Pernikahan Tanpa Hati

Lolly berdiri di ambang pintu rumah besar itu, rumah masa kecilnya yang kini terasa begitu asing. Aroma dupa tipis masih sama seperti dulu, tapi suasananya dingin dan menusuk. Ia menarik napas dalam sebelum melangkah masuk.

Di ruang tamu, seluruh keluarganya sudah berkumpul — kedua orang tuanya, Nacy dan Eric, serta Dicky, kakak laki-lakinya yang kini duduk dengan senyum sinis di wajah.

Begitu Lolly muncul, suara dingin Nacy langsung menyambutnya.

“Masih ingat rumah sendiri? Setelah menikah dengan orang kaya, kau lupa keluarga, ya? Apakah ini anak yang dulu aku lahirkan dari rahimku sendiri?”

Nada tajam itu membuat udara seketika menegang.

Eric, sang ayah, menimpali dengan nada sinis.

“Anak perempuan memang cepat lupa jasa orang tua. Untung saja kita cuma punya satu, kalau dua, mungkin satunya sudah menginjak kepala.”

Lolly menatap mereka dengan pandangan datar. Sebelum sempat membuka mulut, Dicky ikut bicara dengan nada menyulut emosi.

“Pa, Ma, jangan salahkan dia. Lolly memang begitu. Meskipun dia seorang dokter, dia tega merebut Chris, kekasih Nana sendiri! Karena dia, karier Nana hancur. Dunia artisnya berakhir karena ulah Lolly!”

Lolly mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak terpancing.

“Apakah salahku?” tanyanya dengan suara dingin. “Aku menikah dengan Chris karena paksaan kalian, bukan pilihanku. Jadi kenapa menyalahkanku sekarang? Siapa yang sebenarnya butuh uang? Siapa yang menjual anaknya sendiri demi keuntungan?”

BRAK!

Eric menghentakkan tangan ke meja hingga vas bunga di atasnya bergoyang.

“Berani sekali kau bicara begitu! Kalau bukan karena kami menikahkanmu dengan Chris, apakah kau bisa hidup mewah sampai sekarang? Tiga tahun kau menikmati kehidupan itu, itu semua berkat kami!”

Lolly mendongak, menatap ayahnya tanpa gentar.

“Menikmati hidup mewah? Apa kalian pikir aku bahagia? Aku menikah dengan pria yang bahkan tidak menganggapku ada, yang hanya fokus pada bisnisnya. Hidup bersama mertua dan kakak ipar yang pura-pura baik di depan suami, tapi menghina di belakangku. Tiga tahun aku seperti burung di dalam sangkar. Dilantarkan oleh suami dan keluargaku sendiri."

Suara Lolly bergetar, tapi tatapannya tegas.

“Kalian pikir kalian menyelamatkanku? Tidak. Kalian menjualku. Dan aku datang ke sini bukan untuk membahas pernikahanku… tapi tentang kematian kakak.”

Ruangan langsung hening. Nacy memucat, lalu membentak untuk menutupi kegugupan.

“Diam! Jangan berani mengungkit itu lagi! Kalau bukan karena kau mendorong papamu waktu itu, kecelakaan tidak akan terjadi!”

Lolly tertawa kecil, lalu menatap ibunya tajam.

“Usia enam tahun… apakah anak sekecil itu cukup kuat mendorong orang dewasa hingga mobil menabrak? Kalian pikir aku tidak tahu? Rem mobil itu sudah diputus sebelum kita berangkat.”

Ia melangkah lebih dekat, suaranya semakin tenang tapi menusuk.

“Pa, kau bukan orang bodoh. Mana mungkin kau tidak tahu kalau rem mobil itu sengaja dirusak? Dan kenapa tiba-tiba mobil itu kau kirim ke tempat rongsokan untuk dihancurkan?”

Pertanyaan itu jatuh seperti bom.

Semua yang ada di ruangan itu membeku, Nacy menatap Eric dengan wajah pucat, Dicky menunduk sesaat sebelum menatap Lolly dengan pandangan tajam penuh kebencian.

