Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Menggulung Sarang Bandit
Lewat tengah malam, hutan di pegunungan benar-benar gelap gulita. Yang terdengar hanya suara angin menderu—malam itu dinginnya luar biasa menusuk. Tapi para prajurit yang bergerak di tengah malam itu tidak merasa kedinginan sedikit pun. Yang mereka rasakan justru semangat dan adrenalin yang membuncah karena bentrokan besar akan segera terjadi.
Meski jumlah bandit tidak banyak, mereka tetap tak bisa meremehkan lawan. Mereka memanjat gunung dengan hati-hati, tanpa penerangan malam atau mata tajam seperti milik Mu Yao. Mereka hanya mengandalkan pengalaman, naluri, dan kekompakan tim.
Jalan di gunung terjal dan berbatu. Mereka juga harus waspada terhadap penjaga tersembunyi. Butuh waktu hampir satu jam bagi pasukan Jenderal Qiu untuk sampai ke tujuan—sebuah kompleks di lereng gunung.
Tempat itu cukup datar dan tak banyak pepohonan, jadi cahaya bulan yang dingin jatuh langsung ke tanah, menciptakan suasana yang sunyi dan mencekam.
Jenderal Qiu memberi isyarat agar semua prajurit jongkok, lalu dia sendiri merayap ke atas, membaringkan diri di atas salju. Di depannya ada tanah lapang yang jaraknya sekitar tiga puluh meter dari gerbang markas bandit. Gerbang itu tertutup rapat, dan temboknya tinggi sekitar enam meter—tak mudah untuk dipanjat. Di kedua sisi dalam pagar dekat gerbang berdiri dua menara kayu kecil. Dari menara di sebelah kiri tampak cahaya remang-remang dan suara orang tertawa sambil bermain dadu.
Sebelum naik gunung, Jenderal Qiu sudah mengantongi informasi soal sistem keamanan tempat ini. Setiap menara dijaga oleh sepuluh bandit yang bergiliran patroli. Menara kiri patroli di paruh malam pertama, dan menara kanan mengambil alih di paruh malam kedua. Setiap jam, tujuh orang berkeliling, sementara tiga sisanya berjaga di tempat. Mereka hanya keluar lewat pintu kecil di sebelah gerbang utama, berkeliling pagar, lalu kembali. Kalau ada masalah, cukup tiup peluit bambu, maka seluruh kompleks akan mendengar.
Tembok tinggi dan tak ada pohon untuk dipanjat—satu-satunya cara masuk adalah lewat gerbang, dan mereka hanya punya waktu setengah jam. Untungnya, mereka membawa tali panjat khusus.
Setelah memastikan ronde patroli selesai, Jenderal Qiu mengirim dua regu berisi dua puluh orang untuk menyusup ke dua menara penjaga. Mereka dengan cepat memanjat tembok menggunakan tali, lalu masuk ke dalam.
Regu kanan berhasil menyingkirkan para penjaga di menara tanpa kesulitan. Setelah itu, mereka membuka gerbang dari dalam. Tapi regu kiri tidak seberuntung itu. Meski berhasil menghabisi semua penjaga, salah satu bandit sempat meniup peluit bambu sebelum mati. Suara nyaring itu menembus kegelapan malam dan membangunkan seluruh markas.
Pemimpin bandit, Chu Xiong, yang sedang tidur nyenyak sambil memeluk selir barunya, langsung bangun dan mengambil golok besar berbentuk bulan sabit yang tergantung di dinding. Di saat yang sama, penasihat dan beberapa kepala kecil juga bergegas keluar. Chu Xiong memimpin anak buahnya menuju arah suara peluit sambil memaki, "Belum pernah sebelumnya orang bisa sampai nembus gerbang! Anak buah di depan kerja apa sih?! Kenapa nggak tiup peluit?!"
Belum sampai di depan, mereka sudah mendengar teriakan dan suara bentrokan. Ternyata pertempuran sudah pecah di halaman depan. Chu Xiong tinggal di tengah kompleks, jadi butuh waktu untuk sampai ke lokasi. Saat dia tiba, dari delapan puluh bandit yang berjaga di depan, lebih dari separuh sudah tewas atau terluka. Bandit-bandit itu memang tangguh, tapi mereka tidak siap. Banyak yang bahkan belum sempat memakai baju lengkap!
Chu Xiong melihat anak buahnya bergelimpangan di tanah, darahnya mendidih. Mereka adalah saudara seperjuangannya! Dendam ini harus dibayar! Begitu dia bergabung, tekanan di barisan depan sedikit berkurang. Dengan golok besarnya, dia menebas beberapa prajurit hanya dalam hitungan detik—sampai akhirnya Jenderal Qiu maju menghentikannya.
Sayangnya, Jenderal Qiu hanyalah seorang komandan dari pasukan patroli kecil, tentu saja kalah kuat dibanding Chu Xiong yang gahar dan garang. Setelah bertarung tiga puluhan kali serang, Jenderal Qiu terkena sabetan di bahu kirinya, lalu ditendang jatuh. Saat Chu Xiong bersiap menebasnya lagi, tiba-tiba muncul Gao Dali dari pintu samping dan menghadangnya.
Gao Dali sesuai namanya—kuat luar biasa, meski otaknya lambat. Tapi dia punya kelebihan: nurut. Saat beradu senjata, satu tebasannya membuat Chu Xiong kaget, pergelangan tangannya sampai mati rasa. “Wah, tenaganya gede juga!” gumamnya. Dia pun tak berani lengah dan mulai bertarung serius.
