Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: KOREKSI PADA GEOMETRI
Kegelapan di ruang bawah tanah itu terasa padat dan berat.
Satu-satunya cahaya kini berasal dari atas: siluet gelap seorang pria yang membingkai lubang pintu jebakan, diterangi oleh lampu-lampu kafe yang temaram di belakangnya.
"Kami tahu kamu di sini, Anomali," kata suara datar itu. Suara itu *terlalu* jernih, *terlalu* normal untuk ruangan yang mati ini. "Ordo tidak suka jika desainnya diganggu."
Pria berpayung itu melangkah ke anak tangga batu pertama.
*Tap.*
Suara sol sepatunya di batu terdengar tumpul dan salah.
Rania masih membelakangi tangga, menghadap dinding obsidian yang dingin. Bisikan "Sang Geometer" di kepalanya tidak lagi terasa seperti ancaman. Bisikan itu terasa seperti... *manual instruksi*.
*...garis bertemu titik... struktur menuntut keseimbangan...*
Dia *mengerti*. Ruangan ini bukan kuburan. Ini adalah filter. Sebuah sambungan (junction) yang dirancang untuk menstabilkan Gema yang liar sebelum mereka bocor ke atas. Sebuah desain yang brilian, tapi *rusak*.
*Tap.*
Pria itu ada di anak tangga ketiga. Dia bergerak dengan ketenangan seorang profesional yang sedang menuju ke kantor. Payung hitamnya yang terbuka dipegang di depan, seperti perisai anti huru-hara.
"Menjauhlah dari segel itu," kata pria itu. "Kamu tidak tahu apa yang kamu sentuh."
Di bawah tangga, di sudut, Reza mengeluarkan suara isakan tertahan. Suara itu, di dalam keheningan yang absolut, terdengar seperti letusan.
Pria itu berhenti. Kepalanya miring sepersekian derajat.
"Dan kamu membawa... hewan peliharaan," desisnya. "Kotor."
Dia mengangkat payungnya, mengarahkannya ke sudut gelap tempat Reza bersembunyi.
"TIDAK!"
Rania berbalik.
Dia tidak berteriak. Suara itu keluar sebagai perintah yang dingin dan berlapis, seolah-olah dua suara—suaranya sendiri dan gema matematis dari dinding—berbicara pada saat yang bersamaan.
Pria itu membeku di anak tangga terakhir, terkejut oleh nada suaranya.
Di sisa cahaya dari atas, Rania akhirnya melihatnya. Wajahnya biasa saja, terlupakan, seperti yang dia lihat di UGD. Tapi matanya... matanya *abu-abu* pekat. Tidak ada pupil, tidak ada iris. Hanya bidang abu-abu yang datar dan terlatih.
Dia menatap Rania, dan untuk sesaat, ketenangannya goyah. Dia melihat sesuatu di belakang Rania.
"Kamu..." bisiknya, kaget. "Kamu sedang *membacanya*?"
"Kamu salah," kata Rania. Dia merasakan *blueprint* ruangan itu mekar di benaknya—sebuah visualisasi tiga dimensi yang sempurna, lengkap dengan sudut 87 derajat yang salah. "Kamu pikir ini penjara. Ini adalah sambungan. Sebuah katup. Dan kamu... kamu membuat kebisingan di perpustakaan."
Pria itu mengangkat payungnya lagi, kali ini mengarahkannya lurus ke dada Rania. "Ordo tidak butuh ceramah dari anomali yang baru lahir. Kata-kata terakhir."
Dia melangkah dari anak tangga terakhir, mendarat di lantai batu.
Dia mulai berjalan ke arah Rania.
"Ra! Lari!" pekik Reza dari persembunyiannya.
Tapi Rania tidak lari. Dia hanya menatap pria itu, lalu ke sudut ruangan di belakangnya—sudut yang *salah*.
Pria itu berjarak tiga meter darinya.
Dia mengangkat payungnya, siap untuk menusuk—bukan Rania, tapi sigil di dinding di belakangnya. Dia di sini bukan untuk membunuh Rania. Dia di sini untuk "membersihkan" Titik Buta yang rusak ini.
Rania adalah gangguan.
"Struktur..." bisik Rania, matanya kini bersinar dengan cahaya oranye yang hanya bisa dilihat oleh mata abu-abu pria itu.
"Struktur menuntut keseimbangan," katanya.
Pria itu berjarak satu meter.
"LURUSKAN!"
Rania menjerit.
Itu bukan jeritan ketakutan. Itu adalah jeritan *perintah*. Jeritan seorang arsitek yang melihat kesalahan fatal dalam fondasi dan memaksanya untuk memperbaiki diri.
Seluruh ruangan merespons.
*GGGGGRRRRRRRRNNNNNN....*
Itu adalah suara batu yang bergesekan dengan batu. Dinding obsidian di sebelah mereka *bergetar* hebat. Sudut 87 derajat yang salah itu... bergerak.