“Lolly, kalau salah tetap salah!” bentaknya dengan suara lantang. “Jangan berani mencari alasan untuk membela diri. Walaupun kau masih kecil waktu itu, tapi niatmu sudah jahat. Kau tega membuat keluarga kita celaka! Kita semua ada di dalam mobil waktu itu, aku, Papa, Mama, dan Kakak. Kau pikir kami lupa?”

Lolly menatapnya dengan pandangan menusuk, suaranya tenang namun penuh luka.

“Aku mendorong kursi sopir karena kau lebih dulu memukul punggungku. Tapi itu tidak akan menyebabkan kecelakaan kalau rem mobil tidak sengaja diputus sebelumnya. Dan aku tahu siapa pelakunya ... kau.”

“Apa yang kau katakan?!” bentak Dicky, wajahnya berubah merah padam. “Aku memutuskan rem? Kau gila! Justru kau yang mendorong papa! Kau pembawa sial!”

Tangan Dicky terangkat tinggi dan nyaris mengenai wajah Lolly, tapi Lolly lebih cepat. Ia menahan pergelangan tangan kakaknya dengan kuat, matanya menatap lurus tanpa gentar.

“Kau tidak ingin mengaku karena takut semua kebenaran terbongkar. Kau lebih memilih menyalahkanku, anak enam tahun, hanya agar kau terlihat bersih di mata Papa dan Mama,” ujar Lolly dengan suara dingin dan tegas.

Lolly mendorong tangan Dicky menjauh, membuat lelaki itu mundur satu langkah.

“Kau tidak tahu malu!” hardik Eric, sang ayah, ikut berdiri. “Kalau aku tahu kau akan menentang keluarga sendiri seperti ini, untuk apa dulu aku menyekolahkanmu tinggi-tinggi hingga jadi dokter?! Semua hasil jerih payah kami kau balas dengan cara seperti ini!”

Lolly berbalik, menatap ayahnya yang wajahnya memerah menahan emosi.

“Tuan Zhang,” ujarnya dengan suara bergetar tapi penuh wibawa, “jangan membalikkan fakta. Setelah kakak meninggal, kalian tidak pernah menganggapku anak lagi. Kalian hanya menatapku seolah aku pembunuh.”

Ia menarik napas dalam, menahan air mata yang hampir jatuh.

“Kalian mengira kalian yang membiayaiku? Salah besar. Aku bekerja siang malam untuk mengejar impianku, aku menabung dari hasil keringatku sendiri. Tidak satu sen pun dari kalian yang kugunakan. Semua yang kumiliki hari ini adalah hasil jerih payahku sendiri, tanpa bantuan siapa pun.”

“Mengenai bukti kesalahan yang dilakukan Dicky sudah terkumpul, kasus ini diserahkan kepada polisi,” ujar Lolly tegas, menatap satu per satu anggota keluarganya di ruang tamu yang kini hening.

Wajah Nacy memerah. Ia menatap adiknya dengan amarah membara. “Apa kau gila? Kau merekayasa bukti dan menuduh kakakmu sendiri? Apa masih belum puas membunuh kakak pertamamu dulu, dan sekarang kau juga ingin mencelakai Dicky?” bentaknya dengan suara bergetar karena emosi.

Eric menatap Lolly dengan mata merah dan tubuh gemetar. “Lolly, cukup! Jangan membuat keluarga ini makin hancur. Kami sudah kehilangan satu anak, dan sekarang kau ingin membuat kami kehilangan Dicky juga?”

Lolly menatap kedua orang tuanya tajam, bibirnya bergetar menahan amarah dan luka lama. “Pa, Ma, sepertinya kalian sudah tahu siapa pelakunya. Hanya saja kalian sengaja menyembunyikannya. Dan kalian lebih memilih menyalahkan aku, agar aku dihantui mimpi buruk dan rasa bersalah seumur hidup!”

"Polisi telah dalam perjalanan, tunggu saja hukum yang mengadilimu," ujar Lolly menatap tajam ke arah Dicky