Enam bulan pernikahan yang terlihat bahagia ternyata tak menjamin kebahagiaan itu abadi. Anya merasa sudah memenangkan hati Adipati sepenuhnya, namun satu kiriman video menghancurkan semua kepercayaannya. Tanpa memberi ruang penjelasan, Anya memilih pergi... menghilang dari dunia Adipati, membawa serta rahasia besar dalam kandungannya.
Lima tahun berlalu. Anya kini hidup sebagai single mom di desa kecil, membesarkan putranya dan menjalankan usaha kue sederhana. Namun takdir membawanya kembali ke kota, menghadapi masa lalu yang belum selesai. Dalam sebuah acara penghargaan bergengsi, dia kembali bertemu Adipati—pria yang masih menyimpan luka dan tanya.
Adipati tak pernah menikah lagi, dan pertemuan itu membuatnya yakin: Anya adalah bagian dari hidup yang ingin ia perjuangkan kembali. Namun Anya tak ingin kembali terjebak dalam luka lama, apalagi jika Adipati masih menyimpan rahasia yang belum terjawab.
Akankah cinta mereka menemukan jalannya kembali? Atau justru masa lalu kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juwita Simangunsong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Ruang tamu rumah orang tua Anya. Malam hari. Anya baru pulang dari rapat dengan klien. Rambutnya disanggul rapi, tubuhnya lelah. Di ruang tamu yang biasanya kosong Adipati duduk bersama Ibu Desi yang tampak canggung. Anya langsung membeku di ambang pintu.
Anya suara dingin, menatap ibunya“Kenapa dia ada di sini?”
Mama Anya dengan sedikit pelan dan merasa gugup menjawab“Dia cuma… mau bicara, Nak. Bukan buat bikin masalah.”
Anya menatap tajam ke arah Adipati“Kamu gak pernah cukup puas bikin masalah ya, mas Pati?”
Adipati berdiri perlahan, menatap Anya tanpa menghindar“Aku tahu aku orang paling jahat di hidupmu, dan aku pantas dibenci. Tapi aku cuma minta satu hal dengar aku dulu. Satu kali ini aja.”
Anya tersenyum pahit, menaruh tasnya dengan kasar di meja“Oke. Mari kita dengar. Dari mulutmu sendiri. Kenapa kamu lebih memilih Bram daripada aku enam tahun yang lalu? Aku istrimu, mas Pati. Aku perempuan yang kamu pilih di depan Tuhan… dan kamu hancurkan semuanya hanya karena... kamu lebih nyaman sama laki-laki?”
Adipati menunduk, matanya berkaca“Itu bukan tentang kenyamanan, atau seks, atau keinginan. Itu tentang aku yang waktu itu… gak tahu apa-apa soal diriku. Aku lari, Anya. Aku kabur dari tekanan, dari ekspektasi… dan aku cari pelarian yang salah. Bram cuma pelarian. Dan itu... adalah dosa paling besar dalam hidupku.”
Anya matanya mulai berair tapi nada bicaranya tetap tajam“Kamu mengkhianati kepercayaan yang aku bangun dengan darah dan doa, mas Pati. Kamu buat aku merasa... gak cukup jadi perempuan. Gak cukup jadi istri. Kamu tahu rasanya?”
Adipati mengangguk, setetes air mata jatuh“Aku tahu. Dan setiap hari sejak kamu pergi, aku hidup dengan rasa bersalah itu. Aku ikut terapi. Aku bongkar semua yang salah dalam pikiranku. Dan setelah semuanya... aku cuma tahu satu hal yang pasti aku cinta kamu. Gak ada yang lain.”
Anya berdiri, punggungnya tegang“Cinta? Setelah kamu tidur sama laki-laki lain? Kamu pikir cinta bisa menyembuhkan luka yang sudah kau buat mas?”
Adipati berjalan pelan ke arahnya, suaranya pecah“Enggak. Tapi cinta bisa bikin aku bertahan. Buat minta maaf setiap hari. Buat datang lagi dan lagi, walau kamu tendang, walau kamu hina. Karena kamu satu-satunya rumah yang aku punya.”
Anya meneteskan air mata, namun buru-buru menyekanya“Aku bukan tempat buat kamu pulang, mas.”
Adipati kembali berkata“Bukan sekarang. Tapi mungkin suatu hari. Dan sampai hari itu datang… aku akan tetap di sini. Di luar pagar, di luar hatimu. Menunggu, meski pintu gak pernah dibuka.”
Batin Anya dalam hati“Kenapa hatiku masih bergetar setiap kali dia menyebut ‘rumah’? Kenapa suaranya masih bisa merobek pertahananku yang ku bangun bertahun-tahun? Aku benci dia... tapi bagian kecil dalam diriku masih... ingin dia sembuh. Untuk aku yang dulu.”
