NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ironis

… berhenti berdetak sesaat di ruang UGD. Mereka berhasil memacunya lagi, tapi sekarang… kondisinya sangat tidak stabil.”

Dunia Angkasa, yang baru saja terasa utuh dan hangat di bawah pohon kamboja, pecah berkeping-keping. Genggaman tangan Lila di lengannya melonggar, ponselnya jatuh berdebam ke atas rumput dengan suara tumpul yang mengerikan.

Cahaya lampu taman yang tadi terasa romantis kini menyoroti wajah Lila yang kehilangan semua warnanya, berubah menjadi topeng porselen yang retak oleh kepanikan.

“La?” panggil Angkasa lembut, menyentuh bahunya.

Lila tidak merespons. Matanya terpaku pada satu titik kosong di kejauhan, napasnya tertahan. Aroma bunga kamboja yang tadi menenangkan kini terasa memuakkan, seperti wangi di pemakaman.

“Lila, kita harus ke sana,” kata Angkasa lagi, kali ini lebih tegas. Ia memegang kedua bahu wanita itu, memaksanya untuk menatapnya.

“Gilang butuh kamu. Kamu harus kuat.”

Kata-kata itu seolah menjadi kunci yang membuka bendungan. Isak tangis yang tertahan akhirnya lolos dari bibir Lila, sebuah suara yang penuh dengan ketakutan.

“Aku takut, Mas… aku takut sekali…”

“Aku tahu. Aku di sini,” bisik Angkasa, menarik Lila ke dalam pelukan singkat yang canggung karena tiang infusnya.

“Ayo.”

Mereka berlari, atau lebih tepatnya, Angkasa berjalan cepat sambil mendorong tiang infusnya dan Lila tersandung di sampingnya, menyusuri koridor yang terasa tak berujung. Suara tawa mereka di taman tadi terasa seperti gema dari kehidupan yang lain, dari satu abad yang lalu.

Pemandangan di depan kamar mereka adalah neraka yang terorganisasi. Beberapa perawat dan seorang dokter jaga berlari masuk dan keluar, mendorong troli darurat. Suara mesin ventilator yang dipasang darurat melengking, beradu dengan alarm dari monitor jantung yang berbunyi tak beraturan.

“Maaf, Mbak Lila, tolong jangan masuk dulu,” cegah seorang perawat, menahan Lila yang hendak menerobos masuk.

“Itu adik saya! Apa yang terjadi?” teriak Lila, sisi perawat profesionalnya lenyap tak berbekas, menyisakan seorang kakak yang putus asa.

“Gagal jantung kongestif akut. Paru-parunya terisi cairan,” jawab dokter jaga cepat tanpa menoleh.

“Saturasinya anjlok. Kita sedang berusaha menstabilkannya.”

Lila hanya bisa menatap dari ambang pintu, tangannya terkepal di depan mulutnya, meredam jeritan. Ia melihat tubuh kurus Gilang di atas ranjang, dadanya naik turun dengan kasar mengikuti irama paksa ventilator, wajahnya pucat kebiruan di bawah masker oksigen. Anak laki-laki yang beberapa jam lalu masih bercanda sinis itu kini berjuang dalam perang sunyi antara hidup dan mati.

Angkasa berdiri diam di belakang Lila, menjadi bayangan yang tak bisa menawarkan apa pun selain kehadiran. Ia merasakan ironi yang begitu kejam menusuk dadanya. Di ruangan ini, ada dua orang yang tubuhnya sedang mengkhianati mereka. Dua pejuang yang sama-sama kehabisan waktu. Namun, malam ini, hanya ada satu perang yang menjadi pusat perhatian. Perangnya telah ditunda.

Satu jam kemudian, badai itu mereda. Tim medis berhasil menstabilkan Gilang, meski kata ‘stabil’ terasa sangat rapuh. Dokter Adrian, yang dipanggil darurat, keluar dari ruangan dengan wajah lelah.

“Lila,” sapanya pelan.

“Bagaimana, Dok?” tanya Lila, suaranya serak.

Dokter Adrian menghela napas panjang.

“Kita berhasil mengeluarkannya dari kondisi kritis untuk saat ini. Tapi, aku harus jujur. Ini adalah serangan terparah yang pernah ia alami. Fungsi pompa jantungnya turun drastis, kurang dari lima belas persen.”

Lila memejamkan matanya, menahan beban dari setiap kata yang diucapkan dokter.

“Artinya apa?” tanya Angkasa, mengambil alih karena Lila tampak tak sanggup lagi bicara.

“Artinya kita tidak punya banyak waktu lagi,” jawab Dokter Adrian terus terang, menatap mereka bergantian.

