Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa -25
“Mas?!” pekik Farah.
Azzam tersenyum samar sambil mengusap pelan surai milik gadis itu. “Nikmati hari-harimu menjadi istriku, sayang.”
Farah menelan salivanya kasar. “Kamu sudah menipuku, Mas.”
Azzam tergelak. “Tidak, sayang. Kamu menyetujuinya dalam keadaan sadar.”
“Aku hanya setuju kita menikah secara agama, dan kamu mengajukan kontrak pernikahan yang akan berakhir setelah S2-ku selesai. Kenapa sekarang berubah?” pungkas Farah.
“Tidak ada yang berubah, sayang. Dari awal memang sudah seperti ini. Kamu saja yang kurang teliti.” Azzam menyeringai tajam.
“Jadi… kontrak itu? Kamu manipulatif, Mas!” sentak Farah.
Azzam mengangkat kedua alisnya seraya menipiskan bibirnya.
“Terima saja, sayang. Kamu tidak akan rugi. Malah di sini, sayalah yang paling banyak dirugikan.”
Farah mundur dari tempatnya, dadanya sesak.
“Jahat kamu, Mas!”
Setelah mengucapkan itu, Farah pergi meninggalkan Azzam sendiri. Rasanya begitu sesak, bak dihantam bertubi-tubi. Ia tidak habis pikir apa yang sudah dilakukan Azzam. Ternyata pria itu sengaja memanipulasinya, atau bahkan menjebaknya untuk terikat dalam pernikahan demi mengambil alih perusahaan Papanya.
Azzam bergeming di tempatnya. Semua yang ia rahasiakan sudah terbongkar. Menjelaskan pun akan sulit—gadis itu mungkin tak akan mengerti. Tapi apa artinya kebenaran ketika luka sudah tumbuh menjadi dinding?
Untuk kesekian kalinya, Azzam kembali menghancurkan Farah. Dan malam ini, tanpa ia sadari, ia kembali mengibarkan bendera perang yang kemarin sempat mereka lipat bersama.
***
Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kerja, ritme gelisah yang tak bisa ia redam. Azzam bersandar lelah di kursinya, kepala mendongak ke langit-langit ruangan yang sunyi. Keheningan itu seperti panggung kosong tempat gema suara Farah memantul ke segala arah.
“Lantas… sebutan yang pantas untuk seorang suami yang bermesraan dengan wanita selain istrinya di dalam apartemen?”
Kata-kata itu membekas, menyusup hingga ke sumsum kesadarannya.
Ia mencoba mengalihkan pikirannya, tapi sia-sia. Pertanyaan tak berkesudahan menghantui: Apa Farah melihatnya malam itu? Mengikutinya? Bisa saja. Farah cukup nekat jika sudah merasa dilanggar.
Azzam meraih iPad, jemarinya menyapu layar yang menampilkan draft proyek bisnis: kolaborasi dengan investor muslim lokal, membangun jaringan kuliner Timur Tengah-Indonesia di jantung kota Venezia. Proyek itu ambisius—dan harusnya menyita seluruh fokusnya. Ia sudah memetakan area yang potensial: Cannaregio dengan pasar tradisionalnya, Dorsoduro yang ramai oleh mahasiswa, bahkan area dekat San Polo yang mengundang turis setiap musim.
Tapi pikirannya tetap berkelana, kembali pada Farah. Pagi tadi mereka bertemu. Tak ada sapaan. Tak ada jeda di langkah. Hanya dua tubuh asing yang pernah dekat. Kontras dengan hari-hari kemarin yang masih bisa ia sebut hangat—walau dengan jarak.
Azzam mengusap wajahnya kasar. Semalam adalah pertengkaran mereka, dengan keadaan terpaksa ia harus mengatakan hal yang sangat ia rahasiakan selama ini seperti ingin menghapus jejak keraguan pada gadis itu. Namun semuanya kini semakin rumit . Ia bangkit, menghampiri jendela besar ruangannya. Kanal mengalir pelan di bawah sana, mengilap seperti cermin yang memantulkan wajahnya sendiri—letih, rumit, bingung.