Pencahayaan hangat dari lampu temaram ruang tamu menciptakan suasana intim tapi penuh ketegangan.
Suara detik jam dinding terdengar jelas saat Anya menahan napas simbol waktu yang seakan berhenti karena luka lama kembali terbuka.
Mama Anya hanya bisa menatap sambil menggenggam tisu di tangannya, tahu bahwa apapun keputusannya… hanya Anya yang bisa menentukan.
***
"Mama… jangan benci Papa lagi.”suara Alvino terdengar.
Anya dan Adipati langsung menoleh. Adipati refleks melangkah, tapi terhenti setengah jalan. Alvino menuruni tangga perlahan, lalu berlari dan langsung memeluk erat tubuh ayahnya
Alvino terisak, menatap Anya dari pelukan Adipati“Terima Papa lagi, Ma… Kalau Mama dan Papa benar-benar berpisah... itu artinya Al harus milih. Kalau Al pilih Papa, berarti Al kehilangan Mama... kalau Al pilih Mama, berarti Al kehilangan Papa... dan Al pikir… lebih baik Al mati aja…”
Tangisan Alvino pecah. Adipati membeku, matanya merah. Anya terpaku di tempat, tubuhnya limbung. Mama Anya menutup mulut dengan tangan, terisak di balik kursi.
Anya bergetar, suara nyaris tak keluar“Al... jangan bicara kayak gitu, Nak… Jangan pernah bilang begitu...”
Alvino menangis kencang“Lalu Al harus apa? Al mau kita bareng lagi kayak keluarga! Papa suapin Al bubur ayam di taman, Mama bacain buku dongeng sebelum Al tidur. Sekarang Papa cuma ngasih Al hadiah dari jauh, Mama cuma kerja terus... Al capek!”
Anya mulai meneteskan air mata. Ia perlahan berjalan mendekat, lalu berlutut di depan putranya. Tangannya mengelus kepala Alvino yang masih memeluk Adipati.
Anya suara pecah, lembut“Maaf ya, Al... Mama pikir Mama kuat sendiri. Mama pikir kalau Mama benci Papa, semuanya bakal sembuh. Tapi... ternyata luka Mama gak pernah benar-benar pergi.”
Adipati menunduk, bibirnya bergetar. Ia mengangkat kepala perlahan, matanya bertemu mata Anya yang kini berlinang air mata“Al adalah hal terbaik yang pernah kita punya, Anya. Aku salah, aku berdosa... tapi jangan biarkan dosa itu juga merusak anak kita. Kalau aku harus menebus semuanya dengan berdiri di depan rumahmu setiap pagi... aku rela. Tapi jangan biarkan Al kehilangan kita dua-duanya.”
Alvino masih terisak sedih sesenggukan “Al cuma mau Mama dan Papa bareng lagi... Al janji gak akan nakal… Al janji gak akan minta mainan mahal lagi… asal Mama dan Papa baikan…”
Anya tak tahan lagi. Ia menarik Alvino dalam pelukannya, memeluk erat tubuh kecil itu. Adipati menunduk, air mata jatuh ke lantai.
Anya berbisik ke telinga anaknya“Maafin Mama ya, Al… Maafin Mama…”
Adipati dengan nada pelan“Anya ... aku gak minta kamu langsung maafin aku... Tapi izinkan aku membuktikan kalau aku gak akan jadi pria yang sama lagi. Bukan buat kamu aja… tapi buat dia.”
Anya mengangguk kecil, masih memeluk Alvino. Dalam diam, hatinya belum luluh, tapi dinding-dinding yang ia bangun mulai retak.
Suara azan magrib dari kejauhan terdengar samar. Seakan mengingatkan mereka bahwa ada waktu untuk menebus kesalahan, dan bahwa akhir tidak selalu harus pahit.
Kamera mengarah pada foto lama pernikahan mereka yang ada di rak kayu tertutup debu, tapi belum pernah dibuang.
Mama Anya diam-diam menghapus air mata, lalu perlahan meninggalkan ruangan, membiarkan mereka bertiga dalam pelukan yang hangat namun penuh luka lama yang mulai sembuh perlahan. " Itu sudah paling benar Anya , kamu harus memberikan kesempatan kedua untuk Adipati nak."
" Iya ma, aku setuju asal mas Pati tidak pernah mengulang kembali kesalahan yang pernah dia buat. Anya juga ingin mas Pati berubah dan tidak lagi terjerumus dalam lubang yang sama. Karena hanya keledai yang jatuh dua kali ke lubang yang sama." kata Anya dengan suara tegas.