NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 25

Pintu kamar Hana terus berguncang.

BRUTAKK!

DUUUG!

BRAAANGG!!

Setiap hantaman membuat debu jatuh dari kusen pintu, dan tubuh Hana semakin gemetar.

James berdiri di depan Hana, seolah ingin menghadang siapa pun yang masuk.

“James…”

Hana menarik lengannya, suaranya bergetar.

“Tolong… dengarkan aku… dengarkan aku… kau harus sembunyi…”

James menggeleng.

“Tidak. Aku tidak tinggalkan kau di sini.”

“Tapi kalau dia lihat kau di sini, dia akan—”

BRUUUK!

Pintu hampir patah.

Tidak ada waktu lagi.

Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Hana mendorong dada James.

“JAMES!!

KALAU KAU MATI—AKU TIDAK AKAN PERNAH BISA HIDUP TENANG!!”

James mematung.

Itu pertama kalinya Hana membentaknya.

Suara yang penuh putus asa.

Hana meraih wajah James, kedua telapak tangannya dingin.

“Tolong… tolong… sembunyi dulu… aku mohon…”

Air matanya jatuh tanpa henti.

“Aku tidak peduli kalau aku disiksa… tapi aku tidak bisa lihat kau disakiti… Tidak. Bisa.”

James terdiam.

Ia menyentuh tangan Hana yang memegang wajahnya—

lembut, penuh luka.

“Hana…”

napas James pecah,

“…aku janji aku kembali untukmu.”

Hana mengangguk cepat, meski wajahnya hancur oleh ketakutan.

Pintu berguncang lebih keras.

GRRAAAK!!

“SEKARANG!!”

Hana berbisik keras sambil menarik James ke arah lemari pakaian besar di sudut kamar—

lemari tua penuh kain tebal, tempat paling mungkin menahan suara.

James masuk ke dalam, merapat ke dinding dalam lemari.

Hana menutup pintu lemari dari luar.

Suara napas James terdengar pelan—

ditahan paksa.

Hana memutar tubuh ke arah pintu—

dan di saat itu…

DUM!!

Pintu kamar jebooool.

Kayu patah berhamburan ke lantai.

Penjaga masuk duluan, senjata ke bawah.

Lalu—

Soni muncul di ambang pintu.

Matanya langsung menelusuri ruangan.

Hana berdiri terpaku di tengah kamar, wajahnya pucat, napas pendek-pendek.

Soni masuk tanpa berkata apa-apa.

Penjaga menutup pintu (yang kini hanya tersisa separuh), dan seluruh ruangan terasa menyusut.

Ketegangan terasa seperti benang tipis yang siap putus kapan saja.

“Hana.”

Suara Soni pelan tapi menusuk.

Hana menunduk dalam-dalam.

“Ya… Tuan…”

Soni melangkah pelan masuk, mengamati lantai.

Jejak debu.

Jejak kaki kecil.

Geseran karpet.

Matanya sempit, menganalisis.

“Kau terlihat gelisah.”

Langkah Soni mendekat.

“Apa yang kau lakukan?”

Hana menelan ludah.

“Saya… saya tadi jatuh… pintunya… kaget…”

Soni berhenti tepat di depan Hana.

Ia mengangkat dagunya dengan dua jari, memaksa Hana menatapnya.

“Kau berbohong.”

Tangan Hana bergetar.

Air mata hampir turun.

“Tidak… saya hanya—”

“Matamu merah.”

Soni menatap lebih dalam.

“Kau menangis lebih keras dari biasanya.”

Hana memejamkan mata kuat-kuat.

Jangan lihat lemari… jangan lihat lemari… jangan lihat lemari…

Soni menurunkan tangannya, berbalik sejenak.

Ia menatap seluruh ruangan dengan seksama.

“Ruangan ini diacak.”

Suaranya dingin.

Hana hampir kehilangan keseimbangan.

Soni menunjuk lantai.

“Karpet bergeser.”

Ia menatap meja.

“Lampu sedikit miring.”

Ia menatap tirai.

“Dan jendelanya terbuka sedikit.”

Hana hampir saja terjatuh.

James… jangan bersuara… kumohon…

Soni berjalan mendekat ke arah jendela.

Ia memeriksa jendela, lalu menarik tirai sepenuhnya.

“Angin?”

Soni memiringkan kepala.

“Tidak ada angin yang cukup kuat malam ini.”

Hana menggigit lengan bajunya agar tidak terisak.

Soni berbalik…

tatapannya jatuh tepat ke arah lemari besar.

James menahan napas.

Hana memucat total.

Soni berjalan ke arah lemari itu.

Perlahan.

Setiap langkah terdengar lebih keras daripada suara badai di luar.

Tok…

Tok…

Tok…

Hana mulai menangis tanpa suara.

Ketika Soni sampai tepat di depan lemari—

ia meletakkan tangan pada gagang pintunya.

“Kenapa lemari ini… sedikit terbuka?”

Hana tidak bisa menahan diri lagi.

Ia maju cepat dan memegang tangan Soni.

“Jangan buka!!”

