Musuh Satu Atap

Beni memperingatkan istrinya agar tidak berbicara dengan laki-laki lain, walaupun orang itu berjasa menolongnya. Alasannya karena harga diri lebih penting dari segalanya, apalagi Viola merupakan istri seorang pemilik perusahaan terkenal.

Kalau sampai kejadian seperti tadi terulang lagi, Beni tidak akan segan-segan memberikan pelajaran ke orang yang sudah berani mendekati Viola.

Baru beberapa hari menikah, sikap arogan Beni mulai nampak. Viola juga merasa hidup dalam tekanan, seperti dalam penjara. Ia mulai menyesal sudah menyetujui surat perjanjian yang jelas isinya merugikan dirinya.

Sekarang Viola hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi kedepannya, ia bertahan hidup menjadi istri Beni demi orang tuanya juga. Ia sama sekali tidak tertarik dengan kekayaan, maupun ketampanan Beni.

Malam ini Beni mengajaknya ke restoran seafood yang terkenal di pantai itu, Viola sama sekali tidak menolak. Wanita itu mengikuti kemauan suaminya, berdandan secantik mungkin.

Tidak sengaja Beni melihat Lidia, bersama seorang laki-laki. Lidia terlihat begitu mesra bersandar di pundak laki-laki itu, membuat Beni semakin penasaran. Beni bukan penasaran dengan laki-laki yang bersama Lidia, tetapi penasaran Lidia sakit atau tidak.

"Sampai segitunya lo lihatin pacar selingkuh," ucap Viola melirik ke arah Beni.

"Dia ternyata berbohong," kata Beni, sorot matanya masih tertuju ke arah Lidia.

"Wanita normal tidak akan pernah mau diduakan atau menduakan, buang jauh-jauh rasa cinta lo ke dia." Viola berpikir Beni masih mempunyai hubungan spesial dengan Lidia, sehingga berkata seperti itu. Bukan karena rasa cemburu, tetapi merasa kasihan.

Beni terdiam, ia menatap lekat wajah cantik Viola yang sedang mengaduk-aduk makanannya. Sup olahan ikan makanan yang tidak pernah Viola sukai, karena baunya amis dan bentuknya aneh.

"Kenapa tidak dimakan? Sup ini makanan terfavorit di restoran ini," ujar Beni, lalu menyuapkan sesendok sup ke dalam mulutnya.

Untuk menghargai sang suami, Viola mencoba mencicipi sup ikan. Ia menahan bau amis yang tidak disukai, tetapi justru membuatnya mual. Viola sudah berusaha menelan sedikit demi sedikit, rasa mualnya semakin bertambah.

Viola memilih berlari ke toilet, tanpa berpamitan ke suaminya lebih dulu. Ia memuntahkan semua isi perutnya, hingga tubuhnya terasa lemas. Keluar dari toilet, Viola menyenderkan tubuhnya di tembok, sambil memegang perutnya.

"Gue belum sentuh lo, sudah hamil saja. Ternyata ...

"Apa!" bentak Viola, memotong ucapan Beni.

"Kita ke dokter sekarang juga. Gue gak mau bayi dalam perut lo kenapa-napa." Beni menarik tangan Viola, membawanya keluar dari dalam restoran.

Viola berusaha menjelaskan ke Beni, soal penyebabnya muntah. Namun, Beni sama sekali tidak menggubris. Ia justru senang, bisa cepat mendapatkan warisan seutuhnya.

Viola menjadi kesal sendiri dengan sikap Beni yang semakin seenaknya, ia memilih untuk meninggalkan suaminya dan kembali ke Vila.

Bruukkk ....

"Maaf, tidak sengaja." Ketika Viola berjalan menuju ke vila. Ia menabrak Lidia yang sedang berjalan di tepi jalan. Kebetulan tempat itu agak gelap, jadi bisa menabraknya.

"Lain kali jalan pakai mata!" marah Lidia.

"Gue udah minta maaf, artinya gak sengaja. Gak usah besar-besarkan masalah!" Viola berkata tegas.

Ucapan Viola tidak bisa Lidia terima, ia justru semakin berani menentang Viola. Keduanya menjadi ribut, hingga jambak-jambakan. Namun, laki-laki yang bersama Lidia bukannya melerai. Ia justru semakin membuat suasana panas.