Hubungan ini, pikirnya. Apa akan tetap begini? Sejak awal, mereka tak pernah punya label. Ia bahkan yang memulai kekacauan itu—niat awalnya hanya ingin menguji, sejauh mana Farah mampu bertahan. Tapi nyatanya gadis itu punya daya tahan lebih dari yang ia kira. Farah tak hanya tangguh. Ia ambisius. Ia tahu arah. Dan justru itu yang sekarang menghantui Azzam—karena permainan ini mulai terasa serius.
Langkah sepatu berdetak di lantai, menyentak lamunannya. Sienna muncul dari balik pintu. Wanita itu mendekat dengan langkah ringan, lalu memeluk Azzam seperti biasa.
Azzam menepisnya, tak kasar, tapi cukup membuat maksudnya jelas.
“Stop, Si. Jangan lakukan hal ini,”ujarnya, menahan lengan Sienna yang memeluknya sepihak.
“Kenapa sih?Nggak ada masalah. Kita sahabat bahkan lebih, udah kenal lama juga. Dari dulu kita emang seperti ini kan.” Sienna berkeras, menyematkan keakraban pada sesuatu yang mulai terasa canggung.
“Stop, Si!” suara Azzam naik satu oktaf. Tegas. Dingin. Sienna sontak berhenti. “Gue nggak mau ada yang salah paham dengan ini.”
“Why? Gue sahabat lo kita bahkan udah tunangan. Nggak tau malu sih kalau ada yang cemburu karena gue,” tukas Sienna dengan nada setengah tersinggung.
Azzam memilih diam, melangkah ke meja dan kembali menatap iPad. Tapi Sienna belum selesai.
“Farah cemburu? Jalang itu? Lupa kalau dia cuma istri yang tidak pernah lo inginkan,” suaranya meninggi, tajam, penuh prasangka.
Azzam tetap diam, meski kalimat berikutnya menghentikan gerak jarinya.
“Apa sekarang lo cinta sama Farah?”selidik Sienna.
Azzam mendongak. Tatapan mereka bertemu. Diam menggantung di antara mereka, penuh ketegangan.
“Lo, sekarang suka sama dia?” desak Sienna.
“Bukan urusan lo,” jawab Azzam datar.
Sienna membelalak tajam. “Jawab gue sekarang!”
Azzam menghela napas kasar, lalu mengalihkan pembicaraan.“Sekarang kembali ke meja lo. Kerjain semua pekerjaan lo. Lusa lo balik ke Indo.”
“Hah?” Sienna tampak kaget. “ Lo nyuruh gue balik ke Indo? Nggak ya. Gue nggak mau,” tolak Sienna.
Azzam menarik napas dalam.“Rizam butuh lo di sana. Kemarin dia kabarin gue. Dia kewalahan. Dia butuh lo.”
Sienna diam sejenak. Nadanya turun. “Hm… oke. Gue balik ke Indo tapi–” Sienna menjeda kalimatnya. “Lo nikahin gue.”
Azzam berdecak pelan, lalu menatap Sienna datar. “Sorry Si, gue udah punya Farah.”
Dada Sienna sesak lagi-lagi ia mendapat penolakan dari Pria itu.
Sienna mengepal kuat jari-jarinya hingga buku-bukunya memutih. Sejak kehadiran Farah di antar mereka hubunganya dengan Azzam menjadi rumit bahkan pria itu semakin menghindarinya.
Azzam menoleh pada Sienna, wanita itu masih bergeming disana. “ Kembali ke mejamu Si.”
Wanita itu menatap Azzam sekilas lalu tanpa abag-abah ia keluar dari ruangan.
Bersamaan dengan Sienna yang hendak keluar Haris pun masuk kedalam ruangan
Sienna melirik sinis pada Haris. Pria itu hanya mengangguk samar dan Sienna berlalu begitu saja.
Setelah kepergian Sienna Haris langsung menghampiri atasannya itu.
“Pak.” Panggil Haris.
“Hm,” Jawab Azzam tanpa mengalihkan pandanganya dari layar iPadnya.
“Maaf pak. Pak Dean meminta bapak ke Mestre besok pagi.”
Saat mendengar itu Azzam mendongkak. “Ada Apa?”