Soni langsung menatap tajam, tajam sekali—

tidak terkejut,

tidak bingung,

—tapi penasaran.

“Kenapa tidak boleh aku buka?”

Hana tubuhnya gemetar begitu kuat.

“Saya… saya… takut ada tikus…”

Soni tersenyum tipis.

“Sejak kapan kau takut tikus, Hana?”

Hana tidak bisa menjawab.

Soni menatap tangan Hana yang memegang pergelangannya.

“Kau gemetar.”

Ia mendekat, wajahnya hanya sedekat setengah jengkal.

“Ada apa di dalam lemari ini?”

Hana menunduk, menangis keras, suara pecah.

“Tidak ada… saya… saya hanya takut…”

“Takut apa?”

Hana menutup wajahnya.

“Takut… kau marah…”

Soni menatapnya lama.

Lalu…

Ia melepaskan gagang lemari.

Bukan karena percaya.

Namun karena ada hal lain yang lebih penting baginya.

Ia menaruh tangannya di bahu Hana.

“Dengar aku baik-baik.”

Suaranya turun menjadi pelan dan gelap.

“Kalau ada seseorang di dalam lemari itu…”

Hana berhenti menangis.

Badannya membeku.

Soni mencondongkan badan, berbisik di telinganya:

“…aku akan pastikan orang itu tidak melihat matahari lagi.”

Hana terisak.

“Tidak ada siapa-siapa… saya janji… tidak ada…”

Soni menatapnya lama.

Sangat lama.

Akhirnya ia mengambil keputusan.

“Kalau begitu…”

Soni mundur setengah langkah,

“…aku percaya padamu.”

Hana hampir roboh.

James, di dalam lemari—

menutup wajahnya dengan tangan, menahan napas begitu dalam hingga dadanya perih.

Soni berjalan menuju pintu kamar, lalu berkata pada penjaga:

“Kunci lagi.

Gandakan penjagaannya.”

Penjaga mengangguk.

Soni menatap Hana sekali lagi.

Tatapan yang mengatakan:

Aku tahu kau sembunyikan sesuatu.

Aku hanya belum tahu apa.

Pintu ditutup.

Terkunci.

Langkah Soni menjauh.

Hana jatuh terduduk, tubuhnya gemetar hebat.

Air mata menetes tanpa suara.

Dari dalam lemari, pintu bergerak sedikit…

dan tangan James keluar perlahan, menyentuh lantai.

Hana meraih tangan itu.

Keduanya saling menggenggam,

diam,

tanpa suara—

namun itu adalah genggaman dua orang yang sama-sama selamat…

di detik terakhir.

Begitu langkah Soni benar-benar menjauh,

Hana langsung merosot ke lantai, tubuhnya masih gemetar hebat.

Beberapa detik kemudian…

klik

pintu lemari bergerak dari dalam.

James keluar perlahan.

Wajahnya pucat, napasnya masih tercekik akibat menahan suara.

Namun hal pertama yang ia lakukan adalah memegang bahu Hana.

“Hana… apakah kau baik-baik saja?”

Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Begitu melihat James berdiri di depannya—

Ia langsung menangis lagi.

“James… kalau dia buka lemari itu… kau… kau…”

Suaranya pecah, tubuhnya berguncang seperti kehilangan kekuatan.

James mendekat, menarik Hana ke dalam pelukannya.

Ia meremas punggung Hana, seolah memeriksa apakah ia benar-benar utuh.

“Aku di sini. Aku masih hidup. Kau sudah selamatkan aku.”

Hana mengguncang kepalanya, menangis lebih keras.

“Saya tidak kuat… saya tidak kuat lagi, James…

dia… dia seperti tahu semuanya…

aku takut… takut sekali…”

James memegang wajah Hana di kedua tangannya.

“Hana… dengar aku.”

James menatapnya serius, tegas, tanpa ragu.

“Kita harus keluar malam ini.”

Hana membeku.

“James… keluar?

Tidak mungkin… penjagaannya banyak… Soni tahu kau di mansion ini… dia pasti—”

“Aku tidak peduli dia tahu atau tidak.”

James mengusap pipi Hana yang basah.

“Aku tidak akan biarkan kau tinggal di sini satu malam lagi.”

Hana menunduk, suara kecil:

“…bagaimana caranya?”

James menarik napas panjang.

“Aku melewati jalur servis belakang. Itu jalur yang sama dengan tempat kau kabur tadi.”

Hana terkejut.

“Kau… kau lewat situ?”

James mengangguk.

“Dan aku ingat satu hal… dari dulu.”

Ia mendekat, suara direndahkan.

“Di belakang mansion… ada gerbang kecil tempat para pelayan keluar untuk buang sampah atau ambil barang.”

Hana menegang.

Gerbang itu memang ada.

Gerbang yang tidak pernah dipakai tamu.

Tidak dijaga seketat gerbang utama.

Tapi…

bagaimana mereka bisa keluar tanpa ketahuan kamera?

“James… kamera belakang… itu selalu aktif…”

Hana mengingatkan dengan panik.

