Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25 Perdebatan tak kunjung reda
Riko kini maju selangkah mendekati Adinda, lalu mengulurkan tangannya dengan tatapan yang dipenuhi penyesalan.
“Dinda, ayo ikut pulang sama aku. Kamu tidak diharapkan oleh keluarganya Vikto. Untuk apa kamu bertahan dan menikah dengannya? Kita bisa rujuk, dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Percayalah padaku, Dinda.” Suaranya bergetar, seolah ingin menarik kembali masa lalu yang telah ia buang.
Belum sempat Adinda menanggapi, Vikto langsung menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari genggaman Riko.
“Jangan dengarkan dia,” tegas Vikto dengan rahang mengeras.
“Dia yang menceraikanmu, Dinda. Jaga harga dirimu. Jika dia benar-benar percaya padamu, dia tidak akan pernah melepasmu. Dan tentang perjodohan, aku tidak akan menerimanya. Tekadku sudah bulat. Aku hanya menikahimu.”
Nyonya Wirna langsung memotong dengan suara meninggi.
“Tidak bisa! Mama tidak setuju! Kamu harus menikah dengan keluarga Hambalang. Itu satu-satunya cara menyelamatkan perusahaan!”
Oma Hela langsung berdiri, menatap menantunya tajam.
“Cukup, Wirna! Cucuku punya hak menentukan hidupnya sendiri. Tidak ada yang berhak memaksanya, termasuk kamu.”
Ketegangan semakin memuncak, Riko mendekat kembali, berusaha merebut perhatian Adinda.
Wajah Adinda memucat, hatinya seperti ditarik ke dua arah, masa lalu yang menyesal, dan suami yang kini melindunginya.
Menurut satpam yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya suara keras pun terdengar.
“Sudah! Tidak boleh ada keributan. Ini rumah sakit, bukan tempat berdebat! Kalau mau ribut, silakan di luar!”
Semua terdiam, namun emosi masih mendidih di udara.
Adinda hanya bisa menggenggam ujung bajunya, menahan getaran di tubuhnya, bingung dan tersakiti oleh kenyataan yang saling beradu di depannya.
Keributan itu langsung meredam, namun amarah dan guncangan di wajah masing-masing masih terlihat jelas. Satpam berjalan menjauh, sementara yang lain menahan diri agar tidak kembali meninggikan suara.
Adinda berdiri di antara dua laki-laki yang pernah mengisi hidupnya, satu adalah masa lalu yang pernah menghancurkan, satu lagi masa kini yang berani memperjuangkannya. Napasnya tersengal, dada terasa sesak. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi kedua lelaki itu dalam satu tempat, apalagi dengan kondisi semengerikan ini.
Riko kembali melangkah mendekat, kali ini lebih perlahan, suaranya merendah, seolah menahan emosi.
“Dinda… aku mohon. Lihat aku.”
Ia menatap Adinda dengan mata memerah.
“Aku menyesal. Semua yang terjadi waktu itu… aku khilaf. Aku kehilangan kamu, baru aku sadar kamu satu-satunya perempuan yang bisa membuatku hidup tenang. Kamu tidak pantas berada di keluarga yang tidak menerimamu.”
Adinda menunduk, bibirnya bergetar. Suara Riko menusuk titik paling rapuh dalam dirinya.
Namun begitu ia hendak menjawab, Vikto sudah lebih dulu menarik Adinda ke belakangnya. Sikapnya berubah tegas dan protektif.
“Jangan memaksa Adinda, Riko.” Suaranya dalam dan dingin.
“Kalau kamu benar-benar mencintainya, kamu tidak akan meninggalkan dia pada saat dia paling butuh kamu. Kamu cerai dia tanpa pikir panjang. Dan sekarang berani bilang mau memperbaiki semuanya? Tidak semudah itu.”
Riko membalas, rahangnya mengeras.
“Aku sadar aku salah. Tapi itu bukan alasan kamu mengambil hakku. Kami sudah tinggal bersama satu atap satu kamar, aku mengenalnya luar dalam—”
“Kamu kehilangan hak itu,” potong Vikto tajam. “Dan sekarang dia istriku, sah, di hadapan warga, dan akan sah di mata negara. Aku tidak akan membiarkanmu merusak hidupnya lagi.”
Riko ingin membentak balik, namun kali ini Adinda menarik napas panjang dan memaksa dirinya bicara.
“Cukup… kalian berdua, cukup…”
Suaranya bergetar, tapi tegas.
“Riko… aku sudah berusaha melupakan semuanya. Luka itu… masih ada, tapi bukan berarti aku ingin kembali ke masa lalu. Aku tidak kuat ulang kejadian itu lagi.”
Air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Riko tersentak.
Sementara Vikto memejamkan mata, rasa sedih sekaligus lega bercampur jadi satu mendengar istrinya mulai mengungkapkan isi hati.
Adinda menatap Riko, kali ini lebih tajam.
“Kita sudah selesai. Aku mohon… jangan paksa aku untuk kembali.”
Riko terdiam. Pupus. Napasnya tercekat.
Tiba-tiba, Nyonya Wirna menyambar dengan suara tinggi —
“Bagus! Pulang saja kau, Riko, dan bawa perempuan itu kalau perlu! Keluarga kami tidak butuh dia!”
Oma Hela langsung membalas lantang, “Diam, Wirna! Kau mempermalukan keluarga sendiri!”
Keributan hampir pecah lagi, tapi kali ini Vikto bergerak cepat. Ia menggenggam tangan Adinda, menariknya sedikit menjauh dari kerumunan.
“Dinda, ikut aku. Kita bicara di luar, jangan dengarkan mereka. Aku di sini buat kamu… bukan buat perjodohan, bukan buat kepentingan keluarga. Tapi karena kamu istriku.”
Adinda menatapnya, matanya basah, tapi akhirnya mengangguk pelan.
Riko hanya bisa menatap punggung mereka—penuh penyesalan, kehilangan, dan rasa bersalah yang menumpuk.
Sementara di belakang, pertengkaran kecil kembali memanas antara Oma Hela dan Nyonya Wirna.
Di lorong rumah sakit yang dingin dan panjang itu, Adinda menggenggam tangan Vikto lebih erat, seolah mencari kekuatan.
Namun, ia tidak sadar… bahwa Riko belum menyerah. Tatapannya penuh tekad yang belum mati.
Persaingan untuk merebut mantan istrinya tidak mudah pupus begitu saja.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..