NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6: Jejak Darah dan Titik Terang

Fajar menyelinap perlahan di balik kabut tipis, menyinari rumah tua yang masih menyimpan bau tanah basah dan kenangan yang belum reda. Cahaya pagi menembus celah-celah jendela pecah, menciptakan bayangan panjang yang menyerupai jari-jari waktu, menggoreskan kisah yang mulai menemukan benangnya.

Aisyah duduk bersila di atas sajadah lusuh, tangannya masih gemetar memegang mushaf kecil yang sudah menguning. Ayat demi ayat ia lafazkan lirih, membungkus pagi dengan gema suci yang menenangkan. Suaranya bergetar, namun matanya tampak lebih mantap dari sebelumnya. Ada sesuatu dalam jiwanya yang mulai menemukan arah, walau jalan masih diselimuti kabut.

Khaerul memperhatikannya dari ambang pintu, diam-diam merasa kagum. Sosok Aisyah yang dulu dipenuhi luka dan kekeliruan kini tampak seperti cahaya yang menembus malam—rapuh tapi tegar, penuh rahasia namun tetap bersandar pada keimanan.

“Baru kali ini aku melihatmu setenang ini,” ucap Khaerul pelan.

Aisyah tersenyum samar. “Bukan ketenangan yang kutemukan, tapi kepasrahan. Setelah semua gelap itu... aku sadar bahwa hanya kembali pada Allah yang membuatku tetap waras.”

Khaerul berjalan mendekat, duduk di hadapannya. Matanya memandangi mushaf kecil di tangan Aisyah. “Itu milik ibumu, bukan?”

Aisyah mengangguk. “Ibu menulis nama kecilku di bagian belakangnya. Tapi yang mengejutkan... ada nama lain tertulis di sana. Nama yang sama dengan ibumu.”

Khaerul menegang. “Nama ibuku?”

Aisyah mengeluarkan secarik kertas tua dari dalam mushaf. Tulisan tangan yang rapuh menyebutkan dua nama: Nuraini binti Mahfudz dan Halimah binti Mahfudz. Dua perempuan yang lahir dari rahim yang sama.

“Nuraini adalah ibumu. Halimah... adalah ibuku.”

Khaerul menatap Aisyah dengan mata membelalak, dadanya berdegup keras. “Berarti... kita sepupu?”

Aisyah mengangguk perlahan, hatinya berkecamuk antara kejut dan haru. “Aku tidak tahu, apakah ini takdir yang menyatukan atau justru cara Allah menunjukkan betapa rumitnya garis darah ini.”

Diam tercipta di antara mereka. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan hening yang penuh dengan perenungan. Perlahan, kerumitan hubungan mereka menjadi titik terang yang menjelaskan banyak teka-teki.

“Tak heran... sejak pertama kali melihatmu, aku merasa seperti mengenalmu lebih dalam dari sekadar pandangan biasa,” gumam Khaerul. “Mungkin bukan hanya hati kita yang terhubung, tapi darah juga.”

Aisyah memejamkan mata. “Hubungan ini... membuat segalanya semakin rumit. Tapi aku percaya, jika kita tetap di jalan yang benar, Allah akan tunjukkan jalan keluarnya.”

Pagi itu, tidak hanya membawa cahaya pada langit yang sempat gulita, tapi juga menyibak sedikit tirai misteri yang selama ini menutupi masa lalu. Aisyah dan Khaerul tahu, perjalanan mereka masih panjang. Namun, dengan kebenaran yang mulai tampak dan hati yang mulai terbuka, mereka siap untuk menghadapi babak berikutnya—bersama, dengan cinta yang tumbuh perlahan dan cahaya iman yang mulai menerangi.

Namun belum sempat suasana damai itu mengendap lebih dalam, suara dentingan logam terdengar dari balik lantai kayu rumah tua itu. Seolah ada sesuatu yang menggeser. Khaerul dan Aisyah saling pandang, lalu serentak berdiri.

Di bawah rak buku yang telah lapuk, tersembunyi papan lantai yang tampak sedikit lebih renggang dari yang lain. Dengan hati-hati, Khaerul mengangkatnya. Debu mengepul, memperlihatkan sebuah kotak besi kecil dengan gembok berkarat.

“Ini... sepertinya sengaja disembunyikan,” bisik Khaerul.

Aisyah berlutut, mengusap lapisan debu yang menutupi bagian atas kotak itu. Terukir inisial: M.B.—Mahfudz Bin...

“Tulisan ini sama dengan cap di surat warisan yang pernah kulihat di rumah nenek,” ujar Aisyah pelan. “M.B. adalah Mahfudz bin Ibrahim... kakek dari pihak ibu.”

Kotak itu berhasil dibuka dengan kunci tua yang tergantung di mushaf. Di dalamnya, terlipat rapi sebuah buku catatan kulit. Lembarannya penuh tulisan tangan, sebagian sudah mulai pudar.

Catatan itu adalah jurnal Mahfudz sendiri—leluhur mereka. Namun isinya bukan hanya kisah keluarga, melainkan rahasia-rahasia kelam: konflik warisan, anak yang disembunyikan dari silsilah, dan jejak kekuasaan yang berujung pada kematian misterius.

“Ini... mencatat bahwa Halimah bukan anak kandung Mahfudz. Ia anak angkat dari sahabat Mahfudz yang terbunuh dalam kecelakaan misterius,” ujar Aisyah gemetar.

Khaerul menatap tajam halaman berikutnya. “Dan Nuraini... justru dituliskan sebagai satu-satunya pewaris sah yang dicoret dari silsilah karena menolak dijodohkan dengan seorang tokoh berpengaruh.”

Semua mulai terjalin. Misteri yang selama ini menggantung, benang-benangnya perlahan menunjukkan ujung. Namun semakin terang catatan itu, semakin gelap pula bayangan ancaman yang kini menghantui.

“Ada yang tak ingin catatan ini terbuka,” bisik Khaerul. “Dan mungkin... mereka masih mengawasi.”

Di luar rumah, angin kembali berembus kencang. Di kejauhan, sosok misterius mengamati mereka dari balik rerimbunan. Langkah-langkah cerita ini belum selesai. Tapi bagi Aisyah dan Khaerul, mereka telah membuka pintu rahasia yang selama ini hanya dibisikkan oleh bayang-bayang.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!