Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayam Bakar Bu Siti
Langit sudah gelap sempurna ketika motor matic hitam itu meluncur melewati jalanan kota. Lampu jalan menyala satu per satu, menebarkan cahaya kekuningan yang membentuk bayangan panjang di aspal. Laras duduk di belakang Arka, memeluk tas kecilnya, tubuhnya sedikit kaku. Helm menutup sebagian wajahnya, tapi matanya menatap jalanan yang berganti-ganti dengan penuh rasa ingin tahu.
Ini pertama kalinya ia naik motor seperti ini. Jalanan yang biasa dilalui dengan mobil kini terasa berbeda,lebih dekat, dan lebih nyata. Angin malam menyapu pelan rambutnya yang keluar dari bawah helm, membuat ujung-ujungnya menari liar. Ia menunduk sedikit, mencoba beradaptasi, tapi diam-diam… ia tersenyum kecil. Ada rasa aneh yang menyenangkan. Seolah ia sedang melarikan diri dari segala hal yang membebaninya. Bersama orang asing. Tapi… rasanya tidak menakutkan.
Arka tidak banyak bicara, hanya sesekali menengok ke spion memastikan Laras baik-baik saja. Motor itu membelok ke gang sempit yang temaram, melewati beberapa toko kecil yang mulai tutup, sampai akhirnya berhenti di depan sebuah ruko dengan papan nama besar bertuliskan:
“AYAM BAKAR BU SITI – Pedesnya Bikin Mantan Balik Lagi!”
Laras turun dengan ragu. Lampu warung memancar hangat dari balik kaca. Ia menatap plang promosi yang dipajang di depan pintu:
“Susah buat lupain mantan? MAKAN AJA! Soalnya Ayamnya Enak!”
Ia menahan tawa, lalu tak bisa menahannya. Tawa renyah pecah dari bibirnya.
"Tempat macam apa sih ini…"
Arka hanya tersenyum kecil, lalu mendorong pintu masuk.
Sementara itu dari kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti di ujung gang gelap. Di dalamnya, Rasta menatap dengan pandangan tajam. Alisnya mengernyit.
“Kenapa dia… bawa Laras ke tempat kayak gini?” gumamnya pelan. Tangannya sedikit mengepal. Ia tidak mengerti. Seharusnya, pria tunangan Laras datang dari keluarga terpandang. Tapi Ini? Ruko kecil? Gang sempit? Warung ayam bakar?
Astaga... aku bener-bener gak ngerti dengan kakek.
Kembali ke Laras dan Arka, mereka akhirnya masuk ke dalam. Tempatnya jauh lebih baik dari yang dibayangkan Laras. Meja-meja kayu tertata rapi, dindingnya dihiasi foto-foto pelanggan dan ucapan konyol. Wangi ayam bakar yang baru matang menyeruak hangat ke seluruh ruangan.
Arka memesan tanpa bertanya panjang, lalu kembali ke meja mereka yang ada di luar teras. Suasana malam mengalun pelan. Lampu gantung kecil menggantung rendah di atas kepala mereka, memantulkan cahaya hangat ke wajah Laras. Beberapa tanaman pot bergoyang pelan tertiup angin. Hening tapi hidup.
"Kamu gak papa kan kita duduk di luar? Di dalam udah terlalu ramai." kata Arka singkat.
Laras hanya mengangguk. Ia duduk perlahan. Angin malam kembali menyapanya, kali ini lebih lembut. Ia menatap Arka, lalu menuangkan teh tawar dari teko ke dalam gelas.
“Eh… Kamu tau dari mana aku suka pedes?” tanyanya sambil memainkan sedotan plastik. Dia sedikit terkejut ketika Arka tanpa bertanya memesankannya ayam bakar level pedas.
Arka menoleh sebentar, lalu menjawab tanpa menatap langsung. “Firasat mungkin?”
Laras terkekeh pelan. Terkadang dia merasa laki-laki di depannya terlalu aneh, misterius dan bahkan tidak bisa dijelaskan. Tanpa disadari dia mulai merasa...sedikit nyaman. Bukan karena tempatnya mewah. Tapi justru karena kesederhanaan itu. Karena pria di depannya tidak berpura-pura jadi orang lain. Karena semuanya terasa... nyata.
Tidak lama kemudian pelayan mengantarkan makanan.Ayam bakar berukuran sedang disajikan dengan piring yang terbuat dari tanah liat. Tidak lupa lalapan menghiasi pinggirnya beserta sambal yang terlihat menggoda di mangkuk kecil.
Hanya dengan melihatnya saja, liur Laras menari-nari di mulutnya. Tapi begitu dia sadar... Ehhh...Kok gak ada sendoknya? Pelayannya lupa apa gimana?
Mata laras bolak-balik melihat ayam itu dan pelayan yang tengah sibuk berlalu lalang mengantarkan pesanan. Dia ingin bertanya tapi suaranya terus-menerus tertelan. Malu.
