NovelToon NovelToon
PENANTIAN CINTA HALAL

PENANTIAN CINTA HALAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.

Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.

Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENANTIAN CINTA HALAL

Setelah mengantar Azela kontrol ke klinik, Bayu langsung antar Azela ke klinik tempatnya buka praktik. Dan setelahnya Bayu langsung menuju ndalem, tempat ia biasa rehat saat jadwal mengajarnya longgar.

Saat Bayu sampai pondok pesantren, lonceng baru berbunyi. Bayu berjalan menuju kelas, untuk menyampaikan ilmu.

Siang setelah pulang mengajar, seperti biasa Bayu pulang ke ndalem.

"Gimana istrimu Mas, Sudah sehat?" tanya Abah yang sedang duduk membaca tafsir.

"Alhamdulilah Bah, sehat. Kandungannya juga sehat."

Abah Yai mengangguk. Obrolan mereka pun mengalir antara Ayah dan anak.

Lalu Bayu izin ke dapur, karena haus.

Udara siang itu cukup panas, namun suasana pesantren tetap tenang. Dari dapur kecil ndalem, terdengar suara es batu ditumbuk perlahan, suara sendok bersentuhan dengan gelas kaca tinggi.

Di teras belakang, Aila duduk melamun dengan wajah bosan. Baru saja ia selesai menyapu halaman. Kerudungnya sedikit basah karena keringat, tapi ia tetap tampak santai.

Tak lama, Bayu muncul dari balik dapur, berjalan dengan langkah mantap. Di tangannya ada dua gelas berisi susu kocok dingin, favorit Aila sejak kecil.

Bayu meletakkan salah satu gelas di meja kayu tempat Aila duduk, lalu tanpa menatap, berkata datar,

“Mas buat lebih. Kalau kamu mau.”

Aila langsung menoleh, matanya membulat senang.

“Masih inget aja minuman kesukaanku, Mas Bayu. Duh… segarnya…” ucapnya sambil meneguk susu kocok dengan wajah bahagia. Seolah dunia baik-baik saja hanya dengan itu.

Bayu tidak menjawab. Ia duduk di sisi lain, membuka buku kecil yang selalu ia bawa, mencatat sesuatu. Tapi diam-diam, ia memperhatikan Aila. Cara gadis itu minum, senyumnya, matanya yang menyipit karena dingin susu, semuanya menyentuh bagian hatinya yang paling ia jaga rapat.

Aila meletakkan gelasnya.

“Mas… nanti sore aku sama Fandi mau ke mall, ada toko buku yang baru buka. Cuma sebentar kok, cari kamus Bahasa Arab.”

Bayu mengangkat wajah. Suaranya tegas, tanpa meninggi.

“Enggak usah pergi.”

Aila terkejut.

“Loh… kenapa, Mas?”

Bayu menutup bukunya. Tatapannya tajam, tenang, tak bisa dibantah.

“Kamu perempuan, Ai. Di luar sana nggak selalu aman. Kalau memang butuh, bilang. Mas yang antar.”

Aila mengernyit pelan, seperti anak kecil yang dilarang jajan.

“Tapi aku nggak sendiri, Mas. Ada Fandi…”

“Fandi bukan muhrim kamu. Dia bukan pelindungmu,” potong Bayu cepat.

Diam.

Aila menggigit bibirnya pelan. Ia tahu, jika Mas Bayu sudah bicara seperti itu, tak ada ruang untuk tawar-menawar. Ia meneguk lagi susunya diam-diam sambil mengalihkan pandangan, tak ingin terlihat kecewa.

Tapi dalam hatinya, ia mengakui, tak ada yang bisa membuatnya merasa aman selain pria dingin yang kini duduk beberapa langkah darinya.

Siang itu Bayu pun akhirnya mengantar Aila ke Maal terdekat.

Bayu berjalan beberapa langkah di depan Aila. Seperti biasa, pria itu tak suka keramaian, tapi tetap mengantar adik angkatnya mencari buku kamus yang ia butuhkan.

Aila mengikuti dari belakang, sesekali menoleh kanan kiri, kagum dengan interior toko buku modern yang baru buka di lantai dua.