James menggeleng pelan.

Tidak… bukan geleng panik.

Gelengan yakin.

“Tiga jam lalu… kamera belakang padam.”

James mengangkat ponselnya, memperlihatkan tampilan jadwal CCTV lama yang ia tahu sejak remaja.

“Kamera belakang selalu mati pukul dua pagi selama 15 menit.”

Hana terbelalak.

“Kita… kita punya waktu?”

James mengangguk.

Namun sebelum Hana sempat bicara—

Ponsel James bergetar sangat kecil.

James membukanya.

NATHAN : “James. Aku di belakang mansion. 5 menit lagi di titik pelayan lewat. Jangan lewat gerbang samping.”

James menelan napas.

Nathan?

James membaca chat berikutnya.

NATHAN : Jangan kaget. Raina bersama aku. Dia tahu tentang ibumu. Turun lewat jalur servis. Kami tunggu. Jangan terlambat.”

Hana menutup mulutnya.

“Raina… Nathan… mereka… datang?”

James mengangguk, napasnya cepat tapi fokus.

“Mereka datang. Mereka akan jemput kita.”

Hana tidak bisa bergerak beberapa detik.

Terharu?

Takut?

Tidak percaya?

Semua bercampur.

James menggenggam tangannya.

“Hana… ini kesempatan kita.

Soni mulai sadar ada penyusup… sebentar lagi dia akan cek kamera.

Kalau kita tidak pergi sekarang… kita tidak akan punya kesempatan lagi.”

Hana mengangguk cepat.

“Saya siap… saya siap…”

James memegang pundaknya.

“Kita keluar lewat pintu servis di belakang kamarmu.”

Hana mengerjap.

“Saya… saya ingat jalurnya.”

James tersenyum tipis.

“Bagus.”

Mereka bergerak cepat.

Hana mengambil mantel tipisnya untuk menutupi dirinya.

James mengambil selimut kecil, memotongnya dengan pisau lipat kecil yang ia selipkan di sepatu—

menjadikannya pengganjal kamera kecil di lorong supaya sudut pengawasan sedikit melenceng.

Kemudian…

Hana membuka pintu kecil di belakang rak buku—

pintu servis yang tadi Hana gunakan untuk kabur.

Lorong gelap menyambut mereka.

James mengulurkan tangan.

“Hana… pegang tanganku.”

Hana menggenggamnya erat.

Mereka masuk ke dalam kegelapan lorong.

 

 DI GERBANG BELAKANG

Hujan makin deras.

Nathan berdiri di balik truk sampah kosong, hujan menetes dari rambutnya.

Ia memakai hoodie hitam, tas besar di punggungnya, dan earphone di satu telinga.

Ia melihat jam.

“Dua menit lagi.”

Raina berdiri di sebelahnya, memeluk dirinya, tubuh gemetar.

“Apa kau yakin… mereka bisa lewat jalur itu…?”

Nathan tidak menjawab.

Ia hanya menatap lorong kecil yang menuju gerbang pelayan.

“Kamera belakang padam.

Ini satu-satunya waktu.”

Raina menelan napas.

“Hana… datanglah… James… cepat…”

Nathan mengepalkan tangan.

“Soni pasti sadar sebentar lagi.”

Hujan makin deras.

Suara mesin dari dalam mansion samar-samar terdengar.

Suasana menegang.

“Cepatlah…”

gumam Nathan.

 

DI DALAM LORONG SERVIS

James dan Hana merayap.

Lorong terasa lebih gelap dari sebelumnya, lampunya hanya satu-dua yang menyala.

Setiap langkah, James menoleh ke belakang memastikan tidak ada penjaga.

Ketika mereka tiba di ujung lorong, Hana menahan napas.

“James… itu pintunya…”

Gerbang kecil.

Gerbang pelayan.

James membuka sedikit celahnya.

Ia melihat hujan.

Lantai basah.

Bayangan dua orang menunggu…

Nathan dan Raina.

James memegang tangan Hana.

“Hana… kita berhasil.

Sedikit lagi.”

Hana menangis pelan, tapi kali ini bukan takut—

tapi harapan.

James menarik napas.

“Ayo…”

Mereka keluar dari pintu—

Namun tiba-tiba…

—DRAP DRAP DRAP—

Suara langkah cepat terdengar dari arah dalam mansion.

Bukan satu orang.

Beberapa orang.

Dan suara berat yang sangat familiar menggema:

“Cari mereka.”

—Soni.

Hana memucat.

James menggenggam tangannya lebih kuat.

“Cepat… lari ke Nathan…”

Namun sebelum mereka berdua sempat lari—

suara radio penjaga terdengar keras:

“Tuan! Kamera belakang mendeteksi dua bayangan keluar!”

Nathan langsung berdiri tegap di luar gerbang.

Raina menahan napas.

Hujan makin deras.

James menarik Hana.

“Hana—lari!!”

Dan mereka berdua berlari—

menuju Nathan.

Menuju kebebasan.

Menuju malam yang tidak lagi bisa dihentikan Soni.

By : Elara21

23-11-2025

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!