NovelToon NovelToon
Takdir Kedua

Takdir Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Murid Genius / Teen School/College / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Putri asli/palsu
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tenang di Tengah Badai

Bel masuk berbunyi. Semua siswa segera kembali ke tempat duduk masing-masing.

Guru wali kelas, Ibu Rinjani, melangkah masuk ke ruang kelas dengan wajah tenang tapi tegas. Tatapannya langsung tertuju pada Shinta Bagaskara.

“Shinta, ikut saya ke ruang guru.”

Tanpa menunggu jawaban, Ibu Rinjani berbalik dan keluar kelas.

Seluruh siswa kelas 12D spontan menoleh ke arah Shinta dengan wajah tegang. Ibu Rinjani terkenal galak — bahkan dibandingkan guru-guru lain, galaknya sudah level dewa.

Raka Birawa menatap punggung Shinta dengan ekspresi simpati.

Bos Shinta... semoga selamat. Kali ini aku nggak bisa nolong.

Raka jarang takut pada guru, tapi Ibu Rinjani pengecualian. Setiap melihatnya, nyali langsung ciut tanpa alasan.

Di ruang guru, Ibu Rinjani menutup pintu lalu menuangkan segelas air.

“Duduk.”

Saat itu hanya ada mereka berdua. Para guru lain sedang berada di kelas masing-masing.

Shinta duduk tegak dan rapi, wajahnya tenang, memperlihatkan sikap sopan.

Ibu Rinjani sempat tersenyum tipis.

Kalau saja ia tak tahu bahwa gadis di depannya ini baru beberapa hari masuk sekolah dan langsung bikin heboh karena meninju Raka Birawa, mungkin ia juga akan mengira Shinta murid teladan.

“Belakangan ini sudah mulai terbiasa di sekolah?” tanya Ibu Rinjani dengan nada lembut.

“Sudah, Bu,” jawab Shinta singkat.

Guru itu sempat ragu sebelum melanjutkan, “Kamu tahu soal gosip yang beredar? Apa pendapatmu?”

Sebagai wali kelas, Ibu Rinjani percaya pada Shinta. Meski gadis itu terkesan dingin dan sombong, ia selalu menunjukkan ketegasan dan prinsip kuat. Mustahil Shinta terlibat hal-hal tidak senonoh seperti yang dibicarakan banyak orang.

Yang dikhawatirkannya hanyalah dampak gosip kejam itu. Tekanan dari opini bisa menghancurkan siapa pun — terutama siswi seusia Shinta. Banyak remaja yang akhirnya depresi atau bahkan memilih jalan berbahaya hanya karena cibiran lingkungan.

Namun Shinta hanya tersenyum tipis. Suaranya tenang tapi tegas, “Cuma omongan kosong, Bu. Saya nggak peduli.”

Ibu Rinjani mengembuskan napas lega. Gadis ini luar biasa.

“Kalau begitu, kamu mau ambil langkah apa?” tanyanya lagi.

“Tidak perlu. Lama-lama mereka bosan sendiri.”

Shinta sudah bisa menebak siapa dalang gosip itu. Selain Dira Bagaskara, siapa lagi?

Dira dikenal sebagai siswi berprestasi dan kesayangan guru di kelas unggulan. Pandai bersandiwara, pintar mengambil hati. Tak ada yang akan menyangka kalau gadis sebaik itu ternyata menyebarkan fitnah.

Manusia memang aneh. Mereka lebih suka cerita dramatis daripada kebenaran. Sekali mereka percaya kau bersalah, penjelasan apa pun tak akan mengubah pandangan mereka.

Tapi Shinta tahu — gosip pun punya masa kadaluarsa.

Melihat Shinta begitu santai, Ibu Rinjani hanya bisa menggeleng lemah. Ia memijat pelipisnya, merasa campur aduk antara kagum dan pusing.

“Kalau begitu, silakan kembali ke kelas.”

Saat Shinta melangkah keluar dari ruang guru, ia berpapasan dengan Pak Liang, guru Bahasa Inggris sekaligus wali kelas 12A.

Pak Liang sudah sejak awal tak menyukai Shinta. Begitu mendengar gosip bahwa gadis itu “dipelihara pria tua”, ia langsung percaya tanpa pikir panjang.

Dalam pikirannya, Shinta memang bukan murid baik-baik. Ia bahkan yakin gadis itu bisa masuk sekolah ini hanya karena “orang dalam.”

Ia sama sekali tidak tahu bahwa Shinta adalah anak dari Haryo Bagaskara, pengusaha ternama yang sengaja merahasiakan hubungan mereka demi menjaga reputasi keluarga.

Melihat Shinta masih tenang di tengah badai gosip, bukannya kagum, Pak Liang malah kesal. Ia ingin gadis itu jatuh, menangis, terpuruk.

