Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 25
Langit Jakarta diselimuti mendung tipis ketika langkah Tenggara pertama kali menjejak di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Roda koper yang ditariknya beradu pelan dengan lantai keramik mengilat, menghasilkan bunyi gesekan yang samar-samar tenggelam dalam riuh kedatangan penumpang lain.
Di belakangnya, Ganesha dan Selena sibuk memperdebatkan sesuatu, sementara Kafka tampak lebih rempong merapikan rambutnya yang berantakan terkena sapuan angin dari pintu otomatis.
Di luar pintu kedatangan, suasana tak jauh berbeda--ramai, penuh deretan kendaraan yang menepi untuk menjemput, klakson yang bersahutan, dan petugas keamanan yang hilir mudik mengatur laju lalu lintas. Tenggara memandang sekeliling, matanya menyapu satu per satu barisan mobil yang ada dengan dahi mengerut. Mathias seharusnya sudah tiba. Dia telah meminta lelaki itu untuk datang menjemput, dan telah disetujui sebelumnya.
Tak berapa lama, justru sosok lain yang muncul dari balik pintu mobil putih dengan plat warna hitam yang baru saja berhenti di depannya. Jeremy menyembulkan tubuhnya, tersenyum, dan melambaikan tangan. Wajahnya tampak segar, tak seperti beberapa hari terakhir yang selalu terlihat kelelahan.
"Kok lo yang datang, Bang? Bang Mathias ke mana?" tanya Tenggara.
"Anterin nyokapnya ke rumah sakit, maag-nya kambuh," jelas Jeremy.
Tenggara hanya ber-ohh ria sambil menganggukkan kepala. Kemudian, dia berbalik, memandangi trio kwek-kwek yang sedari tadi mengekor seperti anak-anak itik yang takut kehilangan induknya.
"Kalian pulangnya gimana?"
"Naik taksi," sahut Kafka cepat.
Namun, Jeremy dengan cepat menyela, "Naik mobil gue aja, biar gue anterin sekalian."
Kafka menatap laki-laki tampan di depannya itu cukup lama, seperti sedang menegosiasikan sesuatu secara diam-diam dan rahasia.
"Nanti rutenya jadi muter-muter nggak karuan, Bang." Itu suara Selena.
Baik Jeremy maupun Kafka sama-sama menoleh dengan ekspresi seragam. Lalu Jeremy jadi satu-satunya yang angkat bicara, mengatakan bahwa tidak masalah baginya untuk mengedrop mereka satu-satu. Toh dirinya sedang luang, dan hari masih terang.
Akhirnya, mereka semua setuju. Lagi pula, mobil Jeremy seven seater, tak masalah mengangkut anak-anak ayam itu sekaligus.
Tetapi sayangnya, dia lupa kalau trio kwek-kwek yang berisiknya minta ampun itu sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah untuk duduk di kursi belakang. Bukannya segera masuk mobil, mereka malah asyik adu mulut.
"Gambreng aja biar cepet. Yang kalah duduk di belakang," usul Jeremy.
Sayang seribu sayang, sarannya dimentahkan sebelum sempat dicoba. Mereka tetap tidak mau mengalah dan malah lebih memilih untuk duduk berdempetan di kursi tengah.
Jeremy hanya bisa menghela napas panjang sambil mengelus dadanya sendiri. Begitu duduk di balik kemudi, dia menemukan trio kwek-kwek sudah duduk anteng dengan formasi yang mereka pilih sendiri; Selena di kiri, Ganesha di tengah, dan Kafka di sebelah kanan.
"Lo nggak pusing ngasuh anak ayam tiga biji begini?" celetuk Jeremy sesaat setelah dia melajukan mobilnya.
Tenggara melirik sedikit, lalu kembali sibuk menggulir layar ponselnya. "Bukan pusing lagi. Rasanya kepala gue kayak mau pecah," keluhnya.
Jeremy menyambut keluhan itu dengan kekehan ringan. Lalu obrolan mereka berlanjut lebih jauh tentang keberlangsungan acara di Surabaya kemarin. Tenggara menjawab setiap pertanyaan yang dia ajukan dengan cukup padat dan jelas. Membuatnya tak perlu mengulang atau menyelidik lebih dalam.
Sementara para pria dewasa di depan mengobrol soal pekerjaan, trio kwek-kwek di belakang asyik membahas soal liburan. Sejak Ganesha mengeluarkan ponsel dan membuka galeri, komentar-komentar nyeleneh terus saja bermunculan. Kebanyakan dari Kafka. Lelaki itu tak henti-hentinya mengomentari satu per satu foto yang mereka ambil selama di Surabaya. Mulai dari foto selfie di Tunjungan Plaza, foto grup berlatar senja di North Quay, sampai foto candid yang menunjukkan bibirnya belepotan es krim rasa coklat.