“Sepertinya ada masalah pak. Beberapa investor menarik saham mereka dari MoonVes pak, Hal hasil semua proyek minimarket dan resto akan terancam batal pak.
Pak Dean sudah menghubungi bapak sejak semalam.Namun bapak sulit dihubungi,” imbuh Haris.
Menarik napas dalam, itu yang di lakukan Azzam. Lalu menghempaskan punggungnya disandaran kursi kerjanya. Netranya menatap langit-langit ruangan.
Azzzam mengusap wajahnya kasar.“Astagfirullah hal adhzim,” ujarnya lirih. Belum selesai masalahnya dengan Farah kini muncul masalah baru.
“Ris tolong, persiapkan semuanya,”pintah Azzam. “ Saya akan menghubungi Dean.” Lanjutnya.
“Baik pak, apa perlu saya menemani bapak ke Mestre?”ucap Haris.
Azzam sekilas menatap asistenya itu. “Tidak perlu, Kamu tetap disini. Awasi Sienna Jangan sampai melakukan hal bodoh.”
Haris mengangguk pria itu menyembunyikan senyumnya. “ Baik pak,” ucapnya lalu pamit hendak keluar. Namun baru beberapa langkah Haris kembali.
“Pak.”
“Hm,” Azzam mendongkak, membenarkan kaca mata di pangkal hidungnya.
“Kemarin saya bertemu Bu Farah di depan apartemen Mbak sienna. Sepertinya Bu Farah mengikuti bapak.”
Azzam mengerutkan keningnya, tanpa menjawab ia menunggu Haris melanjutkan ucapannya.
“Sepertinya Bu Farah berpikir terlalu jauh tentang Bapak dan Mbak Sienna,” ucap Haris.
Azzam menghela napas pelan.”Kamu benar Ris. Hubungan kami sekarang sedang kacau.”
“Apa sebaiknya bapak, menjelaskan semuanya Pada bu Farah,” sambung Haris.
Azzam mengeleng pelan. Mungkin suatu saat nanti ia kan menjelaskan semuanya pada Farah, bukan untuk saat ini.
***
Langit Venezia siang itu berwarna pucat keemasan, membias lembut di permukaan kanal. Di dalam sebuah restoran klasik di sisi kanal, Azzam dan Sienna tengah duduk di hadapan seorang pria paruh baya—Tuan Samir. Wajahnya teduh, kulitnya kecokelatan khas Kashmir, dengan senyum tipis yang jarang lepas dari bibir.
Ia adalah pemilik tempat itu, sekaligus investor yang mereka temui hari ini.
Mereka membicarakan proyek kuliner yang hendak digarap. Azzam membuka obrolan dengan tenang dan penuh keyakinan: rencana kedai kopi kecil bergaya Indonesia. Kopi Toraja, es cendol, jajanan pasar seperti klepon dan serabi—semua yang menyimpan rasa rindu pada tanah air. Ia menjelaskan dengan detail tapi ringkas. Samir mendengarkan dengan seksama, menimpali sesekali dengan anggukan kecil dan senyum tipis.
Waktu mengalir tanpa terasa. Hingga akhirnya, meeting mulai selesai.
Seorang pelayan menghampiri membawa sepiring makanan penutup. Langkahnya biasa saja. Tapi detik itu juga, udara di sekitar meja berubah. Azzam menoleh, dan dunia seperti berhenti sebentar.
“Farah…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Mas Azzam...” gumam Farah dalam hati. Napasnya tercekat, tapi ia berusaha tampak biasa.
Farah berdiri di hadapan mereka, mengenakan seragam pelayan. Wajahnya sempat terpaku. Tapi tangannya tetap bekerja, meletakkan piring dengan cekatan—seolah tak terjadi apa-apa. Padahal dadanya sedang dilanda gempa.
“Sienna memiringkan kepala. Tatapannya tajam, senyum sinis mengintip dari ujung bibir.
“Lo serius..? Jauh dari Indo lo kerja di sini?” bisik Sienna, pelan tapi menusuk.
Farah tak menjawab. Ia hanya diam, seperti tembok batu yang sudah terlalu sering dihantam gelombang.