“Obat-obatan sudah tidak cukup. Mesin ini hanya menopangnya untuk sementara. Dia butuh transplantasi. Segera. Aku sudah memasukkan namanya ke daftar prioritas tertinggi nasional.”

Harapan dan vonis dalam satu kalimat. Lila bersandar ke dinding, kakinya terasa seperti jeli. Dinding ketegaran yang ia bangun bata demi bata selama bertahun-tahun merawat adiknya, kini runtuh menjadi debu di hadapannya.

“Dia satu-satunya yang aku punya, Dok,” bisik Lila, lebih pada dirinya sendiri.

“Satu-satunya keluargaku yang tersisa.”

Angkasa maju, merangkul bahu Lila yang bergetar hebat. Ia tidak berkata apa-apa. Kata-kata terasa murah dan hampa di hadapan keputusasaan sebesar ini. Ia hanya bisa membiarkan Lila menyandarkan kepalanya di dadanya, merasakan air mata panas wanita itu merembes melalui piyama rumah sakitnya. Di tengah koridor yang dingin itu, cinta mereka yang baru saja mekar dipaksa menghadapi musim dingin yang paling brutal.

.

.

.

.

Dua hari berlalu dalam keheningan yang mencekik. Gilang sudah sadar, tetapi terlalu lemah untuk bicara banyak. Selang-selang kini menjadi perpanjangan tubuhnya, dan suara desis ventilator menjadi latar musik permanen di kamar mereka. Lila tidak pernah jauh dari sisi adiknya, wajahnya berubah menjadi kanvas kelelahan dan kecemasan abadi.

Angkasa hanya bisa mengamati. Ia melihat Lila dengan telaten menyuapi Gilang bubur hambar, yang lebih sering ditolak daripada ditelan. Ia mendengar Lila membacakan berita bola dengan suara ceria yang dipaksakan, mencoba menciptakan normalitas di tengah bencana. Ia menyaksikan bagaimana wanita yang ia cintai itu perlahan-lahan terkikis oleh harapan yang semakin menipis setiap detiknya.

Sore itu, Lila sedang keluar untuk berbicara dengan pihak administrasi. Hanya ada Angkasa dan Gilang di dalam kamar, dipisahkan oleh tirai tipis dan dihubungkan oleh suara mesin penopang kehidupan.

“Kak…”

Suara Gilang yang lemah dan teredam masker oksigen membuat Angkasa terkejut. Ia segera menyingkap tirai.

“Ya, Lang? Butuh sesuatu?”

Gilang menggeleng pelan. Matanya menatap langit-langit.

“Gue… capek.”

“Istirahat saja. Jangan banyak mikir,” kata Angkasa, menarik kursi mendekat.

Gilang tertawa kecil, suara tawanya serak dan menyakitkan.

“Gimana nggak mikir? Gue sama Kakak lagi balapan, kan? Siapa yang tiketnya dipanggil duluan.”

“Jangan ngomong gitu,” tegur Angkasa lembut.

Gilang menoleh, matanya yang biasanya penuh percik pemberontakan kini tampak bening dan pasrah. Ia menatap Angkasa lekat-lekat, dari selang infus di tangannya hingga wajahnya yang pucat.

“Enak, ya, jadi lo, Kak,” ucap Gilang tiba-tiba.

Angkasa mengerutkan kening.

“Enak? Apanya yang enak?”

“Sakit lo parah, gue tahu,” lanjut Gilang, napasnya sedikit tersengal.

“Tapi… seenggaknya lo cuma butuh sumsum tulang. Bisa dicari dari orang yang masih hidup. Masih banyak harapan.”

Kata-kata itu tidak diucapkan dengan nada menuduh. Justru itu yang membuatnya lebih tajam, lebih menusuk, sebuah fakta dingin yang diutarakan tanpa emosi.

“Gue?” Gilang menunjuk dadanya yang kini penuh tempelan elektroda.

“Gue butuh jantung baru. Artinya… harus ada orang lain yang mati dulu buat gue. Gue harus nungguin kabar buruk orang lain buat dapet kabar baik.” Ia tersenyum getir.

“Ironis, kan?”

Angkasa terdiam. Seluruh udara seolah tersedot keluar dari paru-parunya. Ia tidak pernah memikirkannya dari sudut pandang itu. Perjuangannya, yang selama ini ia anggap sebagai puncak penderitaan, tiba-tiba terasa berbeda jika disandingkan dengan penantian Gilang.

“Kakak gue… dia kelihatan tegar, kan?” tanya Gilang lagi, mengalihkan pembicaraan.

“Dia bohong. Tadi malem, gue pura-pura tidur. Gue denger dia nangis di kamar mandi. Dia bilang dia nggak sanggup kalau gue pergi.”

