NovelToon NovelToon
KEPALSUAN

KEPALSUAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Action / Persahabatan / Romansa
Popularitas:217
Nilai: 5
Nama Author: yersya

ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2

Pukul 19.30 malam.

Langit sudah gelap sempurna, hanya menyisakan bias jingga tipis di ufuk barat. Jalanan masih ramai; deru mobil bersahut-sahutan, lampu-lampu toko memantulkan cahaya ke trotoar yang basah oleh hujan sore tadi. Udara malam itu lembab, menempel di kulit seperti embun yang enggan pergi.

Aku berjalan sendirian di trotoar, masih mengenakan seragam sekolahku yang kusut. Tas selempang menempel di bahu kanan, berat tapi terasa kosong. Suara langkah kakiku tap... tap... tap... berpadu dengan bunyi mesin kendaraan dan tawa orang-orang yang sedang pulang. Dunia terasa hidup, tapi tidak untukku.

Semua terlihat berjalan seperti biasa — kecuali diriku.

“Ditolak, kah...”

gumamku pelan, hampir tidak terdengar di tengah kebisingan kota.

Angin malam berhembus, menyapu rambutku yang berantakan. Di etalase kaca toko yang kulewati, bayanganku tampak suram — mata kosong, bahu menunduk. Seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak pernah ia miliki sepenuhnya.

Untung besok hari Sabtu.

Setidaknya aku bisa mengurung diri tanpa perlu berpura-pura kuat di sekolah.

Langkahku berlanjut, melewati lampu-lampu jalan yang berkedip lembut. Setiap cahaya terasa seperti napas yang meredup, dan setiap bayangan terasa lebih panjang dari biasanya. Hingga akhirnya, aku tiba di rumah — sebuah rumah kecil di ujung gang yang selalu sunyi.

Aku meletakkan tas di kursi, melepas sepatu, lalu menjatuhkan tubuh di atas kasur. Kasurku dingin, tapi keheningan kamar membuatnya terasa lebih nyaman. Aku menarik napas panjang.

“Pasti akan jadi gosip,”

kataku setengah lelah, setengah pasrah.

“Yah, aku tidak peduli juga, sih.”

Kupandangi langit-langit yang retak di beberapa bagian. Bayangan lampu jalan menembus tirai jendela, menari di dinding seperti gelombang air.

Aku menutup mata perlahan.

Aku sudah menduga hasilnya akan seperti itu.

Setidaknya... malam ini aku bisa tidur nyenyak.

Atau setidaknya, aku berharap begitu.

BA-THUM.

BA-THUUM... BA-THUUM... BA-THUUM...

Suara itu muncul tiba-tiba — detakan jantungku sendiri, keras dan berat, menggema di kepala seperti gendang perang. Tubuhku panas, dadaku terasa sesak. Keringat dingin membanjiri pelipis.

BA-THUM.

BA-THUM.

BAAA-THHUUUUM!!

Aku terbangun dengan napas memburu.

“Haa... huuft... haa... huuft... sial!”

umpatku pelan sambil menyeka keringat.

Jantungku masih berdebar tidak wajar, seolah baru saja lari sejauh satu kilometer. Pandanganku buram beberapa detik sebelum akhirnya fokus pada jam dinding di kamar.

Pukul 12 malam.

Empat jam sejak aku tertidur.

Aku menghela napas berat dan duduk di tepi kasur. Di luar, dunia sudah benar-benar sunyi. Hanya suara jangkrik dan dengungan kipas angin di kamar yang menemani.

Kutelan ludah.

“Jalan-jalan mungkin akan membuatku tenang...” gumamku akhirnya.

Aku mengenakan jaket abu-abu, menurunkan resletingnya separuh. Saat kubuka pintu depan, hawa dingin malam langsung menyambut. Udara itu menggigit kulit, menusuk tapi menenangkan. Langit tampak pekat, lampu jalan menyinari jalanan kosong dengan cahaya kekuningan yang lembut.

Tap... tap... tap...

Langkahku bergema di trotoar yang sepi.

Tak ada lagi suara kendaraan, tak ada pejalan kaki. Dunia seolah menahan napas dalam diam.

Aku berjalan tanpa arah. Udara malam seperti menelan segala suara, hanya menyisakan bunyi sepatu yang beradu dengan aspal.

Setiap hari aku seperti ini.

Gangguan tidur. Tidak peduli cepat atau lambat aku tertidur, aku selalu terbangun di tengah malam. Tidurku tak pernah panjang — satu jam, dua jam, kadang tidak sama sekali. Aku sudah terbiasa.

