Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir yang Tragis di Tengah Hujan
Beberapa hari berlalu sejak kejadian pahit itu. Dea telah kembali ke rumahnya, namun hatinya masih remuk redam. Senyum ceria yang dulu selalu menghiasi wajahnya kini lenyap, berganti dengan tatapan kosong dan mata sembab. Ia lebih banyak mengurung diri di kamar, menolak untuk berbicara dengan siapa pun. Pemandangan Bukit Dago yang biasanya menenangkan, kini terasa seperti ejekan atas kesedihannya yang mendalam.
Siang itu, Bu Dinda mencoba membujuk Dea untuk makan siang bersama di sebuah kafe di Punclut, berharap suasana sejuk dan pemandangan indah dapat sedikit menghibur Dea. Namun, Dea hanya menggelengkan kepala, memalingkan wajahnya, enggan menatap ibunya. Pak Prasetyo pun tak berani mendekat, diliputi rasa bersalah atas semua yang telah terjadi. Rumah itu, yang dulu terasa hangat dan penuh cinta, kini terasa dingin dan mencekam. Bahkan suara gamelan dari radio pun seolah menyayat hati, bukannya menenangkan jiwa yang lara.
Malam itu, hujan gerimis membasahi Kota Bandung. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, tampak seperti bintang jatuh yang kehilangan arah dalam kegelapan. Di dalam kamarnya, Dea duduk di tepi ranjang, memeluk bantal erat-erat, seolah mencari perlindungan dari badai yang berkecamuk dalam dirinya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang menghantuinya.
"Bagaimana bisa ini terjadi padaku?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya bergetar. "Aku mengandung anak Kak Eri, orang yang haram kunikahi. Apa yang harus kulakukan? Ke mana aku harus mencari jalan keluar?"
Bayangan Eri, dengan senyum hangat dan tatapan penuh cinta yang selalu membuatnya merasa aman, melintas di benaknya. Ia teringat saat mereka berdua menikmati bandrek hangat di sebuah warung di Lembang, tertawa lepas tanpa beban, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Air mata kembali menetes, membasahi pipinya yang pucat. Ia merindukan Eri, merindukan pelukannya yang hangat, merindukan semua kenangan indah yang pernah mereka ukir bersama di setiap sudut kota Bandung.
Namun, kenangan itu kini terasa seperti pisau tajam yang menusuk-nusuk hatinya tanpa ampun. Ia tahu bahwa Eri adalah kakaknya, dan mereka tidak mungkin bisa bersatu. Hukum agama, hukum adat, dan norma masyarakat dengan tegas melarang hubungan mereka. Bandung, kota yang dulu penuh dengan kenangan indah, kini terasa seperti penjara yang mengurungnya dalam keputusasaan.
Ia juga memikirkan tentang bayinya, buah dari cinta terlarangnya. Bayi yang tidak bersalah, yang tidak tahu apa-apa tentang dosa orang tuanya. Ia tidak tega membiarkan bayinya lahir dan tumbuh dalam stigma dan cemoohan masyarakat yang kejam. Ia tidak sanggup membayangkan tatapan jijik dan bisikan sinis yang akan mengiringi kehidupannya kelak.
Dea merasa terpojok dan putus asa. Ia tidak sanggup membayangkan masa depannya yang suram. Ia tidak sanggup menanggung malu dan beban yang begitu berat di pundaknya. Ia tidak sanggup hidup tanpa Eri, namun ia juga tidak sanggup hidup dengan status sebagai seorang ibu tanpa suami, di bawah tatapan menghakimi orang-orang di sekitarnya.
Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah botol kecil di atas meja rias. Botol itu berisi cairan pembersih keramik yang biasa digunakan untuk membersihkan kamar mandi. Ia tahu bahwa cairan itu sangat berbahaya dan beracun, dapat membunuhnya secara perlahan dan menyakitkan. Sebuah ide gila dan mengerikan melintas di benaknya, seolah iblis membisikkan jalan keluar yang sesat.
"Mungkin ini satu-satunya jalan keluar," pikirnya, air matanya semakin deras mengalir. "Jika aku mati, semua masalah akan selesai. Aku akan terbebas dari rasa sakit yang tak tertahankan ini."