Setiap kata dari remaja itu adalah belati yang mengiris hati Angkasa. Ia melihat wajah Lila dalam benaknya, wajah yang tertawa di taman, wajah yang menangis di koridor, wajah yang kini dipenuhi senyum palsu. Ia membayangkan dunia Lila tanpa Gilang. Kosong. Hancur. Sepi. Sama seperti dunianya sebelum ia bertemu mereka.

Tiba-tiba, kalimat yang ia ucapkan pada Lila di taman beberapa malam yang lalu kembali menggema di kepalanya dengan kekuatan yang mengerikan.

“Perjuanganku bukan lagi tentang menambal sayapku sendiri yang sudah robek.”

“Lalu… tentang apa?”

“Ini tentang memastikan… ada sayap lain yang bisa terbang.”

Saat itu, ia mengatakannya sebagai sebuah filosofi, sebuah penerimaan takdir yang puitis. Sekarang, di hadapan Gilang yang terbaring tak berdaya dan menanti kematian orang lain, kalimat itu mendapatkan makna baru. Makna yang literal, yang radikal, yang begitu mengerikan sekaligus begitu jernih.

Sebuah gagasan mulai terbentuk di benaknya. Sebuah solusi yang gila dan mengerikan, tetapi terasa begitu tepat. Sebuah jawaban atas ironi takdir yang sedang mempermainkan mereka. Ia menatap tubuhnya sendiri, tubuh yang gagal memproduksi darah, tubuh yang divonis tak punya banyak waktu, tubuh yang sedang dalam proses menghancurkan dirinya sendiri dari dalam. Namun, di dalam dada yang rapuh itu, ada satu organ yang masih bekerja dengan sempurna. Satu organ yang berdetak kuat dan sehat.

Jantungnya.

Malam itu, Angkasa tidak bisa tidur. Ia menunggu hingga koridor rumah sakit sepi dan Lila tertidur pulas di sofa dengan napas yang berat karena kelelahan. Dengan hati-hati, ia turun dari ranjang, mencabut tiang infusnya dari stopkontak, dan berjalan keluar kamar.

Ia menemukan Dokter Santoso, ahli kardiologi yang menangani Gilang, sedang meninjau rekam medis di meja perawat.

“Dokter,” panggil Angkasa, suaranya terdengar asing, terlalu tenang di tengah koridor yang sunyi itu.

“Maaf mengganggu malam-malam.”

Dokter Santoso mengangkat wajahnya, tampak sedikit terkejut.

“Oh, Mas Angkasa. Ada apa? Seharusnya Anda istirahat.”

Angkasa mengabaikan pertanyaan itu. Ia melangkah lebih dekat, matanya berkilat dengan intensitas yang membuat dokter itu sedikit waspada.

“Saya mau bertanya sesuatu yang mungkin terdengar gila, Dok,” kata Angkasa. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan semua keberanian yang tersisa di dunia.

“Secara medis… secara teorinya bagaimana?…”

Ia berhenti sejenak, tatapannya terkunci pada sang dokter.

“Apakah jantung dari pasien Anemia Aplastik stadium akhir… bisa didonorkan?”

1
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
Puput Assyfa
aduh Laras bukan Gilang yg harus km tolong tp Angkasa, makin menyesakan saja🤧
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭,
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa km masih memikirkan kesembuhan Gilang disaat km juga berjuang, km ingin melakukan kebaikan sebelum menutup mata untuk selamanya Angkasa 😭😭
Puput Assyfa
gak kebayang gimn hancvrnya Lila klo hilangan Gilang dan Angkasa yg sama2 berjuang melawan sakit keras yg blm ada obatnya
cici cici
bagus thor🥳🥳🥳
Realrf: Terima kasih kak 😍😍
total 1 replies
Puput Assyfa
angkasa aq padamu 😭
Puput Assyfa
ketika dikasih harapan tp belum juga melakukannya udah dij4tuhkan kedasar jur4ng oleh harapan itu sendiri, sungguh miris nasib yg dialami angkasa
Puput Assyfa
setidaknya disisa hidup angkasa Dy tidak sendirian tp ada seseorang yg mencintainya dgn tulus
Puput Assyfa
Laras, mentang2 km udah kaya bisa seenaknya sama angkasa anakmu sendiri, ibu macam apa km ngomong seperti itu,tidak Taukah kamu angkasa sedang berjuang antara hidup dan m*ti dan tidak semua sesuatu bisa diselesaikan dgn uang.
Puput Assyfa
Lila, berkatmu angkasa semangat menjalani hidupnya dari bayang2 masalalu yg menyakitkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!