Meski otaknya kosong, Gao Dali jago bertarung. Mereka adu senjata sampai delapan puluh jurus, masih belum ada pemenang. Tapi nasib anak buah Chu Xiong tak seberuntung itu. Meski ditambah pasukan dari belakang, jumlah mereka tak sampai seratus orang—sementara pasukan lawan dua kali lebih banyak. Setelah lebih dari setengahnya tewas, semangat mereka mulai runtuh. Ini kekalahan paling parah sepanjang sejarah mereka!
Dari empat kepala kecil, tiga sudah mati. Yang satu lagi sudah megap-megap. Kalau diteruskan, mereka semua akan habis!
Penasihat Chu Xiong melihat situasi makin buruk, langsung teriak, “Kabur! Cepat pergi, Boss!” Masih ada hari esok untuk balas dendam. Chu Xiong memang bukan orang bodoh. Kalau tidak, sudah lama dia mati! Dia sadar situasi tak menguntungkan, jadi memimpin sisa anak buahnya kabur lewat pintu belakang.
Di belakang markas memang ada pintu kecil tersembunyi, di balik pohon besar—cukup untuk satu orang lewat. Pintu itu tidak menghadap jalan menurun, tapi miring ke kiri sekitar seratus meter agar tak mudah ditemukan. Karena bertahun-tahun tak pernah dipakai, semak belukar tumbuh lebat dan menutup pintu sepenuhnya.
Mu Yao dan timnya tak tahu soal pintu belakang ini. Bandit yang mereka tangkap sebelumnya masuk dari depan, jadi juga tak tahu.
Berdasarkan pengalamannya, Mu Yao memang sengaja memilih untuk menjaga belakang. Kalau tidak dan bandit-bandit itu berhasil kabur, bisa jadi ancaman besar buat Desa Xiaonan ke depannya.
Saat tiba di belakang gunung, Mu Yao sempat menyisir area, bahkan sempat lewat depan pintu kecil itu tapi tak sadar itu pintu, apalagi malam gelap dan bentuknya menyatu dengan tembok.
Mu Yao tidak memaksa naik tembok karena tidak terdengar bunyi terompet peringatan dari depan. Itu artinya mereka masih bisa mengendalikan situasi. Tugas Mu Yao sekarang adalah menjaga wilayah belakang—ini seperti pelajaran militer di kehidupan sebelumnya: taat pada perintah! Meski sekarang dia bukan tentara, rasa tanggung jawab itu sudah mendarah daging.
Saat suara pertempuran di depan mulai mengecil, artinya pertempuran akan segera selesai. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki tergesa dari arah barat. Suaranya berhenti di pojok tembok.
Bandit kabur!
Mu Yao langsung ambil tindakan dan bergerak ke sana. Baru saja dia berdiri di pojok, seorang bandit keluar dari balik tembok. Begitu wajahnya terlihat oleh cahaya bulan, Mu Yao langsung mengayunkan pedangnya. Srak! Bandit itu ambruk. Bandit lain belum tahu apa yang terjadi dan mulai merangkak keluar. Baru saja kepalanya muncul, langsung dipenggal.
Chu Xiong yang merasa situasi tak beres memanjat pohon dan lompat ke bawah, menebas Mu Yao.
Tapi Mu Yao sudah siap. Ia menangkis serangan Chu Xiong dan langsung bertarung. Kalau melawan Jenderal Qiu dia masih santai, melawan Mu Yao justru dia kewalahan. Bahkan di masa jayanya pun, Chu Xiong bukan tandingan Mu Yao. Baru tiga jurus, Mu Yao berhasil menjatuhkannya dengan sapuan kaki. Sialnya, tulang ekor Chu Xiong tepat mendarat di atas batu runcing. “Aduh!” jeritnya. Baru mau bangun, kakinya langsung diinjak oleh Mu Yao. Krak! Krak! Kedua kakinya patah. Chu Xiong pingsan seketika. Prajurit yang melihat kejadian itu langsung melongo. Bahkan penasihatnya pun kaget bukan main. Bos mereka dihajar habis-habisan sama anak perempuan!
Tak lama kemudian, Gao Dali datang dengan pasukan. Sisa dua puluhan bandit juga dibereskan. Tinggal Chu Xiong dan penasihatnya yang masih hidup. Gao Dali tadinya mau pukuli Chu Xiong buat balas dendam, tapi karena dia udah pingsan, akhirnya pelampiasannya jatuh ke penasihatnya. Penasihat itu sebenarnya cuma cendekiawan miskin yang pernah ditolong Chu Xiong. Meski sempat belajar bela diri, mungkin Mu Xiao pun bisa mengalahkannya. Apalagi Gao Dali! Usai dihajar habis-habisan, napasnya tinggal satu-satu. Mu Yao cepat-cepat mencegah agar dia tidak sampai tewas. Setelah interogasi, mereka yakin tidak ada sisa bandit lain di luar, barulah Mu Yao merasa tenang.
Karena Jenderal Qiu terluka, Mu Yao bantu obati lukanya dengan ramuan yang dia temukan di markas. Tak ingin membuat keluarganya khawatir, dia pamit dan turun gunung duluan. Urusan selanjutnya biar jadi tanggung jawab pihak lain. Saat sampai di kaki gunung, barulah dia melihat pasukan resmi dari Kabupaten Daluo datang terlambat.
Mu Yao hanya bisa menghela napas, “Pantas aja bandit susah diberantas…”