Setelah menemukan buku yang dicari, Bayu langsung menuju kasir dan membayarkan semuanya tanpa banyak bicara. Aila tahu, jangan berharap bisa ikut-ikutan bayar atau menawar kebaikan Mas Bayu.

Keluar dari toko buku, Bayu tiba-tiba menoleh ke etalase toko baju rumahan. Pandangannya tertarik pada sepasang daster berbahan adem dengan warna lembut, hijau toska dan ungu muda. Matanya terpaku sejenak.

“Mas…” Aila menoleh heran, “Kok lihat daster?”

Bayu hanya menjawab datar, “Untuk 'istri' Mbakmu Azela. Dia butuh baju longgar, nyaman buat di rumah.”

Aila tak bertanya lebih jauh. Ia hanya diam, tapi hatinya sedikit tergetar. Ini pertama kalinya ia mendengar Mas Bayu menyebut 'istri' dengan suara sebening itu, meski datar, tak ada nada bahagia di dalamnya.

Bayu membeli dua potong daster, lalu membawa Aila ke area foodcourt untuk makan sore. Tanpa banyak bicara, Bayu memilih meja paling pojok. Aila duduk setelah Mas-nya duduk lebih dulu. Seperti biasa, tertib, tegas, penuh aturan.

Lantai Bawah bawah mall, Area Perlengkapan Bayi

Sementara itu, Azela tengah memilih bedong dan perlengkapan bayi lainnya. Perutnya mulai membuncit meski belum mencolok. Ia mengambil beberapa item ke dalam keranjang belanja, lalu saat melintas ke sisi eskalator kaca, matanya menangkap sosok yang tak asing.

'Bayu'.

Langkah Azela terhenti. Jantungnya seperti diputar ulang. Ia melihat Bayu duduk di pojok foodcourt bersama seorang gadis muda berjilbab abu muda. Gerak-gerik mereka biasa saja, namun sorot mata Bayu pada Aila, walau hanya sekilas, terlihat lebih dari sekadar tatapan kakak pada adiknya.

Azela tahu diri. Ia bukan siapa-siapa. Hanya perempuan yang berhutang banyak pada kesediaan Bayu menjadi pelindung sementara untuk aib yang tak bisa ia hindari.

Namun entah kenapa… perih itu muncul tiba-tiba. Padahal Bayu tak melakukan kesalahan apapun.

Azela segera berbalik arah, menelan rasa janggal itu sendiri. Ia bahkan tak tahu bahwa Aila hanyalah anak angkat di keluarga Kiai Hasan. Yang ia tahu, pria yang jadi suaminya itu... menatap gadis itu dengan cara yang belum pernah ia rasakan di rumah mereka sendiri.

Langit mulai menggelap saat Bayu memarkirkan mobilnya di garasi. Rumah itu tampak tenang. Saat Bayu masuk, bau masakan sayur bening dan tempe goreng menyambut dari dapur. Tapi suasana tetap terasa hening.

Dari arah kamar, terdengar suara air mengalir dari kamar mandi. Bayu hanya melirik singkat, lalu meletakkan daster yang ia beli di atas nakas ruang tengah. Tak ada kertas ucapan, tak ada komentar. Hanya sebuah tindakan sunyi dari seorang pria yang memilih menutup semua luka dengan sikap tanggung jawabnya.

Beberapa saat kemudian, Azela keluar dengan handuk kecil di leher, tubuhnya tampak lebih segar meski wajahnya masih pucat. Ia terkejut saat melihat kantong belanja berisi daster terlipat rapi di atas meja.

"Daster...?" gumamnya lirih.

Lalu matanya menoleh pelan ke arah Bayu yang tengah duduk membaca Al-Qur’an di ruang tengah. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Bayu. Seakan semua yang perlu disampaikan sudah terwakili lewat barang itu.

Azela mengambil daster itu, lalu masuk ke kamar. Tak bisa ia cegah matanya kembali memanas. Bukan karena pemberian itu, tapi karena sikap diam Bayu yang justru paling menusuk.

