Lasmini adalah seorang gadis desa yang polos dan lugu, Ketenangannya terusik oleh kedatangan Hartawan, seorang pria kota yang bekerja di proyek pertambangan. Dengan janji manis dan rayuan maut, Hartawan berhasil memikat hati Lasmini dan menikahinya. Kebahagiaan semu itu hancur saat Lasmini mengandung tiga bulan. Hartawan, yang sudah merasa bosan dan memiliki istri di kota, pergi meninggalkan Lasmini.
Bara, sahabat Hartawan yang diam-diam menginginkan Lasmini. Alih-alih melindungi, Hartawan malah dengan keji "menghadiahkan" Lasmini kepada Bara, pengkhianatan ini menjadi awal dari malapetaka yang jauh lebih kejam bagi Lasmini.
Bara dan kelima temannya menculik Lasmini dan membawanya ke perkebunan karet. Di sana, Lasmini diperkosa secara bergiliran oleh keenam pria itu hingga tak berdaya. Dalam upaya menghilangkan jejak, mereka mengubur Lasmini hidup-hidup di dalam tanah.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya terhadap Lasmini?
Mungkinkah Lasmini selamat dan bangkit dari kuburannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehamilan dan pengkhianatan
Akhirnya, Hartawan berhasil mempersunting Lasmini. Pernikahan mereka dilangsungkan dengan sangat sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga inti dan kerabat dekat. Dari pihak Hartawan, ia hanya membawa Paman yang datang bersamanya dari kota. Paman tersebut, bernama Pak Tirtayasa, memiliki pembawaan yang tenang namun sorot matanya tajam dan misterius.
Ayah Lasmini, Pak Darma, sedari awal merasa ada yang janggal dengan Paman dari menantunya ini. Setiap kali berinteraksi, Pak Darma menangkap hawa dingin dan tatapan yang sulit diartikan dari Pak Tirtayasa.
Namun, ia berkeras menepis kecurigaan itu, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah perasaan cemas seorang ayah yang melepas putrinya.
Di luar rumah, banyak pemuda kampung yang merasakan patah hati mendalam. Primadona kampung, bunga desa mereka, kini telah menjadi milik pria kota yang asing.
Menjelang malam, suasana kamar pengantin diselimuti ketegangan. Hartawan sudah tidak sabar untuk menunaikan malam pertamanya. Matanya memancarkan gairah yang membara, melihat Lasmini yang cantik dalam balutan gaun pengantin sederhana.
Sementara itu, Lasmini dilanda kegundahan yang hebat. Rasa takut akan yang pertama kali bercampur dengan debar-debar cinta. Ia duduk di pinggir ranjang, menunduk, tangannya saling meremas.
Hartawan mendekat, suaranya serak. "Sayangku Lasmini... mengapa kau tegang sekali? Lihat aku."
Lasmini mengangkat wajahnya sedikit, matanya berkaca-kaca.
"Mas Hartawan... aku... aku takut. Ini yang pertama untukku..."
Hartawan malah tersenyum dingin, meraih tangan Lasmini dan menciumnya.
"Jangan takut, Sayang. Aku suamimu. Aku akan membuatmu lupa akan semua ketakutan itu. Serahkan saja dirimu padaku."
Rayuan Hartawan yang mendesak, perlahan meruntuhkan dinding ketakutan Lasmini. Malam itu, Hartawan berhasil merenggut kesucian istrinya. Dan dari sana, Hartawan merasakan candu atas tubuh Lasmini, sebuah gairah yang tak terpuaskan. Sementara Lasmini, seiring berjalannya waktu, cintanya semakin besar terhadap suaminya. Ia mengira gairah Hartawan adalah bentuk cinta yang mendalam.
Satu bulan usia pernikahan, kebahagiaan sejati seharusnya menyelimuti. Lasmini dinyatakan hamil. Namun, saat berita itu disampaikan, raut wajah Hartawan biasa saja, datar, tidak ada kegembiraan meletup-letup layaknya seorang suami yang akan menjadi ayah.