Tuan Samir yang menyadari ada sesuatu, angkat bicara dengan ringan.
“Apa kalian mengenalnya? Dia pekerja part-time di sini. Salah satu mahasiswa S2 Arsitektur di IUAV,” ujarnya, netral dan tenang, seperti tak sadar ada arus bawah yang sedang memanas.
Azzam mengepal tangannya di bawah meja. Rahangnya mengeras. Pikiran berkecamuk. Jadi Farah kerja? Bukankah katanya kuliah penuh waktu? Kenapa Zira tak pernah cerita?
Tatapan Azzam mengikuti Farah, tajam, penuh pertanyaan yang tak sempat keluar dari mulut. Farah hanya menunduk, lalu mundur perlahan. Pergi sebelum ditanyai.
Farah melangkah cepat masuk ke dapur. Di balik ruang sempit itu, ia bersandar di dinding, menangkup dadanya. Jantungnya masih berdetak kencang.
“Kok bisa sih… Mas Azzam di sini…” bisiknya pelan. Seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi.
Ia duduk sebentar, mencoba meredakan guncang yang merayap perlahan. Lalu, kepada temannya sesama part-timer, ia minta digantikan—satu jam saja. Alasannya, pusing. Dan memang benar. Dadanya masih sesak.
Restoran cukup sepi sore itu. Hening yang memberinya sedikit ruang untuk mengatur napas.
Saat merasa tenang, Farah mengintip dari balik tembok dapur.
Meja itu sudah kosong. Azzam tak ada. Bahkan Samir pun sudah pergi.
Ia menarik napas lega.
Farah kembali bekerja. Wajahnya netral, langkahnya mantap. Tapi hatinya masih sibuk berdebat. Ia hanya bersyukur pria itu tak mendekat. Tak bertanya. Tak membuatnya harus menjelaskan. Karena saat ini, ia tidak punya cukup ruang untuk menjelaskan. Tidak kepada siapa pun. Bahkan kepada dirinya sendiri.
***
Tepat pukul sembilan malam, Farah tiba di apartemen. Restoran tempatnya kerja part-time malam ini padat luar biasa. Tidak seperti waktu Azzam datang, yang lebih tenang dan lengang.
Pintu apartemen terbuka. Udara lembap menyergap wajahnya. Sejak saat itu, tatapan Azzam sudah menyambar dari dalam ruangan. Bukan sekadar melihat—tapi menguliti. Seperti menunggu waktu untuk menerkam.
Farah tak menggubris. Ia hanya ingin menuju kamar dan merebahkan tubuhnya. Tapi suara itu menghentikannya.
"Farah...!"
Farah berhenti, menoleh setengah. "Hm?"
"Duduk. Saya perlu bicara."
Azzam duduk di sofa. Matanya tajam, bahunya tegang.
Farah mengangkat alis. "Ngomong aja. Dari sini juga Aku denger kok," ujarnya malas.
Azzam menatapnya sejenak, lalu berdiri. Tanpa peringatan, ia menarik tangan Farah, menyeretnya masuk ke kamar.
"Layani saya malam ini," katanya, datar, tapi menusuk.
Farah menghentak tangannya. "Apaan sih Mas?!"
Azzam melangkah maju. Farah mundur, instingnya siaga. Suasana kamar terasa mengecil, udara makin padat.
"Mundur nggak? Mundur... atau aku teriak!" pekiknya.
Tapi Azzam tak peduli. Ia mendekat, menekan, sampai Farah benar-benar terjepit di sudut tembok.
"Daripada kamu kerja part time di restoran, lebih baik kerja layani saya. Setiap malam. Saya bisa bayar lebih dari gaji part time kamu."
"Nggak. Jangan mimpi kamu Mas." Suaranya bergetar, tapi matanya keras.
Azzam mendekat lebih jauh. Napasnya terasa di kulit Farah. Gadis itu menggeleng kuat-kuat, tapi tubuhnya tak bisa lari.
"Tolong, Mas... jangan," bisik Gadis itu. Matanya terpejam, tubuhnya mengigil.
"Saya suami kamu. Saya punya hak atas diri kamu."
.
.
.
TBC