasibnya.
"Kenapa harus aku?" bisiknya parau... suaranya hilang ditelan sunyi.
Ia merasa sangat kotor dan rendah. setiap kali Ia menutup mata, bayangan Dion yang terpuruk dan Dea yang gemetar ketakutan terus membayanginya.
Luna membenci fakta bahwa keselamatannya harus dibayar dengan kehancuran orang-orang yang Ia cintai. Ia merasa menjadi kutukan bagi siapa pun yang berani menyayanginya.
Dia sudah menghancurkan Dion dan bagaimana dengan gadis kecil mereka? Reina yang sudah terbiasa berada di dekat mereka? Luna benar-benar hancur, dia merasa dirinya sudah mengkhianati orang-orang tersayangnya.
Luna berjalan gontai menuju cermin besar di sudut kamar. Ia melihat pantulan dirinya, wanita yang mengenakan gaun sutra mahal. dengan cincin pemberian Liam yang melingkar di jari manisnya, namun matanya redup tanpa harapan.
Kebencian pada Diri sendiri.. Luna merasa menjadi pengkhianat karena Ia tidak mampu berbuat apa-apa selain memohon belas kasihan pada monster yang Ia sebut Tuan.
Ia menyadari bahwa tembok mansion ini terlalu tinggi, dan kekuatan Liam terlalu besar untuk Ia lawan sendirian.
Ia meratapi bagaimana takdir menyeretnya dari kebahagiaan sederhana bersama Dion ke dalam labirin emas yang penuh dengan duri seperti sekarang.
"Aku membencimu, William Moscow Vert... tapi aku jauh lebih membenci diriku sendiri karena tidak bisa menghentikanmu," Isaknya pecah.
Ia jatuh terduduk di lantai, menangis tanpa suara agar pelayan di luar pintu tidak mendengarnya. padahal ruangan kamarnya sendiri sudah kedap suara.
Tengah malam, suara deru mobil mewah terdengar memasuki halaman mansion.
Tak lama kemudian, langkah kaki yang mantap bergema di koridor.
Pintu kamar terbuka, menampakkan Liam yang masih mengenakan setelan tuksedo, tampak gagah namun memancarkan aura kemenangan yang memuakkan.
Liam berhenti melangkah saat melihat Luna masih terduduk di lantai dengan wajah sembab. Ia mendekat, melepaskan dasinya dengan santai, lalu berjongkok di hadapan Luna.
"Masih menangis?" Tanya Liam, suaranya dingin tanpa empati dimata Luna.
Ia mengusap air mata di pipi Luna dengan ibu jarinya, namun gerakannya terasa sangat hangat.
"Berhentilah meratapi nasibmu Luna. di luar sana, orang-orang memuja suamimu. seharusnya kau bangga berdiri di sampingku, bukan meringkuk di lantai seperti pecundang."
Luna hanya bisa diam... membiarkan tangan Liam menyentuh wajahnya, karena Ia tahu perlawanan hanya akan membawa petaka baru bagi Dion.
Karena pria itu akan mengaitkan inti masalah A sampai Z.
"Berhenti bersikap seolah aku sedang menyiksamu.... Luna," Bisik Liam, suaranya berat dan berbahaya tepat di telinga Luna.
"Kau adalah Nyonya di rumah ini. semua kemewahan ini milikmu. kenapa kau lebih memilih menangisi pecundang yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya dari satu gerakan jariku?"
Luna mencoba mendorong dada Liam, namun pria itu justru semakin mengunci pinggangnya.
"Lepaskan... Tuan hanya ingin melihatku hancur kan? Tuan puas sekarang?" Tanya Luna berani, entah pergi kemana janjinya untuk patuh pada Liam beberapa jam lalu.
"Aku puas saat kau menatapku, bukan menatap bayangan masa lalumu," Balas Liam.
Ia kemudian mengangkat tubuh Luna dengan begitu tiba-tiba, membawanya ke arah ranjang besar mereka.
Liam merebahkan Luna dan mengurung tubuh wanita itu dengan kedua tangannya.
Ia tidak melakukan kekerasan, namun kehadirannya terasa sangat menindas. Ia mengambil sebuah kotak beludru kecil dari saku tuksedonya dan melemparkannya ke samping kepala Luna.
"Itu adalah kunci apartemen baru untuk sahabatmu Dea.... dan di dalamnya ada surat pernyataan bahwa aku tidak akan mempermasalahkannya," ucap Liam dengan nada datar.
"Itu hadiah karena kau sudah bersikap manis hari ini dihadapan kedua orang itu. tapi ada harganya... Luna."
Luna tertegun, menatap kotak itu dengan napas yang masih tersengal.
"Harganya?"
Liam mendekatkan wajahnya, membelai bibir Luna dengan ibu jarinya yang dingin.
"Harganya adalah senyumanmu... aku ingin mulai besok, kau melupakan cara menangis. jika aku melihat setetes saja air mata untuk Dion, maka apartemen itu akan menjadi sel penjara bagi sahabatmu."
"Pastikan kau memberikan itu padanya, aku mengizinkan kalian bertemu besok."
"Tuan.. kau benar-benar monster..." Bisik Luna parau.
"Monster yang memegang kendali atas hidup orang-orang yang kau cintai termasuk....kau tentu tahu siapa orangnya," Sahut Liam manis sambil mengecup kening Luna dengan lembut.
"Sekarang diamlah, dan biarkan aku menghapus sisa-sisa aroma pria itu dari pikiranmu." Liam melepaskan kemejanya.
Dia tidur memeluk Luna beberapa saat.
'Aku menginginkan mu Luna, suatu saat kau akan mengerti keinginanku.'
"Kau sudah makan malam?" Tanya Liam dengan mata tertutup rapat.
"Sudah... kepala maid membawakan makan malam satu jam lalu."
"Bagus... jika kau mogok makan karena pria lain, aku akan menghukummu."
"Hemm."
"Aku mau membersihkan diri... kau istirahatlah lebih dulu, tidak usah menungguku," Kata Liam beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.
***
Liam berlutut di samping tempat tidur, memperhatikan setiap tarikan napas Luna yang teratur namun terasa berat.
Baginya, Luna bukan sekadar seorang wanita biasa atau apapun juga.
"Kau menyebutku monster, Luna," Bisik Liam pelan.. suaranya hampir tak terdengar.
"Tapi kau tidak tahu bahwa tanpamu, dunia yang aku hadapi ini tidak ada artinya sama sekali. kau adalah satu-satunya alasan aku kembali menjadi manusia waras."
"Tidurlah Luna..." Gumamnya.
"Mimpikan aku, meskipun itu mimpi buruk. asalkan kau tidak memimpikan pria lain." Kata Liam naik ke atas ranjang dan mulai menarik Luna kedalam pelukannya.
Bersambung....