Biasanya, aku menghabiskan waktu dengan membaca, menonton, atau sekadar berjalan seperti sekarang.

Setidaknya di malam hari, tak ada yang memperhatikan.

Tak ada yang bisa menatap kosongku.

Kriek...

Aku menghentikan langkah.

Kepalaku menoleh ke kanan. Suara itu... seperti besi berkarat digesek perlahan.

Kriek... krieeekk...

Aku menyipitkan mata, mencoba menembus kegelapan di antara dua gedung tua.

“Mungkin cuma serangga,” pikirku, mencoba mengabaikannya.

Namun kemudian,

Tap... tap... tap...

Langkah kaki. Berat, tidak teratur.

Dari arah gelap, sesosok siluet muncul — tinggi, kurus, berjalan lambat menuju cahaya lampu jalan.

Ketika ia melangkah ke bawah cahaya, aku menahan napas.

“Manusia...?”

suaraku nyaris tidak keluar.

Tapi wajahnya — wajah itu bukan wajah manusia lagi.

Kulitnya seperti meleleh dan mengelupas, matanya putih kusam tanpa pupil, dan dari mulutnya menetes cairan hijau kental. Nafasnya berat, bergemuruh seperti suara tenggorokan yang robek.

Grrrggghhh... gghhhrrhh...

Aku melangkah mundur satu kali. Lalu makhluk itu mencondongkan tubuhnya, mengerang pelan... sebelum mendadak berlari ke arahku.

DUG-DUG-DUG-DUG!

Refleks, tubuhku bergerak lebih cepat dari pikiranku. Kaki kananku terangkat tinggi, menghantam dagunya dengan lutut.

CRAAK!!

Kepalanya terangkat ke atas, tubuhnya terhempas ke belakang.

Aku tak sempat berpikir. Aku berputar cepat, tubuhku memutar di udara, dan kaki kiriku menghantam sisi kepala makhluk itu.

BWAAM!

Tubuhnya terpental keras, membentur aspal, lalu terdiam.

Aku berdiri dengan napas teratur, menatap tubuh itu yang tergeletak diam.

“Waduh... aku nggak ngebunuh dia, kan?” gumamku dengan canggung.

Namun sebelum aku sempat mendekat, suara krek... kresek... krieekk... kembali terdengar.

Makhluk itu... bangkit lagi.

Aku membeku.

Ia berdiri dengan tubuh bergetar, tulang-tulangnya berbunyi seperti rantai besi yang bergesekan. Mulutnya membuka lebar, meneteskan air liur hijau, matanya menatapku dengan kebencian murni.

“Apa kau... zombie...?” bisikku tanpa sadar.

Grrgghhh... ggrrrrhh... GAAUURRGHH!!

Ia melesat ke arahku, tapi kali ini aku yang lebih cepat. Aku mencondongkan tubuh ke depan, menapak dengan kuat, lalu menghantam wajahnya dengan tinju kanan.

BAAAM!!

Darah hijau memercik ke udara.

Makhluk itu terpental, mengerang liar.

Aku tidak memberi kesempatan — aku melesat, menindih tubuhnya, dan menghujani wajahnya dengan pukulan beruntun.

BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!

Setiap pukulan membuat darahnya muncrat, suara tulang retak terdengar samar di antara erangannya. Tapi makhluk itu tidak berhenti bergerak.

Ia bergetar, gemetar... dan—anehnya—seperti takut.

Aku berhenti memukul. Tangan kananku berlumur cairan hijau kental yang mulai mengering. Makhluk itu menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kutafsirkan. Takut, tapi juga lapar. Matanya bergerak cepat, mencari celah untuk kabur.

Tiba-tiba—

SSHHH!!

Ia menyemburkan cairan kehijauan ke arah wajahku. Aku reflek memiringkan kepala, menghindar tepat waktu. Cairan itu menetes ke aspal, dan ssszzz! — asap putih keluar dari sana, menandakan cairan itu bersifat korosif.

“Sial!” seruku, menutup wajah dengan lengan.

Makhluk itu segera berlari tertatih-tatih menjauh, mengerang pelan sebelum lenyap di balik kegelapan gang. Aku hanya bisa berdiri di tempat, menatap arah kepergiannya.

Hening.

Hanya desiran angin dan detak jantungku yang tersisa.

“Huh...” helaku, mengusap wajah yang masih berkeringat.

“Dunia... semakin lama semakin aneh saja.”

Aku menatap langit malam — kosong, tanpa bintang.

Namun entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa malam ini adalah awal dari sesuatu yang tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!