Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi yang Menghantui
Setiap malam, kami mulai terbiasa terbangun dengan keringat dingin, seolah tubuh kami masih terjebak di dalam pasar setan itu. Meskipun dunia di sekitar kami tampak normal, kenyataannya kami tidak pernah bisa melupakan kenangan mengerikan yang kami alami di sana. Setiap tidur, mimpi buruk itu datang menghantui kami. Setiap kali kami terpejam, kami merasa seperti kembali ke tempat yang penuh dengan kegelapan dan ketakutan yang tak bisa kami hindari.
Rudi adalah yang pertama kali mengakuinya. “Gue nggak bisa tidur dengan tenang lagi,” katanya, suaranya bergetar ketika kami berkumpul. “Setiap malam, gue mimpi tentang pasar itu. Pasar setan yang nggak pernah selesai. Semua yang terjadi di sana... semuanya terasa begitu nyata. Gue bisa merasakan bau dari tenda-tenda itu, suara-suara yang terus bergema di kepala gue. Gue nggak bisa melupakan itu.”
Wajah Rudi tampak semakin pucat saat dia berbicara, dan kami semua tahu bahwa apa yang dia alami bukan hanya sekadar mimpi. Mimpi itu terasa begitu nyata, seperti kenyataan yang terperangkap dalam tidur kami. Rudi terlihat semakin lelah, tidak hanya karena fisik, tetapi juga karena perasaan takut yang terus mengikutinya.
“Apa lo juga ngerasain itu?” tanya Indra, matanya berkaca-kaca. “Karena gue... setiap kali gue tidur, gue denger tawa itu lagi. Tawa yang menggelikan, yang nggak ada artinya, tapi terasa mengerikan. Itu seperti suara yang terus ngejar-ngejar gue, dan gue nggak bisa lari dari itu.”
Indra mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri meskipun rasa takut itu terus merayap. Kami semua terdiam, merasakan ketegangan yang sama. Suara tawa yang menggelikan, seperti terbahak-bahak tanpa alasan, seolah mengingatkan kami bahwa pasar itu tidak akan pernah benar-benar pergi. Setiap kali Indra terlelap, suara itu datang lagi, dan kami bisa merasakannya—bahwa pasar itu masih menguasai pikiran kami.
Aku juga merasakannya. Setiap malam, saat aku mencoba tidur, aku terbangun dengan perasaan tercekik. Aku melihat bayangan pria tua itu, sosok yang pertama kali kami temui di pasar. Wajahnya yang pucat, matanya yang kosong, dan senyumnya yang mengerikan selalu muncul di dalam tidurku. Sosok itu terus menghantui aku, seakan mengingatkan bahwa tak ada jalan keluar yang mudah, bahwa kami tak bisa melupakan apa yang telah terjadi. Meskipun kami sudah kembali ke dunia nyata, bagian dari kami masih terperangkap di pasar itu.
“Gue lihat dia lagi,” kataku pelan, suaraku nyaris tak terdengar. “Pria tua itu. Setiap kali gue tidur, gue melihat dia berdiri di depan gue, seolah dia nggak pernah pergi. Wajahnya kosong, dan senyum itu—senyum yang nggak bisa gue lupakan. Rasanya dia selalu ngikutin gue.”
Semua terdiam mendengar kata-kataku. Kami semua merasakannya—mimpi buruk itu semakin intens dan nyata. Pasar itu, dengan segala ketakutannya, mulai masuk ke dalam mimpi kami, mengganggu tidur kami. Kami tidak bisa menghindari kenyataan bahwa pasar itu telah mengikat kami dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Kami semua terperangkap dalam kenangan yang tak bisa kami lepaskan.
Danang yang selama ini lebih banyak diam akhirnya berbicara, suaranya terdengar lemah, “Gue nggak bisa tidur tanpa merasa takut. Setiap kali gue terbangun, gue merasa ada hawa dingin yang sama kayak waktu kita ada di pasar itu. Gue nggak bisa lepas dari rasa dingin itu. Itu kayak ngikutin gue.”
