Kematian Winarsih sungguh sangat tragis, siapa sebenarnya dalang di balik pembunuhan wanita itu?
Gas baca!
Jangan lupa follow Mak Othor, biar tak ketinggalan updatenya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MKW Bab 25
Awalnya Bagas terasa begitu bingung sekali harus berbuat apa, dia bingung harus memulai hal yang penting itu dari mana. Namun, setelah dia melaksanakan salat subuh, tiba-tiba saja terlintas ide yang menurutnya begitu brilian.
Pria itu lalu keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri bi Tuti yang saat ini sedang memulai aktivitas memasak di dapur, pria itu membawa uang yang lumayan banyak dan mulai menegur wanita itu.
"Bi, boleh minta tolong gak?"
Bi Tuti yang sedang memotong sayuran menggantikan aktivitasnya, lalu dia menolehkan wajahnya ke arah Bagas. Dia tersenyum ke arah pria yang selalu saja terlihat sempurna di matanya itu, sampai-sampai ia begitu ingin menjadikan Bagas sebagai menantunya.
Dari dulu Bagas selalu memperlakukan Winarsih dengan begitu lembut dan juga baik, makanya dia ingin menjadikan pria itu sebagai suami dari putrinya. Walaupun dengan jalan sesat.
Winarsih merupakan anak yatim piatu, tetapi wanita itu diperlakukan seperti ratu. Tak pernah sekalipun Bagas berkata kasar kepada wanita itu, selalu saja cinta dan kemesraan yang didapatkan oleh Winarsih selama hidupnya.
"Boleh dong, Pak Bagas. Mau minta tolong apa?"
"Aku tiba-tiba saja ingin memakan kue kesukaan Winarsih, Bi. Kue bakpia khas Jogja yang langsung dibeli dari Jogja, Bi. Apa Bibi bisa tolong belikan kue itu untuk aku?"
"Waduh! Langsung ke Jogja gitu Bibi belinya?"
"Iya, Bi. Pengen banget aku tuh, ngiler banget gitu."
Bi Tuti terdiam sejenak, dia seolah berpikir apakah harus pergi atau tidak. Bagas bisa melihat keraguan dari mata wanita itu, dengan cepat dia menggenggam tangan bi Tuti dan mulai bersuara.
"Bi, pengen banget loh. Masa sih tega nggak mau beliin?"
"Bu---- bukan tega, tapi jaraknya itu loh. Mondar-mandir membutuhkan waktu sekitar enam jam," jawab Bi Tuti.
"Aku kasih upah yang banyak untuk Bibi, serius ini ngiler banget. Kangen dek Win sampe kaya gini, seenggaknya kalau nggak bisa ketemu orangnya, bisa makan makanan kesukaannya."
Bagas memberikan uang lembaran merah sebanyak dua puluh lembar, dia meminta bi Tuti untuk membeli bakpia satu juta. Sisanya buat ongkos dan juga buat bi Tuti.
Wanita itu berpikirlah cukup lama, tetapi tidak lama kemudian wanita itu menganggukkan kepalanya. Kalau bi Tuti menolak mungkin takut kalau Bagas akan marah.
"Ya udah, abis sarapan Bibi langsung pergi ke Jogja. Bapak senang?"
"Sangat senang, makasih Bi."
"Sama-sama," jawab Bi Tuti.
Setelah berbicara dengan bi Tuti, Bagas pergi ke mushola. Dia ingin bertemu dengan pak ustadz, setelah bertemu dengan pak ustadz, Bagas langsung menceritakan maksud dan juga tujuannya.
"Jadi gitu, kamu mau minta tolong sama saya?"
"Iya, Pak Ustadz. Kita ke rumah saya jam 7, biar bi Tuti sudah berangkat ke Jogja."
"Boleh, kalau begitu kita ke rumah saya dulu. Sarapan dulu, selain itu saya juga akan mengajak para santri untuk membantu saya. Karena butuh bantuan untuk menghadapi hal ini," ajak Pak Ustadz.
"Oke," ujar Bagas.
Bagas akhirnya pergi ke rumah pak ustadz, dia diajak untuk sarapan bersama. Setelah itu, pak ustadz mengajak Bagas untuk pergi ke pondok. Pukul tujuh barulah dia pergi bersama dengan pak ustadz dan juga para santri menuju rumahnya.
"Ada apa sih, kamu bawa orang banyak seperti ini?" tanya Winda ketika melihat putranya datang dengan pak ustadz dan juga para santri.
"Nanti juga Bunda akan tahu, kita ke belakang dulu."
"Hem, kamu itu misterius banget," ujar Winda.
Bagas terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya, dia memang belum menceritakan apa yang dia lihat. Karena tidak mau membuat ibunya itu khawatir atau ketakutan.
"Oiya, Bun. Bi Tuti berangkat jam berapa?"
