Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 – Garam, Ikan Bakar, dan Aurora dari Langit Retak
Api unggun menari lembut di tepi danau yang tenang.
Percikan kecilnya memantul di permukaan air, membentuk cahaya jingga yang berkilauan di bawah langit malam.
Li Yun duduk bersila di hadapan api itu, memegang ranting panjang yang ujungnya menancap tiga ekor ikan yang sudah dibersihkan. Asap wangi membubung, menggoda hidung siapa pun yang mencium aromanya.
“Hmm… makan setelah bertarung memang paling nikmat,” gumamnya sambil tersenyum puas.
Tangannya sigap membuka botol kecil dari kulit binatang dan menaburkan sedikit serbuk putih ke atas ikan yang mulai matang. “Jangan lupa tambah micin.”
Ia mengangguk kecil, seperti seorang juru masak profesional yang baru menyelesaikan langkah rahasianya.
“Bayangkan saja…” katanya pada diri sendiri, “di dunia ini garam itu langka, padahal bahan dasarnya di mana-mana. Para kultivator ini mungkin bisa membelah gunung, tapi bikin garam dan bumbu dapur aja gak kepikiran.”
Li Yun menatap botol garam itu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa seperti di rumah.
Ingatannya melayang ke masa awal ia tiba di dunia ini. Makanan yang ia cicipi pertama kali… sungguh bencana.
“Ugh…” ia mengerutkan kening, teringat rasa itu.
“Mie tanpa rasa. Sup cuma air hangat. Daging? Daging tanpa bumbu. Aku bahkan sempat berpikir lidahku rusak.”
Ia menggeleng dengan ekspresi putus asa. “Mereka bilang, para kultivator sudah melampaui kebutuhan rasa. Tapi apakah mereka gak mikir orang biasa? Apa orang-orang di bawah juga makan kayak begitu setiap hari?”
Li Yun menatap ikan bakarnya yang mulai berwarna keemasan, lalu menghela napas panjang.
“Makanan hambar di dunia ini tidak cocok untuk lidahku yang sudah terbiasa micin dan rasa. Untung saja aku tahu cara membuat garam.”
Ia menoleh ke arah danau yang tenang, airnya berkilau memantulkan cahaya api unggun.
“Lucu juga, kan? Aku cuma iseng ambil air danau ini dan kukeringkan. Eh, ternyata ada garamnya.”
Ia terkekeh kecil. “Jadi ternyata danau ini lebih asin dari yang kelihatan.”
Suara cesssshh lembut terdengar saat tetesan minyak ikan jatuh ke api. Li Yun tersenyum puas, menyiapkan daun lebar sebagai alas.
Namun tiba-tiba — langit di atasnya berubah.
Cahaya biru keperakan muncul, menembus awan malam. Seolah bintang-bintang runtuh, membentuk gelombang warna seperti aurora. Seluruh danau memantulkan cahaya itu, menari dalam warna hijau, ungu, dan biru yang menakjubkan.
Li Yun tertegun, mulutnya sedikit terbuka.
“Woah… jadi di dunia ini juga ada aurora borealis?”
Ia menatap langit dengan mata berbinar. “Indah sekali… meski agak… berbeda, ya? Tapi tetap indah.”
Ia meneguk air dari botol bambu kecilnya, menikmati momen itu seperti turis menikmati festival.
Namun momen tenang itu berakhir cepat.
Mu Qinglan perlahan membuka matanya dan sadar seketika ia bangun, lalu—
“CEPAT LARI!!!”
Li Yun terkejut setengah mati. Ia tersedak ludah sendiri dan hampir menjatuhkan ikan bakarnya.
“Uhuk! Uhuk! Dasar wanita!” serunya sambil menepuk dada. “Kau mau bunuh aku dengan teriakanmu?”
Mu Qinglan — wanita muda yang baru sadar dari pingsan — berlari ke arahnya, matanya liar penuh panik. Rambut hitamnya masih berantakan, perbannya terbalut di beberapa bagian tubuhnya. Ia langsung menarik tangan Li Yun keras-keras.
“Kenapa kau masih di sini!? Aku sudah menyuruhmu pergi! Apa kau ingin mati ditangan orang jahat!?” teriaknya.
Li Yun yang masih separuh duduk hanya sempat menatap tragis pada ikan bakarnya yang kini jatuh berguling di tanah.
“Ikanku…” suaranya lirih seperti doa. “Ikan bakarku… kau… terbuang sia-sia…”
Ia menatap Mu Qinglan dengan wajah yang berubah muram.
“Kau tahu tidak, ini… MUBAZIR!”