Arka yang melihat hal itu terkekeh pelan. Dia tidak tahan melihat tingkah Laras yang polos dan menggemaskan.
“Cara makannya emang langsung pakai tangan. Tapi sebelum itu, kamu cuci tangan dulu dibaskom ini.” Arka menjelaskan sembari memberi contoh.
“Ehhh...?”
Dengan ragu akhirnya Laras mengikuti. Tangannya yang kikuk berusaha meraih sepotong ayam dan mencoelnya dengan sambal. Meniru apa yang Arka contohkan.
Laras mencicipi pelan. Matanya sedikit memejam.
“Ehhh...ENAK!” secara spontan kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya, setengah berteriak.
“Pftt... Iya kan?” Arka tidak lagi kuasa menahan tawanya. Astaga, kesan dinginnya yang telah dia bangun lama hilang begitu saja di momen itu.
Arghhh... Apa sih yang aku lakukan. Ya Tuhan...malu banget sumpah.
Laras yang menyadari tingkah konyolnya segera tertunduk malu. Pipinya memerah. Bisa-bisanya dia bertingkah konyol begitu di hadapan Arka. Laki-laki yang masih asing baginya.
Meski begitu sesekali Laras melirik Arka. Ini pertama kalinya dia melihat laki-laki dingin itu tertawa. Manis juga, pikirnya.
Mereka makan sambil sesekali berbagi komentar pendek. Laras beberapa kali tersedak karena sambalnya yang terlalu pedas, dan Arka hanya menyodorkan tisu dengan ekspresi kembali datar.
"Aku gak nyangka sepedes itu!" kata Laras sambil kipas-kipas mulutnya. Tapi tawanya terasa lebih lepas. Ia bahagia. Bahkan hanya dengan ayam bakar dan lampu teras seadanya.
“Pelan-pelan aja, Lagian kita gak lagi buru-buru juga.”
Setelah selesai makan, mereka tidak langsung beranjak. Laras menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kayu, memejamkan mata sejenak.
"Aku... belum pernah kayak gini," gumamnya.
"Kayak gimana?" tanya Arka pelan.
"Ya... keluar malam, duduk santai di tempat yang aku gak pernah berpikir untuk mendatanginya, tanpa harus pura-pura jadi versi terbaik dari diriku. Biasanya harus pakai sepatu hak, bicara sopan, menjaga punggung tetap tegak. Tapi sekarang… aku cuma jadi diriku sendiri."
Arka menatapnya sebentar. "Laras yang kayak gini justru imut kok."
Kata-kata itu membuat Laras membuka matanya pelan. Ada sesuatu di dada yang bergetar. Sesuatu yang hangat namun tak mampu ia jelaskan.
“Apa lagi waktu bilang enak tadi.”
“Uhh...” Hampir saja Laras tersedak ludahnya sendiri.
Arghhh...Kenapa Arka malah ngungkit itu lagi sih...
Dan malam pun mengendap tenang. Tak ada bintang. Tapi di bawah lampu temaram, sesuatu mulai menyala di hati Laras — sesuatu yang tak bisa ia tolak, dan mungkin… tak bisa ia batalkan.
_____
Sementara itu di tempat lain. Di lantai tertinggi sebuah gedung pencakar langit, lampu masih menyala terang. Dinding kaca besar memantulkan siluet seorang pria tegap bersetelan gelap yang berdiri membelakangi jendela. Tangannya bersedekap, matanya menatap layar besar di depannya. Rekaman CCTV yang di-pause tepat di momen Arka membuka helm, dan menawarkan tumpangan pada Laras.
Reynald tidak berkedip.
Jari-jarinya mengetuk pelan sisi meja kaca hitam yang mengkilap. Ruangan itu sepi. Hening. Bahkan jam dinding pun tidak terdengar berdetak.
Dia menekan tombol pada remote kecil. Video diputar ulang. Lagi-lagi sosok Arka muncul. Wajahnya tidak jelas, tapi gesturnya...ekspresinya... ada sesuatu yang membuat Reynald tidak bisa mengabaikannya.
Pintu otomatis terbuka. Seorang pria dengan jas dan identitas tim keamanan khusus masuk membungkuk singkat.
“Anda memanggil saya, Tuan Muda?”
Reynald tidak menoleh. Matanya masih terpaku pada layar.
“Saya ingin kamu cari tahu siapa pria ini.” Ia menunjuk ke sosok Arka. “Mulai dari tempat tinggal, latar belakang, riwayat pendidikan, rekam medis kalau perlu. Keluarganya juga. Saya ingin tahu... semuanya.”
“Baik, Tuan.”
Reynald akhirnya menoleh, menatap anak buahnya dengan tatapan dingin penuh arti.
“Seminggu. Dan pastikan... tidak ada satu jejak pun yang tertinggal.”
Pria itu mengangguk cepat dan berbalik keluar. Pintu kembali tertutup, menyisakan Reynald dan bayangan kota yang berpendar di balik jendela kaca.