Hawa dingin yang terasa di tubuh Danang menggema di hati kami. Kami semua merasakannya—perasaan yang sama yang kami alami di pasar itu. Kami sudah kembali ke dunia nyata, tetapi perasaan itu tetap ada. Seolah ada yang mengikat kami, menjaga kami tetap terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung.
“Apa kita masih terjebak?” tanya Indra dengan suara pelan. “Apa yang kita alami di pasar itu bener-bener nyata, atau kita cuma terperangkap dalam mimpi buruk yang nggak bisa kita lepasin?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Setiap kali aku mencoba berpikir jernih, bayangan pasar itu kembali muncul di kepalaku, begitu jelas dan nyata. Pasar itu bukan hanya tempat fisik, tetapi juga tempat yang mengikat jiwa kami. Kami merasa terperangkap dalam dimensi yang tidak kami pahami, dan meskipun kami sudah kembali ke dunia nyata, kami tidak pernah benar-benar merasa bebas.
“Gue nggak tahu kalau kita terjebak atau nggak,” jawab Danang, suaranya serak. “Tapi satu hal yang pasti, kita nggak bisa lupakan apa yang udah terjadi di sana. Setiap kali gue menutup mata, gue ngerasa kayak masih ada di sana. Seperti semuanya masih ada, mengikuti gue.”
Kami semua terdiam, mencoba memahami kata-kata Danang. Kami tahu perasaan itu. Kami semua terjebak dalam kenangan yang tak bisa kami lupakan. Kami telah kembali ke dunia nyata, tetapi bagian dari diri kami tetap terperangkap di pasar itu. Kenangan tentang pasar setan itu, tentang pilihan mengerikan yang kami buat, tentang arwah-arwah yang terperangkap, terus menghantui pikiran kami.
“Apa kita harus terus begini?” tanya Rudi, suaranya terdengar lelah. “Apa kita nggak bisa melupakan itu semua dan hidup normal lagi?”
Kami tidak tahu jawabannya. Setiap kali kami mencoba untuk melupakan, semakin kami merasa terperangkap. Kami berusaha menjalani hidup kami seperti biasa, tetapi ketakutan itu selalu ada, mengintai dari balik setiap langkah kami. Pasar itu mungkin sudah berakhir, tetapi dampaknya tetap ada. Setiap langkah kami, setiap detik yang berlalu, kami merasa bahwa kami belum benar-benar bebas.
“Apa kita bisa melupakan semua itu?” tanya Indra, matanya berkaca-kaca. “Apa kita bisa melanjutkan hidup kita tanpa terus dihantui oleh pasar itu?”
Kami saling memandang, tidak ada satu pun yang bisa memberikan jawaban yang pasti. Kami sudah mencoba untuk kembali ke kehidupan yang normal, tetapi semakin kami mencoba untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, semakin kami merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kami telah kembali, tetapi kami tidak tahu apakah kami benar-benar bebas dari pasar itu. Seperti ada bayangan yang terus mengikuti kami, mengingatkan kami bahwa kami tidak pernah benar-benar keluar.
“Gue nggak tahu,” jawab Danang dengan suara pelan. “Tapi yang gue tahu, kita nggak bisa terus hidup dalam ketakutan ini. Kita harus coba bergerak maju. Kita harus mencoba melupakan, meskipun itu nggak mudah.”
Kami mengangguk pelan, meskipun kami tahu bahwa melupakan semua itu tidaklah mudah. Pasar setan telah mengubah kami. Kami tidak bisa kembali menjadi seperti dulu. Kami harus belajar untuk hidup dengan kenangan itu, untuk menerima kenyataan bahwa kami tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas dari bayangan pasar itu.
Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kami hanya tahu bahwa kami harus terus maju, meskipun ada perasaan hampa yang tak bisa kami hilangkan. Pasar itu mungkin telah berakhir, tetapi jejak-jejaknya tetap ada dalam diri kami, menghantui setiap langkah kami. Kami harus belajar untuk hidup dengan ketakutan itu, dengan kenangan yang tak bisa kami lupakan, dan dengan kenyataan bahwa pasar itu akan selalu menjadi bagian dari diri kami.