Kesempatan untuk menyindir tak ia sia-siakan. Dengan suara dingin, ia berdesis,

“Anak muda sekarang... masih sekolah sudah belajar jadi perempuan murahan.”

Shinta berhenti melangkah. Ia menatap Pak Liang dengan tatapan dingin menusuk.

“Pak Liang,” katanya pelan namun tajam, “Bapak tidak pantas disebut guru.”

Tanpa menunggu balasan, Shinta berjalan pergi dengan langkah mantap.

Pak Liang tercekat, wajahnya memerah karena marah dan malu. Sesampainya di kantor, ia langsung melampiaskan kekesalannya pada Ibu Rinjani.

“Ibu Rinjani, saya heran kenapa Ibu bisa menerima murid seperti itu di kelas! Anak yang sudah dipelihara pria tua, moralnya rusak! Kalau berita ini menyebar, jangan-jangan nama sekolah juga ikut tercoreng.”

Nada bicaranya sombong dan penuh rasa benar sendiri.

Kelas 12A adalah kelas unggulan di SMA Hastinapura Global School, dan Pak Liang selalu menganggap dirinya lebih tinggi dari guru lain.

Beberapa wali kelas lain memilih diam dan menuruti saja sikapnya. Hanya Ibu Rinjani yang tak pernah tunduk.

Dengan tenang, ia menutup map di tangannya, menatap Pak Liang tanpa gentar.

“Pak Liang, urusan siswa di kelas saya tidak perlu Bapak ikut campur. Dan satu hal lagi — tanpa bukti, mempercayai gosip bukan sikap seorang pendidik.”

Ucapannya mengingatkan pada kata-kata Shinta tadi.

Pak Liang terdiam, rahangnya menegang. Ia menyeringai sinis.

“Kalau begitu, mari kita lihat nanti. Coba sampaikan keyakinan itu pada Kepala Bagian. Kita lihat apakah dia juga sependapat.”

Belum sempat Ibu Rinjani membalas, telepon di mejanya berdering.

“Ya, Pak. Baik, saya segera ke sana.” Suaranya terdengar tenang meski matanya menatap Pak Liang dengan tajam.

Begitu telepon ditutup, guru itu menyindir, “Tuh kan? Dipanggil Kepala Bagian. Saya doakan semoga Ibu bisa menjelaskan dengan baik.”

Ibu Rinjani hanya menghela napas, membereskan berkas-berkas, lalu berjalan keluar.

Namun sebelum pergi, mata Pak Liang sempat melirik tumpukan kertas di meja. Pandangannya terhenti pada satu lembar di atasnya — nilai ujian matematika Shinta.

100 poin sempurna.

Matanya melebar, tak percaya.

---

Shinta memang tak punya bukti untuk membela diri, tapi juga tak ada bukti yang bisa menyalahkannya. Namun gosip sudah telanjur menyebar ke seluruh sekolah.

Khawatir nama baik sekolah tercemar, Kepala Sekolah akhirnya mengeluarkan perintah tegas: guru dan murid dilarang membicarakan masalah ini lagi.

Namun demi formalitas, ia tetap menelpon Haryo Bagaskara untuk memberi tahu kejadian tersebut.

Di seberang sana, Haryo langsung merasa malu dan tersinggung. Tanpa berpikir panjang, ia menjawab,

“Baik Pak, kalau Shinta bersalah, tentu saya akan menegurnya dengan keras.”

Haryo bahkan tak berusaha untuk mencari tahu kebenarannya. Dalam pikirannya, Shinta sudah pasti salah.

1
Narina Chan
ayo lanjutkan kaka
Robiirta
ayo lanjut update yg banyak kaka
Robiirta
lanjutkan kaka
Na_dhyra
2 bab gak cukup beb...hihihi
Awkarina
update yang banyak kaka
Awkarina
mam to the pus🤣🤣🤣
Awkarina
jurusnya teh hijau nih👍👍👍
Awkarina
dia jijik woy😄😄😄
Awkarina
bisa gitu🤭
Awkarina
antagonis pro nih👍
Awkarina
ini dia yang marah🤣🤣🤣
Awkarina
mati aja lo😄😄😄
Awkarina
lah dia mupeng😄😄😄
Awkarina
ko saya pengen nabok y🤣🤣🤣
Awkarina
lanjutkan 👍👍👍👍
Awkarina
lanjutkan 😍😍😍😍
Awkarina
Mantap ceritanya lanjutkan sampai tamat ya thor, aku menunggu
Robiirta
👍👍👍👍👍 LAnjutkan💪💪💪💪
Robiirta
lanjutkan💪💪💪💪
Robiirta
😍😍😍😍😍😍😍😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!