Dengan tangan gemetar, Dea meraih botol itu. Ia membuka tutupnya dan mencium aroma kaporit yang menyengat, menusuk hidungnya dan membuatnya mual. Air matanya semakin deras membasahi pipinya yang pucat. Tangannya bergetar hebat, antara takut dan putus asa.
"Maafkan Dea, Bu, Pak," bisiknya dalam hati, suaranya tercekat oleh isak tangis. "Dea tidak bisa menjalani hidup ini lagi. Dea tidak kuat menanggung semua ini. Maafkan Dea, Kak Eri…"
Dengan sekali teguk, Dea menenggak seluruh isi botol pembersih keramik itu. Rasa pahit dan panas langsung membakar kerongkongannya, membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak, seolah ada beban berat yang menghimpitnya.
Ia mencoba berteriak meminta tolong, namun suaranya tercekat di tenggorokan, tidak mampu keluar. Ia merasakan perutnya mual dan melilit, seperti ada ribuan pisau yang menusuk-nusuknya dari dalam. Ia ambruk ke lantai, menggeliat kesakitan, cairan beracun itu membakar organ dalamnya tanpa ampun.
Perlahan, kesadarannya mulai memudar. Penglihatannya kabur, lampu-lampu kota yang tadi berkelap-kelip di kejauhan kini tampak seperti titik-titik api yang menari-nari tak beraturan, semakin menjauh dan redup. Ia merasakan dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya, meskipun keringat dingin membasahi dahinya. Bau kaporit yang menyengat semakin menusuk hidungnya, membuatnya semakin mual dan ingin muntah.
Di tengah rasa sakit yang tak tertahankan, bayangan masa-masa indah saat bersama Eri muncul di benaknya, seolah film yang diputar ulang dalam benaknya. Ia melihat dirinya berlarian di kebun teh bersama Eri, tertawa riang sambil mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara tanaman teh. Ia melihat dirinya duduk di pangkuan ibunya, mendengarkan cerita dongeng sebelum tidur, merasa aman dan nyaman. Ia melihat dirinya memenangkan lomba melukis di sekolah, dan ibunya adalah orang pertama yang memberikan selamat dengan senyum bangga.
Kenangan-kenangan itu terasa begitu indah dan menyakitkan pada saat yang bersamaan. Ia menyesal, mengapa ia harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang begitu tragis dan menyedihkan. Ia menyesal, mengapa ia tidak bisa lebih kuat dan tegar dalam menghadapi cobaan yang begitu berat ini. Ia menyesal, mengapa ia harus mencintai Eri, orang yang tidak mungkin menjadi miliknya.
Namun, penyesalan itu kini terasa percuma, tidak ada gunanya lagi. Ia sudah terlambat untuk mengubah apa pun. Ia sudah mengambil keputusan yang tidak bisa ditarik kembali. Ia hanya bisa pasrah menunggu maut menjemputnya, mengakhiri penderitaannya.
Napasnya semakin sesak dan pendek, tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang, lalu melambat perlahan, semakin lemah. Di luar, hujan semakin deras mengguyur Bandung, seolah alam pun ikut berduka atas tragedi yang menimpanya, menangisi kepergiannya.
Saat kesadarannya benar-benar menghilang, Dea melihat sebuah cahaya terang di ujung lorong, memanggilnya dengan lembut. Ia merasa tertarik untuk mendekat ke arah cahaya itu, seolah menemukan harapan di tengah kegelapan. Ia merasa damai dan tenang, tidak lagi merasakan sakit dan penderitaan yang selama ini menghantuinya.
Ia menutup matanya untuk terakhir kalinya, dan menghembuskan napas terakhirnya. Dea pergi meninggalkan dunia ini dengan membawa luka dan penyesalan yang mendalam, meninggalkan kesedihan bagi orang-orang yang mencintainya. Di kamarnya, tergeletak sebuah botol pembersih keramik yang menjadi saksi bisu atas tragedi cinta terlarang yang merenggut nyawanya.
**********