"Kayaknya jam enam lewat deh, kamu tuh aneh minta dia ke Jogja segala."
Bagas mengangguk paham, itu artinya dia sebentar lagi bisa melaksanakan tugasnya. Dia ingin menghancurkan tempat ritual bi Tuti, dia tak mau lagi ada praktik ilmu hitam yang merugikan dirinya sendiri di dalam rumahnya.
"Ada maksud dan juga tujuannya Bun, kalau Wati dan Cantik ke mana?"
"Wati kaya orang linglung, ngelamun terus. Bunda suruh dia libur, tapi dia malah minta izin bawa Cantik ke rumah kedua orang tuanya. Ya udah Bunda kasih, soalnya dia bilang kamu mengizinkan kalau membawa cantik ke kediaman pak Warto. Wanda juga malah ikut, katanya mau bantu Wati jaga Cantik."
Bagas sedikit lega karena Wati dan putrinya tak ada, dia merasa akan lebih lancar dalam menjalankan misinya.
"Kalau gitu aku ke gudang dulu," pamit Bagas.
"Bunda ikut," ujar Winda yang merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi.
"Boleh, tapi Bunda nggak boleh berisik."
"Ya," jawab Winda.
Akhirnya mereka pergi ke gudang, pak ustadz tentunya merasa kaget melihat barang-barang yang ada di sana. Begitu juga dengan Winda, dia lebih kaget lagi mendengar kalau bi Tuti pelaku sebenarnya.
"Astagfirullah! Kok ada orang jahat macam dia," ujar Winda.
Pak ustadz memperhatikan semua barang yang ada di gudang tersebut, Tak lama kemudian pak ustadz mengajak Bagas untuk berbicara.
"Kita harus membakar semua barang-barang ini, siapkan drum besar untuk tempat pembakaran."
"Siap, Pak Ustadz."
Bagas meminta Basri untuk mengirimkan drum bekas, karena kebetulan warung sembako miliknya bersebelahan dengan penjual drum bekas. Tak perlu waktu lama, Basri sudah datang membawa drum bekas itu dibantu oleh pelayan toko drum bekas itu.
"Ini harus disimpan di mana, Pak Bagas?"
"Belakang," jawab Bagas.
Basri menganggukan kepalanya tanda mengerti, setelah menyimpan drum bekas itu di belakang rumah, Basri kembali berpamitan untuk berjualan di toko sembako.
"Tolong bantu keluarkan semua barang-barang di gudang dan masukan ke dalam drum," ujar Pak Ustadz mengintruksi.
"Siap," ujar para santri.
Para santri masuk ke dalam gudang, lalu memasukkan barang-barang milik bi Tuti yang biasa untuk melakukan ritual pemanggilan setan.
Tentunya satu persatu barang-barang itu masuk ke dalam drum, Bagas diminta untuk membakar barang-barang itu setelah menyiramkan minyak tanah ke dalamnya. Sedangkan pak ustadz nampak membaca doa untuk menghilangkan energi negatif dari barang-barang tersebut.
Api berkobar dengan begitu besar, pak ustadz terus membaca doa. Sedangkan para santri memasukkan satu persatu barang-barang milik bi Tuti untuk do bakar ke dalam drum.
"Apinya gede banget, Gas. Serem, kaya mau bakar pak ustadz loh."
Winda melihat api yang berkobar dengan begitu besar, api itu seperti ada tangannya dan Ingin menggapai tubuh pak ustadz. Namun, api itu tak bisa menyentuh tubuh pak ustadz sama sekali.
"Alhamdulillah, barang-barangnya sudah dibakar. Tapi, kenapa saya masih merasakan ada aura negatif di dalam gudang?"
Pak ustadz merasa kalau tugasnya belum selesai, dia lalu meminta para santri untuk kembali memeriksa gudang itu. Beberapa santri masuk ke dalam gudang kembali, mereka ingin memeriksa apa yang ada di sana.
"Argh! Tolong!" teriak para santri yang masuk ke dalam gudang.
wis kapok mu kapan bjo gaib mu wis modyarrr
hadiahnua bisa diambil dirumah kk othor ya...😂😂😂
Bu Tuti syok berat ini.. udah beli segala macam perlengkapan pemujaan lagi.. /Facepalm//Facepalm/
secara suami gaib nya musnah tp apakh nnti akan menuntut blas yg lebih kejam lagi ga yaaa /Smug//Smug//Smug//Smug/
trus kalau bi Tuti pulang nanti bagaimana ya....
Bagas kok masih bisa menahan emosinya saat melihat bi Tuti... keren banget kamu bagas
setanya marah yaaa tp.klo marah masa iya g bisa sih dinlwan dgn doa
minta sm yg esa gtu 🤔
dan si tuti dpt karmanya
undg pak uztad ngajiin biar keluar tuhh mahkluk gaib biar aman rumah
Halah... paling geh nanti Bagas juga suka sendiri sama Wati. 🤭