Lantai batu di bawah kaki Pria Berpayung itu tiba-tiba *miring* ke kiri, seolah-olah seluruh fondasi kafe bergeser pada porosnya.
"Apa?!" teriak Pria itu, keseimbangannya hilang. Dia tersandung, terkejut. Dia belum pernah melihat anomali *melakukan* ini.
Dia menusukkan ujung payung besinya ke lantai batu untuk menopang dirinya.
*SSSSSSSSHHHHHHHHH...!!!*
Itu adalah desisan yang sama seperti di rumah sakit. Asap perak mengepul saat ujung payung itu mencoba "memurnikan" batu Gema yang kini aktif dan marah.
Tapi batu itu melawan. Lantainya miring lebih tajam.
"Reza! NAIK! SEKARANG!" teriak Rania, suaranya kembali normal, pecah karena panik.
Dia tidak menunggu. Dia berlari ke tangga, meraih lengan kemeja Reza, dan menarik temannya yang setengah lumpuh itu dari persembunyiannya.
"Dia... lantainya miring!" gagap Reza.
"NAIK!"
Mereka berdua merangkak naik ke tangga batu yang kini terasa miring ke arah yang salah.
Di belakang mereka, Pria Berpayung itu menggeram. Dia tahu dia telah kehilangan momen. Ruangan itu kini bergetar hebat, debu-debu "mati" yang telah mengendap selama puluhan tahun akhirnya berjatuhan dari langit-langit.
"Kamu tidak bisa lari dari ORDO!" teriaknya. Dia meninggalkan payungnya yang kini terjepit di antara dua lempengan lantai yang bergeser. Dia melompat ke anak tangga pertama, meraih pergelangan kaki Reza.
Reza berteriak.
Rania berbalik dan, dengan sisa adrenalinnya, menendang wajah pria itu dengan sepatu ketsnya yang kebesaran.
*KRAK.*
Ada suara yang memuaskan. Pria itu mengumpat kesakitan, cengkeramannya terlepas. Dia jatuh terguling kembali ke lantai obsidian yang miring.
Rania dan Reza tidak melihat ke belakang lagi. Mereka meledak keluar dari pintu jebakan, kembali ke pantry yang temaram dan berbau kopi.
"TUTUP! TUTUP PINTUNYA!" teriak Reza.
Mereka berdua meraih pintu kayu jati yang berat dan membantingnya hingga tertutup.
*BOOM!*
Suara benturan keras dari bawah. Pria itu sudah di tangga lagi, menabrakkan bahunya ke pintu. Kayu kuno itu mengerang.
"Dia akan mendobraknya!" pekik Reza.
"Karungnya!" teriak Rania, menunjuk tumpukan karung goni berisi biji kopi.
Mereka tidak berpikir. Mereka hanya bertindak. Mereka menarik dan mendorong dua karung 50 kilogram itu ke atas pintu jebakan.
*BOOM! BOOM!*
Pintu itu bergetar hebat. Retakan muncul di dekat engsel yang baru saja dirusak.
*BOOM!*
Lalu... hening.
Keheningan yang sama. Mati. Absolut.
Pria itu telah berhenti.
"Dia... dia menyerah?" tanya Reza, terengah-engah, bersandar di dinding.
"Tidak," kata Rania, napasnya juga memburu. Adrenalin mulai memudar, digantikan oleh getaran yang hebat. "Dia... sedang mendengarkan. Atau... memanggil."
Rania menatap pintu depan kafe. Kerai bambunya masih tertutup. Aman. Untuk saat ini.
"Kita terjebak," kata Rania. "Dia di bawah. Dan..."
Reza mengikuti pandangannya. "Dan Pria Berpayung itu tidak bekerja sendirian," selesainya. "Teman-temannya mungkin ada di luar pintu depan."
Mereka berdiri di sana, terengah-engah dalam keheningan kafe mereka yang kini menjadi penjara.
"Ra," kata Reza, suaranya kini dipenuhi kekaguman yang ngeri. "Di bawah sana... apa... apa *yang* kamu lakukan? Lantainya... miring."
Rania menatap kedua tangannya. Tangan seorang arsitek. Tangan yang seharusnya menggambar denah, bukan membengkokkan realitas. Tangan itu gemetar tak terkendali.
"Aku tidak tahu," bisiknya, kebenaran yang menakutkan itu menghantamnya. "Aku hanya... aku melihat ada yang salah dengan desainnya. Dan aku... aku menyuruhnya untuk 'lurus'."
Dia menatap Reza, matanya kembali normal, dipenuhi kepanikan seorang 21 tahun. "Za, aku membengkokkan ruangan."
*TUK. TUK. TUK.*
Keduanya membeku.
Itu bukan suara gedoran dari bawah.
Itu adalah suara ketukan yang sopan. Tenang. Terukur.
Seseorang sedang mengetuk *pintu depan* "Kopi Titik Koma".