Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 — Kuburan Air
Setelah menemukan tulang jari Dimas di Kuburan Rahasia di bawah Pohon Waringin Raksasa, tekad Rendra untuk bertindak semakin mengeras. Lubang itu kini bukan hanya kuburan massal anonim, tetapi juga tempat peristirahatan terakhir anak yang mencoba membantunya. Rasa bersalahnya kini berdarah-darah, bercampur dengan lumpur Waringin.
Rendra menutup kembali lubang rahasia itu, menutupi papan kayu dan menimbunnya dengan lumpur. Ia tidak bisa menyelamatkan Dimas, tetapi ia bisa memastikan jasadnya (atau apa pun yang tersisa) tidak lagi dieksploitasi oleh hujan dan rasa sakit.
Ia kemudian memutuskan untuk mengunjungi tempat yang ditunjuk oleh lonceng kematian: Kuburan Air, rawa tempat Dimas ditarik, dan tempat di mana warga menemukan korban lonceng malam sebelumnya. Ia harus memahami mekanika kutukan ini.
Kuburan Air terletak di ujung desa, di perbatasan antara pemukiman dan hutan yang semakin lebat dan rawa. Jalan menuju ke sana adalah jalan setapak yang semakin lama semakin tergenang, berubah menjadi labirin lumpur dan air keruh.
Rendra melangkah hati-hati, memegang kamera ayahnya erat-erat. Ia merasakan setiap langkahnya, lumpur itu seolah menariknya ke bawah, dinginnya merambat melalui sol sepatunya. Bau di sini jauh lebih buruk daripada di tempat lain: bau busuk yang kuat, dicampur dengan aroma tanaman air yang membusuk, dan tentu saja, bau besi yang dominan.
Ia akhirnya mencapai batas rawa. Itu adalah area datar yang luas, sepenuhnya tertutup air keruh berwarna cokelat gelap, kedalamannya tidak pasti. Ratusan nisan kayu yang miring, berlumut, dan tampak sakit-sakitan tersebar di permukaan air. Ini bukanlah tempat peristirahatan yang damai; ini adalah tempat di mana orang-orang bahkan tidak bisa beristirahat dalam kematian.
Nisan-nisan itu tampak seperti gigi-gigi tua yang tercabut, setengah tenggelam, menantang gravitasi dan air.
Rendra berjalan di sepanjang tepian, mencari petunjuk. Ia ingat adegan semalam: tangan-tangan yang muncul dari air.
Ia melihat ke dalam air yang diam. Airnya keruh, tidak mungkin melihat dasarnya. Ia memotret nisan-nisan yang miring, mendokumentasikan kebisuan mengerikan dari tempat ini.
Tiba-tiba, ia mendengar suara. Bukan gemericik air biasa. Tapi suara gendang yang pelan, teredam, dan berirama.
Dug-dug. Dug-dug. Dug-dug.
Suara itu datang dari bawah air, dari kedalaman rawa. Suara itu terasa seperti detak jantung yang berdetak di tempat yang salah.
Rendra berhenti. Ia menajamkan pendengarannya. Suara gendang itu semakin kuat, dan ia merasakan getaran samar di lumpur yang ia pijak.
Ia mendekat ke nisan yang paling miring, yang hampir seluruhnya tenggelam. Tepat di sana, air keruh mulai bergejolak pelan.
Lumpur di sekitarnya bergerak. Bukan karena angin, bukan karena ikan. Lumpur itu bergerak dari dalam, seperti makhluk hidup yang sedang bernapas.
Rendra terpaku. Ia melihat retakan kecil muncul di permukaan lumpur. Dan dari retakan itu, muncul sesuatu yang sangat pucat, putih, dan basah.
Jari.
Satu jari. Lalu tangan. Lalu bahu.
Perlahan-lahan, dengan bunyi hisapan lumpur yang menjijikkan, tubuh-tubuh setengah membusuk muncul dari rawa.
Mereka bukanlah mayat segar, dan mereka juga tidak tampak seperti zombie yang agresif. Mereka adalah jasad-jasad tua, terendam, dengan kulit yang pucat dan berlumut, beberapa bagian tubuhnya sudah dimakan air.
Mereka muncul perlahan, seolah-olah ditarik dari kuburan air mereka oleh kekuatan yang tenang namun tak terhindarkan.
Rendra mencengkeram kamera ayahnya, ingin lari, tetapi kakinya terasa membeku di lumpur. Ia menahan napas, menanti serangan yang pasti datang.
Namun, tubuh-tubuh itu tidak menyerang.
Mereka hanya berdiri. Setengah badan mereka terendam air keruh, dan mereka berdiri kaku, basah, dan rapuh.
Dan mereka semua melakukan hal yang sama: Berlutut.
Satu per satu, tubuh-tubuh yang setengah membusuk itu berlutut di dalam air, seolah sedang melakukan sujud yang menyakitkan. Mereka semua berlutut dengan arah yang sama—menghadap Rendra.
Bukan menghadap Rendra secara individu. Tapi menghadap ke arah desa. Menghadap ke arah Sumur Tua dan Pohon Waringin Raksasa.