Malam harinya di rumah Bayu

Rumah itu kembali sunyi. Umi Fatimah dan Aila telah pulang ke pondok tadi siang, setelah memastikan Azela dalam keadaan sehat. Kini, malam kembali milik Bayu dan Azela, dengan batas kamar yang kembali memisahkan mereka.

Bayu sudah kembali menempati kamarnya. Suara kipas angin terdengar lirih, mengiringi ayat-ayat Al-Qur’an yang pelan dilafalkan dari bibir Bayu. Namun di sela-sela jeda, suara ringan terdengar dari arah dapur, lalu disusul langkah pelan menuju ruang tengah.

Azela. Mengenakan daster lembut yang kemarin dibelikan Bayu, rambutnya terikat sederhana. Ia membawa segelas air putih di tangan. Tatapannya kosong, namun matanya tampak sembab.

Perempuan itu melangkah menuju teras belakang. Ia duduk diam di sana, memandang pekatnya langit malam. Dingin menyergap, tapi perasaannya jauh lebih dingin.

Beberapa saat kemudian.

Bayu keluar dari kamar, hendak ke dapur. Namun langkahnya terhenti ketika melihat cahaya lampu teras belakang masih menyala.

Dengan pelan, Bayu membuka pintu, dan mendapati Azela duduk sendiri di bangku rotan, menunduk. Kedua tangannya memeluk lutut, seperti sedang memeluk luka yang tak bisa diceritakan.

Bayu berdiri sejenak. Lalu melangkah pelan, dan duduk di kursi seberangnya. Tanpa kata. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka.

Beberapa detik berlalu, barulah suara pelan Azela terdengar.

“Aku malu, Mas… sangat malu. Bahkan menatap mata Mas saja aku tidak sanggup.”

Bayu tetap diam. Tatapannya lurus menembus kegelapan taman kecil di halaman belakang.

“Mas Bayu begitu baik… bahkan setelah tahu semuanya, Mas tidak pernah mempermalukan aku. Tidak pernah meninggikan suara, atau membuatku merasa kotor…”

Azela menunduk dalam, air mata jatuh ke punggung tangannya.

“Tapi semua kebaikan itu justru membuat aku makin malu. Aku bahkan belum bisa membalasnya dengan apa-apa.”

Bayu menghela napas pelan. Lama ia terdiam, sebelum akhirnya bersuara, suaranya rendah namun tegas.

“Saya tidak pernah berharap balasan dari manusia, Azela. Dan saya bukan orang baik. Saya hanya mencoba bersikap sebagaimana ajaran yang saya tahu, bahwa menutupi aib orang lain itu lebih Allah cintai daripada menyebarkannya.”

“Saya tidak sedang bermain peran suami sempurna. Tapi saya hanya ingin menjalani pernikahan ini dengan cara yang paling tidak melukai siapa pun. Kita tidak tahu ke depan seperti apa. Tapi setidaknya, sekarang… tidak ada yang perlu dipermalukan.”

Azela menangis. Kali ini bukan karena luka, tapi karena dihargai oleh seseorang yang tak pernah mencintainya.

Bayu berdiri. Ia melangkah kembali ke dalam rumah.

“Sudah malam. Banyak hal yang lebih baik ditangisi dalam sujud daripada di bangku.”

Setelah itu, Bayu masuk ke kamarnya.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara lirih dari kamar Bayu

Bayu duduk di atas sajadah, lampu kamar sengaja dibiarkan temaram. Suara detik jam terdengar berdenting seperti gema.

Dalam sujud panjangnya, Bayu menangis diam-diam. Tak bersuara, tapi sesaknya menekan dada. Doanya tak panjang. Hanya satu nama yang ia sebut dalam diam, selain nama Azela.

“Ya Rabb, jaga hatiku dari mencintai sesuatu yang tak halal bagiku…”

“Dan kuatkan langkahku… jika yang kutunggu… bukan yang Engkau takdirkan untukku.”

1
Ita Putri
poor bayu
Ita Putri
jangan" hamil anak almarhum dr.kenzi
R I R I F A
lanjut aku suka cerita yg islami...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!