NovelToon NovelToon
KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

Status: tamat
Genre:Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..

yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Bab 25

Tiga minggu berlalu sejak Ziyad pergi.

Desa Tembung berjalan seperti biasa — ayam berkokok, anak-anak berlari di jalan becek, dan suara gamelan kecil dari surau belakang terdengar setiap sore. Tapi bagi Yasmin, waktu seolah berhenti di pagi ketika punggung Ziyad menghilang di tikungan.

Ia masih bekerja di klinik. Membersihkan, menata, mengobati luka-luka kecil warga. Tapi setiap kali ia membuka pintu ruang obat, matanya selalu mencari sesuatu — seolah berharap sosok itu berdiri di sana lagi, dengan senyum letih dan nada bicara yang hangat.

Pagi itu, langit mendung seperti biasa. Yasmin baru saja selesai mensterilkan alat suntik ketika suara sepeda tua berhenti di depan klinik. Tukang pos turun sambil menyapa.

“Pagi, Mbak Yasmin. Ada surat buat Mbak,” ujar tukang pos ramah dengan senyum kecil.

Yasmin menatap heran. “Surat? Dari siapa, Pak?” tanyanya dengan nada ragu.

Tukang pos mengangkat bahu. “Dari kota. Nama pengirimnya… Ziyad,” jawabnya pelan dengan nada santai.

Nama itu membuat jantung Yasmin berhenti sejenak. Ia menatap amplop cokelat itu lama sebelum akhirnya menerimanya dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak,” ucapnya pelan dengan nada bergetar.

Setelah tukang pos pergi, Yasmin duduk di bangku kayu di depan klinik. Angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang. Ia membuka amplop itu perlahan, takut sekaligus rindu. Kertas di dalamnya sudah agak kusut, dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya — tegas tapi sedikit miring ke kiri.

Ia mulai membaca.

Untuk Yasmin,

Aku menulis ini di kamar kecil di pinggir kota. Di luar, suara kendaraan tak pernah berhenti, tapi entah kenapa semuanya terasa sepi. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan suara jangkrik dari desa, atau karena aku terlalu sering mengingat suaramu.

Yasmin, maaf baru menulis sekarang. Aku sempat sakit selama beberapa hari, bukan karena luka lama, tapi karena kelelahan. Aku tidak ingin kau khawatir, jadi aku menunggu sampai aku bisa menulis dengan tangan sendiri.

Aku sudah bertemu keluarga mendiang tunanganku. Awalnya aku pikir mereka akan membenciku, tapi ternyata yang mereka tunjukkan bukan kebencian, melainkan penyesalan. Mereka bilang, “Kalau saja Ziyad lebih cepat memaafkan dirinya sendiri, mungkin anak kami masih bisa hidup.”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menangis. Dan di saat itulah aku sadar, aku tak pernah benar-benar sembuh dari masa lalu itu. Tapi ketika aku teringat wajahmu, Yasmin, entah kenapa ada sedikit cahaya di dalam kepalaku. Seperti kau sedang menepuk pundakku dan berkata, “Sudahlah, kau sudah cukup menebusnya.”

Sekarang aku tahu, aku ingin pulang. Tapi sebelum itu, aku harus menyelesaikan satu hal terakhir: menyerahkan surat pengunduran diri dari rumah sakit tempatku dulu bekerja. Setelah itu, aku akan kembali ke desa.

Aku tidak tahu apakah kau masih menungguku, tapi aku ingin kau tahu — kau satu-satunya alasan aku ingin pulang.

Ziyad

Surat itu berakhir tanpa tanda tangan, hanya diakhiri dengan satu goresan kecil seperti luka yang berubah jadi garis tinta. Yasmin menatapnya lama.

Ia ingin senang. Tapi sesuatu dalam kata-kata itu terasa berat, seolah Ziyad menulisnya di tengah rasa sakit yang belum selesai. Ia menutup surat itu perlahan, menempelkannya di dada.

“Dia akan pulang,” bisiknya pelan dengan nada harap.

Namun entah kenapa, hatinya terasa dingin. Seperti ada bayangan yang belum selesai dari surat itu.

Sore harinya, Yasmin membawa surat itu ke rumah Nek Wan. Perempuan tua itu duduk di kursi goyang sambil menenun, tapi begitu Yasmin menyebut nama Ziyad, tangannya berhenti bergerak.

“Surat dari Ziyad?” tanya Nek Wan dengan nada terkejut.

“Iya, Nek. Katanya dia mau pulang setelah urus surat pengunduran diri,” jawab Yasmin lembut dengan nada penuh rindu.

Nek Wan terdiam, matanya menatap jauh ke arah halaman. “Semoga bukan pertanda lain, nak,” ucapnya lirih dengan nada cemas.

“Pertanda?” tanya Yasmin cepat dengan nada takut.

