Suatu hari, Rian, seorang pengantar pizza, melakukan pengantaran di siang hari yang terik.
Namun entah kenapa, ada perasaan aneh yang membuat langkahnya terasa berat saat menuju tujuan terakhirnya.
Begitu sampai di depan pintu apartemen lokasi pengantaran itu, suara tangis pelan terdengar dari dalam di ikuti suara kursi terguling.
Tanpa berpikir panjang, Rian mendobrak pintu dan menyelamatkan seorang gadis berseragam SMA di detik terakhir.
Ia tidak tahu, tindakan nurani itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Sistem memberi imbalan besar atas pencapaiannya.
Namun seiring waktu, Rian mulai menyadari
semakin besar sesuatu yang ia terima, semakin besar pula harga yang harus dibayar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 - Yuna
Tanpa peringatan.
"KREK.."
Terdengar suara tangan.
Gadis itu langsung menggigit tangan kanan Rian yang berada di dekat wajahnya.
“Aw…!” Rian teriak pendek, tubuhnya menegang karena kaget dan sakit.
Namun ia tidak menarik tangannya. Justru, dengan tangan kirinya ia meraih badan gadis itu, menariknya kembali agar tidak terjatuh dari kasur springbed lama.
Gadis itu melepas gigitan nya cepat, terengah dengan mata yang merah dan kacau.
Rian menahan rasa perih di tangannya, pura-pura seolah itu tidak masalah sama sekali.
“Hm… ada apa nih…?” ucap Rian lembut, seakan yang terjadi barusan tidak membuatnya kesakitan.
“Ceritain ke kakak, ya…”
Gadis itu menggeleng pelan, air mata kembali berkumpul di sudut matanya.
Rian tetap sabar. Tangannya terulur untuk mengusap rambut siswi itu, pelan dan menenangkan.
“Gak boleh gitu dong,” ucapnya perlahan membujuk.
“Kalau ada masalah, kamu harus ngomong. Kakak gak bakal ninggalin kamu kok.” Ucapnya.
Ia menunduk sedikit, menatap mata gadis itu walau yang ditatap masih ketakutan.
“Apa pun yang kamu rasain… kamu gak harus tanggung sendirian. Bilang ke kakak… biar kakak bantu, ya?” Lanjutnya, sambil perlahan Rian mengangkat tangan kanan nya dan mengusap air mata yang mengalir dari kedua mata gadis itu.
Gerakannya hati-hati, lembut, seolah menyentuh sesuatu yang bisa pecah kapan saja.
Siswi SMA itu menelan ludah, napasnya tersengal.
Ia memandang Rian dari bawah, matanya basah dan bergetar.
“Ja… ja-nji ya…” suaranya pecah, seperti baru belajar bicara lagi setelah lama tenggelam.
“Kakak… gak ninggalin…” Ia menarik napas tajam, bahunya naik turun.
“…seperti me–mereka…”
Kata “mereka” keluar dengan suara yang hampir tidak terdengar, lebih mirip luka yang terucap daripada sebuah kata.
“Iya… janji, Yuna.”
Rian mengangkat jari kelingkingnya, menatap gadis itu dengan ketegasan yang hangat.
“Kakak gak akan ninggalin kamu karena apa pun.” Ia mengatakannya pelan namun mantap, sebuah janji yang benar-benar ingin ia tepati.
Rian tau itu sebelumnya ia menunduk sedikit, memperhatikan seragam putih-abu yang dipakai.
Di dada kiri seragam itu, tepat di atas logo sekolah swasta, tertulis nama bordir kecil,
“Yuna Naura.”
Siswi itu berambut hitam panjang dan kulit putih pucat itu tampak ragu sesaat.
Matanya masih sembab, tapi pupilnya bergetar seperti tidak percaya ada seseorang yang memintanya membuat janji… bukan untuk menyakitinya, tapi untuk tetap tinggal.
Perlahan, sangat perlahan, ia mengangkat tangan kirinya.
Jari-jarinya bergetar sebelum akhirnya satu kelingking kecil itu terjulur, menyentuh kelingking Rian.
“…Ja-jangan… bohong, ya…” bisiknya lirih.
“Kalau kakak ninggalin… aku gak tau harus ke mana lagi…”
Rian mengaitkan kelingkingnya lebih erat.