Rendra melihat wajah-wajah mereka. Matanya kosong, mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan gelembung-gelembung air kecil. Wajah-wajah itu dipenuhi rasa sakit yang mendalam, kesedihan, dan… pengharapan.
Mereka tidak menuntut darah Rendra. Mereka menuntut sesuatu darinya.
Suara gendang yang pelan, Dug-dug. Dug-dug., menjadi sedikit lebih cepat. Suara itu terasa seperti darah yang berdetak di jantung para korban ini.
Rendra teringat kata-kata Nyai Melati: Yang Basah tidak menginginkan jiwa. Dia menginginkan kebenaran yang terkurung dalam film lama.
Korban-korban ini—para penduduk yang menjadi tumbal bertahun-tahun—mereka berlutut di hadapan Rendra karena ia adalah pembawa kebenaran. Ia membawa warisan kebohongan yang ditanam tiga puluh tahun lalu.
Rendra mengeluarkan dua roll film tua milik ayahnya dari tas. Film yang berisi foto-foto pengorbanan Laras dan pembantaian massal.
Ia mengangkat roll film itu ke udara, di bawah hujan yang konstan.
Tiba-tiba, wajah-wajah yang membusuk itu bergerak. Mata kosong mereka semua memandang roll film di tangan Rendra. Suara gendang itu menghilang.
Salah satu tubuh—tubuh yang tampak lebih tua dan lebih rapuh dari yang lain—menggerakkan kepalanya. Dari mulutnya yang terbuka sedikit, muncul gelembung udara, dan ia berbicara.
Suaranya adalah suara air yang berputar di dalam gua, rendah, dan sangat jauh.
“Tunjukkan… dosa… yang… belum… dicuci…”
Rendra menjatuhkan film itu ke air keruh. Air itu langsung menghisapnya.
Seketika, seluruh tubuh yang berlutut itu mulai bergetar. Air di Kuburan Air itu bergejolak hebat, tetapi bukan karena badai. Itu adalah gejolak emosi.
Rendra mengambil kamera ayahnya. Ia memotret pemandangan horor dan kesedihan yang tak terkatakan ini. Ia memotret tubuh-tubuh yang menuntut kebenaran, berlutut di kuburan air mereka sendiri.
Tiba-tiba, air di rawa itu menjadi hening lagi. Tubuh-tubuh itu tenggelam perlahan kembali ke lumpur, kembali ke tidur panjang mereka. Mereka telah menerima 'persembahan' Rendra: petunjuk, janji kebenaran, yang terkandung dalam film tua itu.
Rendra berdiri di sana, sendirian lagi, air hujan membasuh wajahnya. Ia tahu, ia telah melakukan kontak dengan para korban. Mereka tidak jahat. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap oleh kebohongan.
Ia harus segera mencapai Sumur Tua, tempat di mana kutukan itu dimulai, dan tempat Yang Basah menahan Rani.
Rendra teringat kunci kuningan kecil yang ia temukan di kotak Rani. Kunci itu berkarat. Untuk apa?
Ia kembali ke lapangan. Ia melihat ke Sumur Tua yang ditutup batu. Batu itu sangat besar, terlalu berat untuk dipindahkan sendiri.
Rendra mendekati batu penutup itu, dan ia melihat sesuatu di sana. Di tengah batu, tersembunyi oleh lumut dan kelembaban, ada sebuah lubang kunci kecil yang berkarat.
Rendra mengeluarkan kunci kuningan yang ia temukan. Kunci itu berkarat, tetapi ukirannya cocok dengan lubang kunci yang tersembunyi itu.
Rani tidak hanya menemukan kebenaran; ia menemukan jalan masuk ke sana.
Rendra memasukkan kunci itu ke dalam lubang. Ia merasakan karatnya menggores kuningan. Ia memutar kunci itu perlahan, sambil menahan napas.
Kunci itu berputar.
Tidak ada suara gemuruh. Tidak ada ledakan. Hanya suara klik yang sangat pelan, yang segera ditelan oleh suara hujan.
Tiba-tiba, rantai dan tali tambang tua yang mengikat batu penutup itu putus dengan sekali sentak. Batu itu bergetar hebat.
Dan kemudian, dengan bunyi gesekan yang memekakkan telinga antara batu dan batu, yang berderak melawan keheningan desa, batu penutup Sumur Tua itu perlahan-lahan bergeser.
Lubang Sumur Tua itu terbuka.
Dari kedalaman sumur, langsung menyembur ke atas, adalah uap air yang sangat dingin, membawa aroma besi yang paling pekat yang pernah Rendra cium. Aroma itu menyergapnya, membuatnya hampir pingsan.
Dan dari bawah lubang yang terbuka itu, terdengar suara. Bukan gemericik. Bukan suara air.
Itu adalah suara tangisan yang sangat dingin, suara seorang gadis yang menangis dalam penderitaan yang tak berkesudahan, terperangkap di bawah air dingin selama tiga puluh tahun.
Rendra melihat ke lubang gelap Sumur Tua itu. Di sana, di kedalaman, ia akan menemukan Rani. Ia akan menemukan kebenaran yang ditanam ayahnya. Dan ia akan menghadapi Yang Basah.