Nek Wan menarik napas panjang. “Kalau seseorang menulis dengan hati yang gelap, kadang tulisannya terasa seperti perpisahan yang disamarkan,” ujarnya pelan dengan nada sendu.

Yasmin menatap surat itu lagi, kini dengan perasaan tak tenang. Tapi ia menepis pikiran buruk itu, menatap Nek Wan sambil tersenyum paksa. “Ziyad bukan orang seperti itu, Nek. Dia pasti pulang,” ucapnya yakin dengan nada menegaskan.

Nek Wan mengangguk pelan, tapi tidak menjawab. Hanya suara kain tenunan yang kembali bergerak perlahan, seperti mengisi ruang yang hening dengan doa.

***

Dua minggu kemudian, surat kedua datang.

Tapi kali ini bukan dari Ziyad.

Tulisan di amplop itu lebih rapi, dengan kop rumah sakit di pojok kanan. Yasmin membuka amplop itu di ruang klinik sambil gemetar.

Isi surat itu singkat — terlalu singkat untuk sebuah berita besar.

Kepada Ibu Yasmin,

Kami mengabarkan dengan duka cita bahwa dr. Ziyad Rahman ditemukan meninggal dunia di ruang jaga rumah sakit pada tanggal 3 Oktober pukul 23.45.

Berdasarkan pemeriksaan, penyebab kematian adalah gagal jantung mendadak akibat komplikasi stres berat dan kelelahan.

Sebelum meninggal, beliau menitipkan satu amplop tertutup bertuliskan nama Anda.

Dengan hormat, kami kirimkan bersama surat ini.

— Direktur RS Medika Utama

Tangan Yasmin bergetar hebat. Surat itu jatuh ke lantai, dan tubuhnya ikut merosot pelan ke bawah kursi. Dunia seolah berhenti bergerak.

Ia menatap amplop kecil yang ikut terjatuh — amplop terakhir dari Ziyad.

Air matanya jatuh satu per satu, menodai kertas itu. Tapi akhirnya, dengan tangan gemetar, ia membukanya.

Tulisan di dalamnya jauh lebih pendek dari surat pertama, tapi setiap katanya seperti memotong hati.

Untuk Yasmin,

Kalau kau membaca ini, berarti aku sudah lebih dulu pergi.

Aku minta maaf karena lagi-lagi tak bisa menepati janji. Tapi kali ini aku tidak lari. Aku hanya kembali ke tempat di mana aku bisa benar-benar tenang.

Aku tak ingin kau menunggu seseorang yang tak tahu kapan akan pulang. Aku ingin kau hidup, Yasmin. Bukan dalam bayangan seorang yang gagal seperti aku.

Tapi kalau suatu hari kau menatap hujan dan merasakan kehangatan aneh di dadamu, itu aku — bukan sebagai kenangan, tapi sebagai doa.

Ziyad

Tangis Yasmin pecah tanpa bisa ditahan. Ia memeluk surat itu erat, seolah memeluk tubuh yang tak lagi bisa disentuh. Hujan turun deras di luar, membasahi jendela klinik. Suaranya seperti gemuruh doa yang dipaksa keluar dari langit.

Nek Wan datang berlari dari rumah, terkejut melihat Yasmin berlutut di lantai sambil menggenggam surat itu.

“Ya Allah, Min… apa yang terjadi?” tanya Nek Wan panik dengan nada cemas.

Yasmin mengangkat wajahnya, basah oleh air mata. “Dia… dia nggak pulang, Nek,” ucapnya lirih dengan nada patah.

Nek Wan menutup mulutnya, menahan tangis. Ia mendekap Yasmin erat. “Sudahlah, nak. Mungkin Tuhan sayang padanya,” ujarnya lembut dengan nada menenangkan.

“Tapi kenapa harus sekarang, Nek… kenapa saat aku baru belajar mencintainya?” jawab Yasmin parau dengan nada putus asa.

Nek Wan membelai rambut cucunya pelan. “Karena cinta yang tulus memang selalu diuji dengan kehilangan,” ucapnya lirih dengan nada bergetar.

Hujan di luar tak berhenti. Yasmin memandangi surat itu lagi, lalu menatap langit lewat jendela yang berembun. Di antara rinai air, ia seolah melihat sosok Ziyad berdiri di sana — tersenyum, tenang, tanpa luka.

Ia menempelkan surat itu ke dada.

“Kalau hujan turun lagi, aku akan menganggap itu pelukanmu,” bisiknya pelan dengan nada pasrah.

Di langit, kilat menyambar sekali, lalu reda.

Hujan pelan-pelan berhenti.

Tapi di hati Yasmin, kenangan itu tak pernah reda.

Bersambung..

1
Nadhira💦
endingnya bikin mewek thorrr...
Babah Elfathar: Biar ga sesuai sangkaan, hehehe
total 1 replies
Amiura Yuu
suka dg bahasa nya yg gak saya temukan dinovel lain nya
Babah Elfathar: mkasi jangan lupa vote, like dan subscribe ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!