“Iya beneran. Kakak gak pergi. Kakak di sini. Kakak akan selamanya denganmu.” Lanjut nya.
Gadis itu menunduk, bahunya mulai bergetar pelan karena untuk pertama kalinya selain orangtua nya… ada seseorang yang memandangnya bukan sebagai beban.
“…k-kak…” suaranya pecah kecil.
“Aku ceritain… ya…”
Rian mengangguk lembut.
“Hmm. Kakak dengerin. Pelan-pelan aja.”
Yuna menggenggam baju seragamnya, menguatkan diri.
Lalu, dengan suara yang masih bergetar, ia mulai berbicara.
“K… kejadian itu… sekitar setengah bulan lalu, Kak…”
Yuna menelan ludah, suaranya pecah.
“Aku baru pulang sekolah… masih pakai seragam… belum sempat buka sepatu.”
Ia mengusap bawah matanya, lalu melanjutkan.
“Tiba-tiba… tante aku datang ke rumah dan teriak…”
Bahunya sedikit naik turun mengingat amarah tantenya.
"Hei jalang! Tinggalkan rumah ini! Ini rumah milik kami!’
Saat menirukan itu, suara Yuna mengecil lagi, kepalanya menunduk makin dalam.
“Aku bingung, Kak… Kenapa aku harus keluar dari rumah orangtuaku sendiri?"
"Aku cuma bilang…”
‘Kan ini rumah milik ayah dan ibu… dari kerja mereka…’
Jari tangan Yuna saling meremas.
Matanya menerawang kosong, seperti melihat kejadian itu lagi.
“Terus… tante aku ketawa… katanya rumah itu… rumah dia juga… karena ayahku saudara kandung nya.”
Yuna menggeleng kecil, nafasnya tersendat.
“Kak… aku masih inget… caranya lihat aku kayak… aku barang nggak berguna…”
Ia lanjut pelan, terbata-bata.
“Terus dia bilang kalau semua harta udah di alihin sebelum ayah dan ibu meninggal…”
Saat berkata “meninggal”, suara Yuna langsung retak. Rian melihat jari-jarinya gemetar hebat.
“A-aku jadi curiga mendengar nya, jadi aku tanya… apa tante yang nyebabin ayah dan ibu… meninggal…”
Ia menutup mata sendiri sambil meringis, seperti masih takut pada jawabannya.
“Tapi… tante aku panik… terus dia langsung marah besar…”
“Koper aku dilempar, Kak… buku-buku aku… berantakan semua di lantai…”
Napasnya memburu.
Tangan kirinya terangkat ke lutut, menekan pelan seakan lutut itu masih terasa sakit.
“Aku mau ambil buku aku… tapi tante tendang koper aku… aku kedorong… jatuh… lutut aku berdarah.”
Rian menatap titik darah samar di lutut Yuna bekas luka kecil yang masih ada.
“Mereka kasih aku uang… cuma dua ratus ribu…”
“Terus… aku diusir… anggep aku kayak sampah.”
Bahunya bergetar keras.
Dan kalimat terakhir keluar hampir seperti bisikan.
“Aku… cuma bisa bawa koper itu, Kak… sambil seret pelan… jauh dari rumah ku sendiri…”
Yuna menahan mulutnya agar tidak menangis keras, tapi air mata jatuh tanpa henti.
Napasnya sesak, suaranya hampir hilang ketika ia melanjutkan:
“A-aku… bingung harus tinggal dimana, Kak…”
Ia menunduk, menarik lututnya dekat ke dada.
“Jadi aku ke tempat nenek. Dulu aku pernah sering main di sini waktu kecil…”
Matanya melirik sekeliling ruangan yang kusam cat pink gelap mengelupas, lampu redup, TV tua dengan bayangan hitam di sudutnya, lantai lembap penuh bekas jamur.
“Tapi… ternyata rumah nenek udah ditinggalin… kayak begini…”
Suaranya runtuh di akhir.
“A-aku pikir… gak apa-apa… yang penting ada tempat buat tidur…”
Ia menarik napas tersengal.
“E-eu… tapi makin lama aku tinggal… aku ngerasa sendiri banget, Kak…”
Matanya kembali berkaca-kaca.
“Aku bangun tiap pagi… cuma liat tembok lembab… suara tetesan air dari toilet rusak…”
Bahunya gemetar.