Dengan mata berbinar-binar dan suara gembira Lasmini mengatakan sesuatu kepada Suaminya.
"Mas... aku hamil! Bidan Herni bilang sudah jalan satu bulan! Kita akan punya anak, Mas!"
Hartawan hanya mengangguk kecil, pandangannya tertuju ke arah luar jendela.
"Oh ya? Baguslah."
Kerutan muncul di dahinya Lasmini.
"Hanya 'baguslah', Mas? Kau tidak senang?"
Kemudian Hartawan berbalik, memasang senyum palsu.
"Tentu saja senang, Sayang. Hanya... aku sedikit lelah. Jaga dirimu baik-baik, ya."
Lasmini merasa aneh, tetapi ia mencoba berpikir positif: mungkin suaminya terlalu lelah dengan pekerjaan.
Tiga bulan mereka menjalankan mahligai rumah tangga, sebuah kebosanan mulai menjalar di hati Hartawan. Ia merasa tubuh Lasmini tak senikmat saat pertama kali ia menjamahnya. Hasrat Hartawan mulai padam. Diam-diam, ia memutuskan untuk kembali ke kota tanpa memberitahu Lasmini.
Hartawan kembali ke kota kelahirannya dan langsung menemui Bara, sahabat dekatnya sedari dulu dan bekerja di pertambangan Desa Pandan Sari. Bara sudah sangat tahu watak dan tabiat buruk Hartawan.
Bara dan Hartawan duduk di sebuah bar, menikmati minuman keras.
Bara menyeringai licik, menenggak minumannya.
"Jadi, kau benar-benar meninggalkannya? Wanita kampung itu?" Hartawan tertawa sinis.
"Sudah tidak menarik lagi, Bar. Kau tahu sendirilah, aku tidak suka barang yang sudah terpakai lama."
Bara mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya tajam.
"Kau tahu Awan, sebenarnya sudah beberapa bulan yang lalu aku sangat menginginkan Lasmini tapi wanita itu keburu kau dapatkan!"
Hartawan tersenyum licik, matanya berkilat jahat. Ia mendekat dan membisikkan sesuatu di telinganya Bara.
"Kau mau Lasmini, Bara? Ambil saja. Aku sudah bosan," bisik Hartawan, nadanya dipenuhi keangkuhan dan kekejaman yang tersembunyi.
"Dia sedang hamil anakku, itu bonusnya. Kau tahu sendiri, bagaimana caranya membuat orang tua desa itu diam. Aku harus kembali ke kota. Proyekku di sini sudah selesai, dan aku punya 'urusan' lain yang lebih penting daripada mengurus wanita desa polos."
Bara terkejut, namun senyum licik ikut mengembang di wajahnya. Ia dan Hartawan memang memiliki sifat dasar yang sama: egois dan tidak bermoral.
"Kau serius, Awan? Aku tidak perlu susah payah merayu?" tanya Bara, matanya berkilat penuh nafsu.
"Serius. Tapi ingat, jangan sampai dia tahu aku yang menyuruhmu. Kau masuk saja, buat seolah-olah kau adalah penyelamat atau pria baik yang kebetulan ada di sana. Beri dia uang, atau apa pun yang bisa membuatnya merasa aman. Setelah itu, kau tahu sendiri apa yang harus dilakukan." Hartawan menepuk bahu Baron sambil tertawa kecil, tawa yang tak sampai ke mata, melainkan hanya getaran kekosongan hati seorang pengecut.
Keesokan paginya, Lasmini terbangun sendirian. Ia mencari Hartawan di setiap sudut rumah, namun hanya menemukan surat singkat di atas meja rias.
'Lasmini, aku ada urusan mendadak di kota. Sangat penting. Aku akan kembali secepatnya. Jaga dirimu dan calon anak kita.'
