Sinopsis:
Nayla cuma butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Tapi hidup malah ngasih tawaran gila: kawin kontrak sama Rayyan, si CEO galak yang terkenal perfeksionis dan nggak punya hati.
Rayyan butuh istri pura-pura buat menyelamatkan citranya di depan keluarga dan pemegang saham. Syaratnya? Nggak boleh jatuh cinta, nggak boleh ikut campur urusan pribadinya, dan harus bercerai setelah enam bulan.
Awalnya Nayla pikir ini cuma soal tanda tangan kontrak dan pura-pura mesra di depan umum. Tapi semakin sering mereka terlibat, semakin sulit buat menahan perasaan yang mulai tumbuh diam-diam.
Masalahnya, Rayyan tetap dingin. Atau... dia cuma pura-pura?
Saat masa kontrak hampir habis, Nayla dihadapkan pilihan: pergi sesuai kesepakatan, atau tetap tinggal dan bertaruh dengan hatinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang andika putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Viral yang Gak Diinginkan
Gue kirim draft lengkap itu ke editor freelance langganan gue, kak Tami, yang biasa bantu proofread dan layout. Dia orangnya profesional banget, cepet, dan biasanya selalu jaga privasi.
Tapi... malamnya, sebelum ada email balasan darinya, notifikasi HP gue meledak.
Twitter.
Trending nomor 4:
#PenulisPencuri
Dan yang bikin dada gue langsung nyesek: ada potongan PDF berjudul "Bab Tambahan: Penyesalan Seorang Penulis", lengkap sama nama gue.
Gue buka salah satu cuitan:
“Jadi penulis favorit kalian ternyata pernah nyolong karya orang lain. Layak gak sih dia masih dapat panggung?”
Terus yang lain:
“Nayla ngaku pernah ‘gak sengaja’ ambil karya temennya. Tapi kok baru sekarang ngaku? Pas lagi ribut sama penerbit?”
“Apapun alasannya, orang kayak gini gak pantas jadi contoh buat penulis muda.”
Dan yang lebih parah... akun-akun bot mulai nyerang. Komennya kejam, penuh kebencian, gak pake ampun.
Gue duduk di lantai kamar, nahan napas sambil liatin layar. Tangan gue gemeteran.
“Gue cuma mau jujur…”
Tapi dunia maya gak selalu terima kejujuran.
Rayyan masuk, ngelihat muka gue pucat. Dia langsung ngerampas HP gue dan matiin semua notif.
“Lo gak perlu liat semua itu. Lo tahu siapa lo. Dan gue juga tahu. Udah cukup.”
“Tapi gimana kalo karir gue bener-bener hancur, Yan? Semua penerbit bakal blacklist gue.”
“Kalau mereka milih percaya gosip daripada naskah jujur lo, mereka gak pantes nerbitin lo.”
Gue gak bisa ngomong apa-apa. Tapi pelukan Rayyan malam itu jadi satu-satunya alasan gue masih bisa tidur walau cuma dua jam.
Besoknya,
Rani nelpon sambil nangis.
“Gue liat Twitter, Nay. Gila, parah banget. Tapi tahu gak? Justru karena lo berani ngakuin semuanya duluan, sekarang kita punya senjata balik.”
“Senjata apa? Nama gue udah kotor, Ran.”
“Justru karena itu. Kita ubah ending buku kita. Bab terakhir bukan soal David. Tapi tentang lo. Dan tentang kita yang bangkit walau dunia nyinyir.”
Malam itu, gue dan Rani sepakat buat ubah ending naskah.
Judul baru:
“Cerita yang Dicuri: Dari Luka Jadi Luka Baru, Tapi Tetap Jalan Terus.”
Dan waktu kita kirim ke penerbit indie yang selama ini support penulis kecil...
mereka bilang: “Kami akan terbitkan ini. Dan kami akan bantu promosi. Karena ini lebih dari sekadar buku. Ini pengakuan dan perlawanan.”
Dua hari setelah pengumuman bukunya bakal diterbitin secara indie, gue lagi scroll HP sambil nunggu Rani di kafe, tiba-tiba notif muncul.
Podcast trending #1 di Spotify: “Cerita Di Balik Cerita – Bareng Elang”
Gue langsung kaku.
Gue pencet play. Suara pembuka langsung bikin kepala gue nyut-nyutan.
“Hari ini, kita kedatangan tamu spesial. Penulis yang pernah kerja bareng Nayla Adinegara, yang sekarang lagi viral. Siap-siap denger versi lain dari cerita ‘jujur’ yang kalian baca di Twitter. Welcome, Elang.”
Suara itu.
Suara yang udah 7 tahun gak gue denger.
Sekarang dia muncul... dan nyerang.
“Gue gak pernah dapet permintaan maaf langsung. Gue denger soal dia ‘ngaku’ dari orang lain. Dan jujur aja, itu kerasa kayak cari simpati. Bukan penyesalan asli.”
“Waktu naskah itu dikirim ke penerbit, nama gue gak ada. Dan gue gak pernah dikasih penjelasan. Bahkan sampe sekarang. Jadi kalau kalian bilang dia korban karena ceritanya dicuri David... lucu aja. Karena gue juga korban, dari dia.”
Podcast itu rame. Komentarnya... makin kejam.
“Lah? Jadi Nayla dua kali nyolong karya? Pantes David juga berani main ancam-ancaman.”
“Team Elang sekarang. Maaf, Nayla. Lo cuma akting aja kayaknya.”
Gue tutup HP.
Napas gue berat. Gak bisa neken air mata yang tiba-tiba jatuh satu-satu ke atas meja.
Rani dateng. Liat gue, langsung narik kursi dan duduk di depan gue.
“Lo denger podcast-nya?”
Gue angguk, lemes.
“Dia bener, Ran. Gue gak pernah minta maaf langsung. Gue takut.”
Rani narik napas dalam, lalu ngomong serius:
“Oke. Sekarang waktunya lo benerin. Tapi bukan buat netizen. Bukan buat klarifikasi di medsos. Tapi buat Elang. Langsung.”
“Lo mau gue ketemu dia?”
“Kalau lo siap. Kalau lo gak pengen dibayangin masa lalu terus, lo harus hadapin. Bukan buat ngebela diri, tapi buat nutup luka lo sendiri.”
Besoknya, gue kirim DM ke Elang.
“Gue denger podcast lo. Gue gak akan bela diri. Tapi gue pengen ketemu. Biar gue bisa minta maaf langsung, kayak yang harusnya gue lakuin dari dulu.”
Beberapa jam kemudian, dia bales.
“Temui gue di taman kampus. Hari Minggu. Jam 4.”