Mu Qinglan terdiam, terkejut melihat ekspresi serius di wajahnya.
“Ka—kau marah… karena ikan?”
“Karena MAKAN MALAMKU!” bentak Li Yun.
“Aku susah payah menangkap ikan itu, membersihkan, membumbui—eh, dan sekarang semuanya hilang gara-gara kau panik seperti orang dikejar hutang!”
Mu Qinglan menatapnya, tak tahu harus menjawab apa.
“Tapi… ada bahaya! Ada orang—”
“Orang mana hah!," potong Li Yun cepat.
Ia menunjuk ke arah lima sosok pria yang tergeletak tak jauh dari sana. Beberapa dengan wajah tertanam di tanah, sebagian dengan posisi tidak wajar. Nafas tak ada.
Mu Qinglan membeku.
Dia mengenali wajah-wajah itu. Nie Feng, Golden Core lapisan kelima, dan empat bawahannya di lapisan ketiga.
Itu… tidak mungkin.
Dia menatap tubuh mereka, lalu menatap Li Yun. “Mereka… mereka semua…?”
Li Yun mengangkat bahu. “Aku gak tahu mereka masih hidup atau tidak. Padahal aku cuma memukul ringan mereka. Sekali pukul, lalu… ya, mereka pingsan sampai sekarang.”
Mu Qinglan nyaris kehilangan kata. “Kau—mengalahkan mereka semua… hanya dalam satu pukulan?”
Li Yun menegakkan tubuh, menepuk dadanya dengan bangga. “Tentu saja. Meskipun aku terlihat seperti orang biasa, aku cukup kuat, tahu? Karena olahraga.”
“Olahraga…?” Suaranya nyaris tak terdengar.
Li Yun menatapnya heran. “Apa? Kalian para kultivator gak pernah olahraga ya? Pantas saja lemah. Lihat? Otot butuh latihan, bukan meditasi terus.”
Mu Qinglan terdiam membeku. Di dahinya menetes keringat dingin.
Lemah?
Dia bilang Nie Feng lemah? Nie Feng, yang bisa menghancurkan seratus pasukan hanya dengan satu ayunan pedang?
Tubuhnya bergetar kecil. Orang ini… apa sebenarnya dia sadar siapa dirinya?
Namun sesuatu menarik perhatiannya — pancing bambu lusuh yang tergeletak di tepi danau. Ujungnya retak, tali benangnya putus, tapi… ada sesuatu yang aneh.
Aura samar terpancar darinya. Sebuah jejak Dao… murni, agung, tapi menguap begitu cepat seolah menolak terdeteksi.
Tatapan Mu Qinglan mengeras. Hatinya berdetak tak karuan.
Jejak Dao… tapi hanya sesaat. Itu bukan benda biasa. Mustahil orang biasa bisa menyentuhnya tanpa hancur.
Mungkinkah… orang ini…?
Ia menatap Li Yun yang sedang meniup ikan bakar baru di tangannya, santai seolah dunia tak berputar di sekelilingnya.
Tangan Mu Qinglan bergetar. Ia tiba-tiba berlutut di hadapan Li Yun.
“Junior ini, Mu Qinglan, memberi hormat kepada senior!”
Li Yun membeku di tempat. “Eh… apa?”
Ia menatap sekeliling, memastikan tidak ada orang lain. “Nona Mu… kau bicara dengan siapa?”
“Dengan Anda, tentu saja!” Mu Qinglan menunduk dalam-dalam. “Mohon maafkan kelancangan dan kebodohan junior yang telah menyinggung kenyamanan senior!”
Li Yun langsung gelagapan. “Hei, hei, hei! Apa yang kau lakukan!? Bangkit! Cepat bangkit! Aku bukan siapa-siapa!”
Namun Mu Qinglan tetap menunduk, wajahnya merah padam tapi juga serius. “Saya tidak pantas berdiri di hadapan seorang senior yang bisa menumbangkan Nie Feng hanya dengan satu gerakan.”
Li Yun menggaruk kepalanya yang gatal entah karena bingung atau stres. “Serius deh, aku bahkan gak tahu siapa itu Nie Feng.”
“Tapi…”
“Dan aku cuma orang biasa yang suka makan dan jualan buku,” tambahnya cepat.
Ia menatap ikan bakar di tangannya dan menggigitnya dengan puas. “Hmm… lihat, orang hebat tidak mungkin segan makan ikan gosong begini.”
Mu Qinglan masih menunduk. Tapi kali ini… ada sesuatu di matanya.
Rasa hormat.
Ketakutan.
Dan sedikit kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan.