Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Di gerbang utama, ketegangan mencapai puncaknya. Kiai Syarif berdiri tegak di luar gerbang besi yang terkunci, auranya memancarkan ketenangan yang menakutkan. Di dalam, Aryan masih berdiri dengan wajah pucat, dan tepat di belakangnya, berdiri sesosok Pocong bermata merah yang membusuk.
“Kamu sudah menyimpang terlalu jauh, Nak Aryan. Serahkan dirimu dan benda terkutuk itu sebelum kamu dan seluruh keluargamu menjadi korban iblis itu,” desak Kiai Syarif, suaranya kini rendah dan welas asih.
Aryan tertawa getir. "Terlambat, Kiai! Kekuatan ini sudah mendarah daging! Kamu sudah lihat sendiri bukan? Inilah pertahananku, yang sudah menghabisi musuh-musuhku! Kamu pikir kamu bisa mengalahkannya sendirian?"
Pocong itu mulai mengeluarkan geraman rendah, kain kafannya bergetar, seolah ia siap menerkam mangsanya.
Kiai Syarif menutup matanya sejenak, mengumpulkan semua energi positif yang ia miliki. "Aku datang bukan untuk bertarung denganmu, Nak. Aku datang untuk menyelamatkan jiwamu. Tetapi jika kamu memilih jalan ini, aku akan hancurkan rantai yang mengikatmu dengan iblis itu!"
Dengan cepat, Kiai Syarif melangkah mundur beberapa langkah dari gerbang. Ia mengangkat kedua tangannya ke depan, telapak tangan terbuka menghadap gerbang. Ia mulai membaca ayat-ayat Al-Qur'an dengan suara lantang.
Saat Kiai Syarif membaca ayat-ayat suci, gerbang besi di hadapan Aryan mulai memanas. Pocong di belakang Aryan menjerit kesakitan, suaranya melengking. Tubuhnya mengepulkan asap hitam tebal.
“Tahan dia! Serang dia!” teriak Aryan pada Pocong itu.
Pocong itu, meskipun kesakitan, berusaha menembus dinding pertahanan gaib yang diciptakan Kiai Syarif. Ia melompat maju, menembus pintu di depan Aryan, dan tubuhnya yang terbungkus kain kafan itu terlempar ke arah gerbang.
BUMM!
Kiai Syarif tidak tergeser sedikit pun. Ia menahan serangan Pocong itu dengan kekuatan spiritual yang ia miliki. Pocong itu terpental, tubuhnya terbakar di beberapa bagian, dan ia meraung kesakitan.
“Tubuhmu yang busuk tidak akan bisa menahan kekuatan Kalamullah, wahai Iblis!” seru Kiai Syarif.
Aryan panik. Ia tahu Pocong itu adalah pertahanan utamanya. Jika Pocong itu hancur, ia akan menjadi lemah.
Dalam keputusasaan, Aryan mengeluarkan pistolnya, dan menembakkannya ke arah Kiai Syarif.
DOR! DOR!
Kiai Syarif dengan cepat merunduk, menghindari peluru. Ia tidak berhenti membaca ayat suci. Peluang itu dimanfaatkan oleh iblis itu.
Pocong itu kembali menyerang. Kali ini, ia tidak menyerang Kiai Syarif secara langsung, tetapi ia menyerang kunci gerbang dan tiang gerbang dengan kekuatan gaibnya. Gerbang itu berderit dan akhirnya roboh!
Pocong itu segera mundur ke dalam rumah, berlindung di balik bayangan di lorong.
"Sudah cukup, Aryan!" teriak Kiai Syarif. "Kamu akan membayar semua ini!"
Kiai Syarif melompati reruntuhan gerbang dan dengan langkah cepat memasuki halaman rumah Aryan. Ia tidak gentar menghadapi Pocong itu, tujuannya utamanya adalah benda ritual di dalam kamar.
Aryan, yang diliputi rasa panik dan amarah, menembakkan sisa peluru di pistolnya. Semua tembakan itu meleset karena gemetar.
Tepat saat Kiai Syarif mencapai teras, Pocong itu menyerang dari dalam bayangan. Ia melepaskan gelombang energi hitam pekat yang dingin dan memuakkan. Energi itu bukan hanya kekuatan iblis, melainkan energi yang diperkuat oleh tumbal darah Broto dan anak buahnya.
BRUKK!
Kiai Syarif terpental keras, menghantam pilar teras. Ia menjerit tertahan, bukan karena sakit oleh benturan teras, melainkan karena energi hitam itu meresap ke dalam dirinya, mendinginkan darah dan melumpuhkan sementara kekuatan spiritualnya. Ia jatuh berlutut, terengah-engah, merasakan ada benda tajam yang menusuk di dadanya.
“Kiai!” seru Aryan, aura wajahnya kini berubah menjadi seringai kemenangan. Ia tahu, Pocong itu sudah berhasil mengalahkan Kiai Syarif.
Aryan berjalan mendekat, menendang tubuh Kiai Syarif yang berlutut di tanah. “Sudah kubilang, jangan coba-coba mengganggu urusanku! Semua yang aku miliki, akan aku pertahankan!”
Aryan menarik napas panjang, bersiap menembak Kiai Syarif tepat di kepala untuk mengakhiri ancaman ini selamanya.
Tepat pada saat Aryan mengangkat pistolnya, suara teriakan seseorang terdengar dari kejauhan, diikuti sorotan lampu senter yang bergerak cepat.
“Bos Aryan! Ada apa ini, Bos? Ada keributan?”
Dua petugas keamanan kompleks itu, yang kebetulan sedang patroli dan mendengar suara tembakan dan keributan tadi, tiba di depan rumah. Mereka melihat gerbang roboh dan Kiai Syarif yang terkapar di lantai dengan pakaian putihnya yang kotor.
Aryan segera menyembunyikan pistolnya di balik punggung. Ia mengubah ekspresi wajahnya, dari ekspresi wajah yang bengis, menjadi ekspresi wajah yang seolah dia adalah korban yang ketakutan.
“Syukurlah kalian datang!” seru Aryan, berpura-pura lega. “Orang ini! Dia penjahat! Dia datang mengganggu rumahku, merobohkan gerbang, dan mengancam akan membunuhku!”
Petugas keamanan itu terkejut melihat Kiai Syarif. Penampilan sang Kiai yang berpakaian putih dan membawa tasbih tidak cocok dengan tuduhan "penjahat". Namun, melihat gerbang yang hancur dan Aryan yang tampak sebagai korban pemilik rumah, mereka langsung bertindak.
“Anda, jangan bergerak!” perintah salah satu satpam, sambil mengarahkan tongkat ke Kiai Syarif.
Kiai Syarif berusaha berdiri, tetapi tubuhnya masih lumpuh oleh energi iblis. Ia menatap Aryan dengan tatapan penuh kasihan.
“Jangan dengarkan dia, Nak. Dia bersekutu dengan iblis. Dia.. uhhukk.” Kiai Syarif terbatuk, merasakan sakit yang tajam di perutnya.
Aryan memotong cepat. “Lihat, Pak! Dia gila! Dia mengancam saya dan keluarga saya! Dia pasti bagian dari kawanan perampok yang baru saja saya usir!”
Kedua petugas keamanan itu segera mengamankan Kiai Syarif yang tidak berdaya, menganggapnya sebagai pelaku keributan. Mereka membawanya ke pos keamanan.
Aryan tersenyum puas. Ia berhasil. Musuhnya telah ditaklukkan dan diurus oleh petugas keamanan.
---
Sementara di dalam hutan, Rina dan Bu Ratih berlari sekuat tenaga di tengah hutan yang gelap dan rimbun, meninggalkan Iblis yang sedang meraung kesakitan akibat sentuhan tasbih. Bu Ratih, meskipun usianya sudah lanjut, ia termasuk memiliki tenaga yang kuat.
“Lari, Nak! Jangan menoleh!” seru Bu Ratih, air mata bercampur peluh membasahi wajahnya.
Mereka tersandung akar dan batu, tetapi mereka terus maju, berusaha mencapai jalan raya utama. Mereka tahu, Iblis itu akan pulih dan mengejar mereka.
Di belakang mereka, Iblis itu telah bangkit dan berdiri tegak. Bekas luka bakar akibat tasbih itu mengepulkan asap, membuatnya semakin marah.
“Kalian tidak akan bisa lari dari takdir kalian!” raungnya, suaranya menggelegar di antara pepohonan.
Iblis itu melompat dari pohon ke pohon dengan kecepatan yang tidak wajar, mengejar Rina dan Bu Ratih. Hanya beberapa detik, ia sudah berada tepat di belakang mereka.
Tepat saat Iblis itu mengeluarkan cakarnya yang hitam dan tajam untuk meraih Rina, tiba-tiba, sebuah suara lantang dan penuh wibawa memecah kesunyian malam.
“Tunjukkan wujud aslimu, wahai Iblis laknat! Kamu telah mencoreng nama baik seorang Hamba Allah!”
Sosok Iblis itu tersentak. Ia menghentikan serangannya dan menoleh ke suara itu.
Dari kegelapan hutan, muncul seorang pemuda yang berlari cepat. Ia mengenakan baju koko yang sama persis, tetapi aura yang dipancarkannya terasa hangat dan membawa ketenangan, sangat berbeda dari aura dingin dan mematikan yang dipancarkan sosok di depan Rina dan Bu Ratih. Dan itu adalah Azmi yang sebenarnya.
Azmi setelah menerima pesan dari Bu Ratih. Ketika ia sampai di pinggiran kompleks, ia melihat dua sosok wanita dan satu sosok pria yang ia kenal, itu adalah dirinya sendiri, memasuki hutan. Ia segera menyadari bahwa itu adalah tipuan iblis.
“Nak Azmi!” teriak Bu Ratih lega, meski masih sedikit ragu.
Azmi tidak membuang waktu. Ia mengeluarkan sebilah keris kecil berukir kaligrafi yang selama ini ia sembunyikan di balik bajunya. Keris itu memancarkan cahaya putih samar.
“Kamu tidak akan bisa bersembunyi dariku! Aku tahu identitasmu, Iblis dari Boneka Kayu!” tantang Azmi, suaranya penuh keberanian.
Iblis itu tertawa sinis. “Dasar anak kecil bodoh! Kamu pikir dengan bacaan-bacaan itu, kamu bisa melawanku? Aku adalah penjaga Tuanku! Dan kamu hanya mangsaku, Bocah kecil!”
Iblis itu segera menampakkan wujud aslinya, kulitnya berubah menjadi merah menyala, dan tubuhnya yang besar.
Rina dan Bu Ratih bersembunyi di balik pohon besar, menyaksikan pertarungan yang akan terjadi di tengah saat itu.