— Hartawan
Meski terasa aneh karena Hartawan pergi tanpa pamit secara langsung, Lasmini berusaha menenangkan hatinya. Ia percaya pada suaminya, pada janji cinta yang telah mereka ukir di tepi sungai.
Namun, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hartawan tak pernah kembali. Surat yang dijanjikan tak pernah datang. Janji manis itu kini terasa seperti debu yang tertiup angin. Pak Darma, ayah Lasmini, mulai khawatir. Kecurigaan yang sempat ia tepis pada saat pernikahan, kini bersemi kembali.
"Sudah satu bulan lebih, Lasmi. Kenapa Hartawan belum ada kabar? Dia tidak menelpon ke rumah Pak Lurah?" tanya Pak Darma dengan nada cemas.
"Belum, Pak. Mungkin pekerjaannya sangat berat," jawab Lasmini, meskipun suaranya terdengar bergetar. Ia berusaha keras menahan air mata di depan ayahnya.
Kehamilan Lasmini semakin membesar, dan kondisinya semakin rentan. Di tengah kegundahan dan kerinduan yang menyiksa, tiba-tiba Baradatang.
Bara datang dengan wajah yang dibuat-buat sedih. Ia membawa sekantong beras, minyak, dan uang tunai.
"Lasmini, aku tahu ini berat. Hartawan sudah bercerita padaku tentang kondisimu. Dia... dia titip ini untukmu," kata Bara, berbohong dengan lancar.
Lasmini terharu. "Terima kasih, Tuan Bara. Tuan Hartawan memang suami yang baik."
Bara tersenyum pahit, "Dia pria yang baik, Lasmini. Tapi sayangnya, dia pria yang sangat sibuk. Aku minta maaf harus mengatakan ini, tapi... mungkin dia akan lama di kota."
Sejak hari itu, Bara rutin mengunjungi Lasmini, selalu membawakan bantuan dan kata-kata penghiburan. Ia mulai membangun citra sebagai sosok pelindung di mata Lasmini dan keluarganya. Di saat Lasmini paling rapuh, di saat cintanya pada Hartawan mulai digerogoti oleh rasa sakit dan pengkhianatan, Bara justru hadir mengisi kekosongan itu.
Puncaknya terjadi pada suatu malam yang gelap. Lasmini sedang sendirian, Pak Darma dan istrinya sedang menghadiri acara di desa tetangga. Bara datang, alasannya kali ini adalah membawa obat-obatan untuk Lasmini yang sedang sakit kepala.
Baron masuk, kemudian mengunci pintu. Lasmini yang polos dan percaya hanya menyambutnya dengan rasa terima kasih.
"Terima kasih banyak, Tuan Bara. Tuan sangat baik..."
"Aku memang baik, Lasmini. Aku lebih baik daripada Hartawan," sela Bara, matanya kini dipenuhi hasrat. Ia mendekat, menyentuh pipi Lasmini dengan kasar.
"Hartawan sudah meninggalkanmu, Lasmini! Dia tidak akan kembali! Hanya aku yang ada di sini untuk menjagamu dan anakmu!"
Lasmini tersentak kaget. Wajah 'malaikat' Bara kini berubah menjadi 'iblis'. Ia berusaha menghindar, namun tenaga Baron jauh lebih kuat.
"Jangan, Tuan Bara! Saya isteri Hartawan!" teriak Lasmini, air matanya membanjir.
"Suami macam apa yang meninggalkanmu sendirian dalam keadaan hamil? Dia tidak mencintaimu, Lasmini! Dia hanya memanfaatkanmu untuk melampiaskan nafsunya!" hardik Bara, mencekal tangan Lasmini.
Pada malam itu, Bara mencoba untuk membawa pergi Lasmini, ia menculiknya dibantu oleh ke lima anak buahnya. Dan mereka sudah berjaga-jaga di sekitar Rumah kedua orangtuanya Lasmini sedari tadi. Rupanya Bara memang sudah merencanakan niat jahatnya ini.
Bersambung...
aku GK berani bc tp. cuma intip sinopsis.. keliatan serem banget