Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Malam itu udara sangat menusuk tulang. Angin dari utara seolah menggigiti kulit, dan obor di sepanjang dinding Benteng Velmar bergoyang tertiup oleh udara dingin. Suasana hening, hanya terdengar derap langkah prajurit yang bersembunyi di balik kegelapan.
Corvina berdiri di dekat celah tembok batu, jubah tebalnya berkibar pelan. Di seberangnya, Theon berdiri tegak memantau pasukan. Keduanya tidak banyak bicara cukup saling memahami lewat satu anggukan.
“Semua sudah siap?” tanya Theon, suaranya berat, napasnya mengepul di udara dingin.
Corvina mengangguk pelan. “Jangan serang dulu. Biarkan Felix merasa aman. Kita butuh pengakuannya dan nama siapa yang memerintahnya.”
Theon menatapnya sekilas. “Anda yakin pelayan itu mau bicara?”
“Dia ketakutan, tapi dia tidak bodoh,” jawab Corvina dingin. “Begitu kuiming-imingi keamanan dan sedikit emas, dia langsung tergiur. Uang dan hidup nyaman lebih kuat dari rasa setia.”
Beberapa meter dari sana, langkah Count Felix terdengar pelan-pelan di atas tanah yang beku. Wajahnya tampak bersemangat, seolah datang untuk menjemput keberuntungan. Di antara pepohonan, pelayan Meriel muncul, menunduk dan menatap sekeliling gugup sebelum menyerahkan sepucuk surat yang diselipkan di balik kain bajunya.
“Seperti yang disepakati,” bisiknya cepat. “Gudang barat, jam dua. Hati-hati, Sir.”
Felix menyeringai serakah. “Kau bekerja dengan baik. Kalau urusan ini sukses, Brione akan puas, dan aku akan mendapatkan banyak keuntungan juga.”
Belum sempat ia menyembunyikan surat itu, Theon memberi isyarat dengan tangan. Dalam sekejap, puluhan prajurit muncul dari balik gelap, mengepung Felix dari segala arah.
“Count Felix,” suara Theon menggelegar. “Atas nama Kekaisaran, Anda ditangkap atas tuduhan pengkhianatan.”
Felix mundur satu langkah, panik. “Pengkhianatan? Tidak! Kalian salah orang!”
“Cukup,” suara Corvina terdengar dari balik bayangan. Ia melangkah maju, wajahnya tenang tapi matanya tajam. “Kau tak perlu berbohong. Saksi sudah bicara.”
Pelayan Meriel ditarik ke depan. Tubuhnya gemetar, tapi ia memaksa diri bicara. “Aku … aku hanya menjalankan perintah Nyonya Meriel. Dia menyuruhku memberi surat itu pada Count Felix. Katanya … untuk urusan penting demi keamanan istana.”
Felix memucat, mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar.
Theon mengambil surat itu dari tangan Felix, membuka segelnya, dan membaca cepat. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Jadi ini yang disebut ‘demi keamanan istana’? Laporan lengkap tentang letak gudang senjata kekaisaran.”
Corvina menatap Felix tanpa ampun. “Kau pikir bisa mempermainkan Kekaisaran dan lolos begitu saja?”
Felix jatuh berlutut, suaranya gemetar. “Aku … aku hanya disuruh … aku tidak tahu apa-apa.…”
“Selalu alasan yang sama,” potong Corvina dingin. “Sayangnya, malam ini tak ada lagi yang bisa kau tipu.”
Dan di bawah langit malam yang membeku, suara langkah prajurit menggema mengawal Count Felix pergi, sementara Theon dan Corvina kembali ke istana dengan kereta kuda.
*
Keesokan paginya, suasana istana mendadak tegang. Di setiap sudut koridor, para bangsawan berbisik, menebak-nebak alasan Kaisar mengadakan sidang mendadak.
Di aula utama, Cassian duduk di singgasananya dengan wajah dingin. Di hadapannya, Corvina berdiri tegak, anggun tapi penuh kewaspadaan. Di sisi lain, Count Felix berlutut, wajahnya pucat dan keringat menetes di pelipisnya.
Corvina berbicara dengan suara tenang, tapi setiap katanya menusuk.
“Count Felix,” katanya. “Katakan pada kami, siapa yang menyuruhmu mengirim dokumen militer itu ke Brione?”
Felix menunduk, tubuhnya gemetar. “Saya … saya hanya … mengikuti perintah.”
“Perintah siapa?” suara Cassian menggema, berat dan menekan.
Felix terisak, lalu menatap Corvina seolah minta ampun. “Lady Meriel, Yang Mulia … dia yang meminta saya melakukannya.”
Suara riuh langsung memenuhi aula. Para bangsawan saling berpandangan, beberapa menutup mulut tak percaya. Di sudut ruangan, Meriel berdiri kaku. Wajahnya masih mencoba tersenyum, tapi matanya kehilangan arah. Untuk pertama kalinya, topeng kepolosannya retak di depan semua orang.
Corvina menatapnya tanpa ekspresi, dingin, tapi matanya berkilat puas.
“Sepertinya kebenaran memang selalu menemukan jalannya,” katanya pelan.
Cassian hanya terdiam, rahangnya mengeras. Untuk sesaat, tak ada yang berani bersuara. Hanya napas berat dan bisik ngeri yang menggema di aula istana.
bertele2