"Nggak apa-apa, tetap ganteng," celetuknya.
Ganesha mencibir dengan wajah julid mampus, sedangkan Selena hanya tersenyum lembut seperti biasa.
Jemari Ganesha masih terus menggulir. Liburan dadakan yang hanya sehari itu ternyata telah menghasilkan cukup banyak foto, walaupun hanya seperempatnya saja yang layak untuk diposting. Sisanya lebih seperti foto dump yang sebaiknya disimpan rapat saja dalam galeri. Atau kalau sedang mood, bisa dipakai untuk saling meledek satu sama lain.
Sampai di satu foto, decakan keras mengudara dari sisi kanan. Kafka tampak tidak puas pada hasil foto yang barusan. Bibirnya maju bersenti-senti, siap mengudarakan komentar julid.
"Yah, padahal fotonya cakep. Sayang banget malah muncul anomali di tengah," komentarnya seraya melirik sinis ke tempat duduk Tenggara, lalu melanjutkan, "mana nggak bisa dicrop lagi."
Kejulidannya itu menghasilkan tepukan pelan di bibir. Pelakunya jelas Ganesha, siapa lagi. Tapi berhubung dia sedang tidak mood untuk ribut dengan gadis itu, Kafka hanya mendumal sedikit dan mereka lanjut scroll foto-foto lain.
Selagi mereka sibuk, mobil juga terus melaju menembus kepadatan di Tol Prof. Dr. Sedyatmo. Jendela depan menampakkan langit kelabu yang makin menebal, sementara tetesan gerimis perlahan menempel tipis di kaca. Tenggara menoleh sekilas ke jok tengah. Obrolannya dengan Jeremy sudah usai sehingga kabin depan mulai terasa hampa.
Namun, menyaksikan trio kwek-kwek asyik dengan dunia mereka, malah membuat Tenggara kembali disadarkan bahwa dirinya hanyalah orang luar yang selalu dikecualikan.
Persis ketika kepalanya menoleh kembali ke depan, hujan turun deras. Sederas pertanyaan yang membanjiri kepalanya: jika sedikit saja kepekaan dirinya bekerja, apakah situasinya akan berbeda?
......................
Penumpang terakhir yang tersisa di mobil adalah Tenggara. Sebelum mobil kembali melaju, mereka mengedrop Ganesha di rumahnya. Kini, di perjalanan meninggalkan area perumahan Ganesha, mobil dipenuhi lagu-lagu sendu dari playlist milik Jeremy.
Ini tak biasa. Jeremy yang dia kenal tak terlalu menyukai lagu-lagu sendu semacam ini. Walaupun wajahnya memiliki kesan tampan yang lembut, lelaki itu lebih menyukai jenis musik yang sedikit lebih berisik. Tetapi sore ini Jeremy seakan sengaja memutar lagu-lagu galau, seperti sedang meledek dirinya dan agenda gundah gulana yang tak ada ujungnya.
"Ga,"
"Hmm..." Tenggara masih melemparkan pandangannya keluar jendela, bertopang dagu, menikmati derasnya hujan yang turun.
"Gimana hubungan lo sama Ganesha?"
Tenggara menoleh cepat. "Hubungan yang mana?"
"Ya ... yang di luar pekerjaan," kata Jeremy. Dia menoleh ketika mobilnya berhenti di tengah kemacetan. "Gue percaya Ganesha tetap bisa profesional setelah apa yang terjadi, tapi nggak yakin apakah dia masih bisa jadi teman yang lo kenal selama ini."
Tenggara tidak menjawab. Karena dugaan Jeremy selalu tepat. Mau dibilang baik-baik saja, kenyataannya tidak begitu. Tenggara sadar Ganesha sudah menarik garis batas yang cukup jauh. Segalanya tak lagi sama, dan mungkin tidak akan pernah bisa dikembalikan ke tempat semula.
"Kalau gue boleh kasih saran ... mending lo ambil langkah tegas, deh."
"Maksudnya?"
Jeremy kembali menatap ke depan, melakukan mobilnya pelan-pelan. "Ya ... tegas sama perasaan lo sendiri. Kalau emang nggak bisa balas perasaan Ganesha, segera kasih batas yang lebih jelas dan biarin dia pergi. Jangan nahan-nahan dia, Ga. Jangan tarik-ulur, supaya lebih gampang buat dia move on dan mulai jatuh cinta ke orang lain. Dia ... berhak bahagia."
Sore itu, seseorang telah berhasil menampar Tenggara lagi.
Dan, kalian ingin tahu bagian yang paling membuatnya nyeri?
Itu adalah fakta bahwa Jeremy tidak pernah ikut campur soal ini sebelumnya. Jeremy selalu pasif dan hanya jadi pendengar. Maka ketika lelaki itu buka suara, Tenggara merasa tak ada lagi kesempatan baginya untuk membela diri.
Bersambung....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