“Gak ada siapa-siapa… gak ada yang nunggu aku pulang sekolah… gak ada yang peduli denganku…”
Ia kembali menutup muka nya.
“Aku... capek begini…”
Rian menatap Yuna yang menutup wajahnya dengan kedua tangan—tapi dari sela-sela jari itu, air mata tetap jatuh perlahan, menetes tanpa bisa dihentikan.
Perlahan, ia menarik napas panjang dan mengusap rambut gadis itu dengan lebih pelan, lebih penuh empati. Gerakannya seperti seorang kakak yang menemukan adiknya dalam kondisi hancur.
Dalam hati, ia gumam getir,
Umur anak SMA sekitar… 16–18 tahun. Umur segitu tuh lagi gede-gede egonya, haus perhatian, butuh tempat pulang.
Dan dia harus nanggung semua ini sendirian?
Pikirannya makin panas.
Anak seusia ini harusnya ribut soal nilai ujian, tugas sekolah, drama pacaran labil, gosip murahan di kelas bukan soal kematian orang tua, perebutan warisan, dan diusir dari rumah.
Rian mengepalkan tangan satunya tanpa sadar.
“Hush… udah… kamu udah cukup kuat buat bertahan sejauh ini,” ucapnya dengan suara lembut namun tegas, nada yang tidak menghakimi.
Yuna menggigit bibir, menahan tangis yang mulai pecah lagi. Bahunya bergetar halus.
Rian melanjutkan, suaranya semakin dalam, tulus,
“Umur kamu masih muda, Yuna. Wajar kalau kamu kesepian… wajar kalau kamu ngerasa dunia gak adil.
Tapi kamu gak harus ngadepin semuanya sendirian.”
Pelan-pelan Yuna mendongak, matanya merah, berair, tampak seperti seseorang yang memohon sedikit saja alasan untuk bertahan.
Rian membalas tatapannya dengan sorot yang mantap, hangat, stabil, dan penuh kepastian yang selama ini Yuna cari dalam gelap.
“Sekarang… kamu gak akan sendirian lagi,” ucap Rian pelan namun tegas.
“Ada kakak di sini.”
Saat itu juga, sesuatu di dalam diri Yuna seperti patah sekaligus terselamatkan.
Tatapannya bergetar… lalu pecah.
Seolah tubuhnya bergerak sendiri, Yuna memeluk Rian dengan sangat Erat.
Sangat erat, seperti seseorang yang akhirnya menemukan daratan setelah berhari-hari terombang-ambing di laut.
Rian sempat terkejut sepersekian detik, tapi langsung membalasnya, memeluk balik gadis itu dengan lembut.
Di pangkuan nya, suara Yuna pecah, lirih, tercekik, tapi penuh luka yang tak pernah ia bagi pada siapa pun.
“Te.. Terima kasih..."
Tangisnya pecah lagi.
Tubuhnya bergetar hebat, seperti semua rasa takut, marah, rindu, dan kehilangan selama sebulan terakhir akhirnya keluar sekaligus.
Tangan Yuna mencengkeram badan Rian, seolah jika ia melepaskan sedikit saja, dunia akan merenggut satu-satunya orang yang menolongnya hari ini.
Tangisan nya makin lama, mulai melemah.
Pelukannya yang awalnya erat dan penuh rasa takut perlahan berubah menjadi lemas seolah seluruh tenaganya terkuras habis oleh tangis yang ia tahan selama ini.
Beberapa menit berlalu.
Napas Yuna mulai berat… terputus-putus… kemudian teratur.
Rian menatap Yuna yang akhirnya tertidur.
Wajahnya masih basah, bulu matanya masih menahan sisa air mata…
tapi ekspresinya jauh lebih tenang daripada sebelumnya.
Rian menghela napas panjang, menatap gadis itu dengan campuran iba dan tekad.
“Capek banget, ya…” gumamnya pelan sambil merapikan poni Yuna.
“Gak apa-apa. Sekarang istirahat saja. Sisanya… biar kakak yang urus.”
Dan di apartemen kecil itu, dengan cahaya senja menembus jendela, Yuna tidur untuk pertama kalinya tanpa rasa takut di pangkuan seseorang yang akhirnya berkata,
“Kamu gak akan sendirian lagi.”
Dan saat itu…
[Ding!]