Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Malam telah larut, udara di sekitar mansion Darmawan terasa lebih sejuk, ditingkahi suara serangga malam dari halaman yang luas. Di dalam kamar bernuansa hangat dengan aroma lavender lembut, Oma Margaret tengah bersiap untuk tidur.
Maura dengan sigap membantu Oma naik ke tempat tidur, menyusun bantal agar nyaman, lalu menyodorkan gelas berisi air putih dan beberapa butir obat yang harus diminum sebelum tidur.
“Ini obat lambung dan vitamin Oma,” ucap Maura lembut sambil duduk di tepi ranjang.
“Terima kasih, Maura,” ujar Oma dengan senyum hangatnya.
Setelah memastikan semuanya aman dan Oma sudah nyaman di balik selimut hangat, Maura bangkit berdiri. Ia mematikan lampu utama kamar, menyisakan cahaya redup dari lampu sudut yang temaram.
“Kalau ada apa-apa tinggal panggil ya, Oma. Aku tidur nggak jauh dari kamar ini,” kata Maura sambil menoleh sebelum keluar.
Oma mengangguk pelan. “Kamu gadis baik, Maura. Oma tenang kalau ada kamu di sini.”
Pintu tertutup perlahan, meninggalkan keheningan damai di kamar tua itu.
Sementara itu, Shaka berjalan santai menyusuri lorong lantai dua. Ia tidak pergi ke kamar tamu seperti malam-malam biasanya, karena di mansion ini, Shaka memang memiliki kamar khusus yang sudah lama disiapkan sejak ia masih kecil. Kamar itu berada di ujung koridor, dengan balkon yang menghadap langsung ke taman belakang mansion.
Ia melihat maura yang keluar dari kamar sang Oma menuju kamar di samping kamar Oma nya.
Ia tak memperdulikannya ,ia segera membuka pintu, aroma familiar menyambutnya—kayu tua, buku-buku lawas, dan sedikit aroma lavender dari diffuser yang ternyata masih menyala. Kamar itu masih rapi seperti terakhir kali ia tinggali, seakan Oma tak pernah membiarkan siapa pun menyentuhnya.
Ia menggantung jasnya di kursi, membuka kancing kemeja bagian atas lalu merebahkan diri di ranjang besar bersprei putih bersih. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang sama seperti dulu—saat kedua orang tuanya masih ada.
Hening.
Ia segera bangkit membersihkan tubuhnya dan berganti piyama tidur.ia bersiap menuju tempat tidur. Ia merebahkan tubuh nya. Namun pikirannya belum sepenuhnya tenang. Bayangan Maura yang terus berteriak memanggilnya "pria mesum" tadi, terus berputar di kepalanya. Untuk pertama kalinya, Shaka merasa tak punya kontrol atas keadaan. Dan itu membuatnya gelisah… tapi juga sedikit… hangat.
Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi mata nya seakan tak mau terpejam.malam ini terasa berbeda. Mansion ini tak lagi sepi seperti biasanya .
Malam telah larut. Jam menunjukkan hampir pukul dua dini hari. Di luar, hujan mulai turun pelan, mengetuk lembut jendela besar di kamar Shaka. Udara terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Tapi bukan udara yang membuat Shaka tak bisa tidur malam ini. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya… atau lebih tepatnya, seseorang.
Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan kaos santai dan celana panjang. Rambutnya sedikit berantakan, mata tajamnya terlihat sayu namun gelisah. Langkah kakinya perlahan menyusuri lorong panjang di lantai dua. Entah kenapa, seakan ada kekuatan tak terlihat yang menariknya menuju kamar di ujung lorong.
Kamar Maura.
Shaka berdiri beberapa saat di depan pintu itu. Tangannya terangkat, hendak mengetuk… tapi ia urungkan. Sebaliknya, ia memutar handle pintu dengan sangat perlahan, nyaris tak bersuara. Dan ternyata, pintu itu tak dikunci.
“Gadis ceroboh,” gumamnya pelan, dengan nada penuh teguran namun ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan.
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan ruangan yang temaram hanya diterangi lampu sudut. Aroma khas sabun dan lavender menyambutnya, aroma lembut yang sama seperti saat ia tak sengaja bersentuhan dengan Maura di siang hari. Pandangannya langsung jatuh pada sosok yang tengah terlelap di ranjang.
Maura tidur dengan posisi menyamping, wajahnya menghadap ke arah pintu. Selimut tebal menutupi tubuhnya sampai leher, hanya menyisakan wajah mungilnya yang tampak tenang dan damai. Beberapa helaian rambut jatuh di wajahnya, bibirnya sedikit terbuka. Nafasnya teratur.
Shaka menahan napas. Jantungnya berdetak tak beraturan, seolah ia baru saja melihat sesuatu yang terlalu indah untuk disentuh.
Ia melangkah masuk, perlahan, seperti takut membangunkan gadis itu dari mimpi. Pandangannya tak lepas dari wajah Maura. Tak ada riasan, tak ada polesan apapun. Tapi entah kenapa, baginya, wajah itu... membuat dunia berhenti berputar.
“Kamu beda,” bisik Shaka lirih. “Kamu bukan seperti perempuan yang pernah aku temui.”
Ia duduk di sisi ranjang, tak menyentuhnya, hanya menatap. Lalu, dengan gerakan lembut, ia merapikan selimut Maura yang sedikit tergeser. Tangan besarnya berhenti sejenak di pinggir selimut, seolah ragu. Ia menyingkap sedikit rambut yang menutupi wajah maura.
“Sial... kenapa aku malah begini?” lirihnya lagi, mengusap wajahnya sendiri dengan satu tangan.
Shaka berdiri, memutar tubuh hendak keluar. Tapi sebelum ia mencapai pintu, ia menoleh sekali lagi. Pandangan matanya tak seperti biasanya yang dingin dan penuh wibawa. Malam itu, tatapan Shaka begitu rapuh… seolah ia takut, takut kalau gadis itu benar-benar akan masuk ke hidupnya dan mengguncang semua pertahanannya.
“Aku bahkan nggak tahu siapa kamu sebenarnya, tapi kenapa kamu bisa masuk ke pikiranku begini?” gumamnya, lalu membuka pintu dan menutupnya pelan.
Di balik pintu yang tertutup, Maura membuka matanya perlahan. Ia terbangun ketika Shaka menyentuh wajah nya.
Matanya memancarkan kekhawatiran.
Ia tak tahu apa yang akan dilakukan Shaka pada nya tadi.
Cahaya matahari pagi menembus jendela besar di dapur mansion Darmawan, menyinari wajah Maura yang sudah sibuk sejak subuh. Dengan cekatan, ia mempersiapkan sarapan kesukaan Oma Margaret—bubur ayam lembut dengan irisan telur rebus dan segelas susu hangat. Di sisi lain dapur, beberapa asisten rumah tangga juga tengah menyiapkan hidangan lengkap dan secangkir kopi hitam untuk Shaka, yang pagi itu akan kembali ke kantor.
Oma Margaret sudah rapi dengan gaun rumah berwarna pastel lembut, rambutnya disisir rapi, dan wajahnya tampak lebih segar dari biasanya. Ia berjalan pelan ke ruang makan, dibantu oleh tongkat kesayangannya. Maura menyambutnya dengan senyum ramah, lalu dengan sigap menarikkan kursi dan membantunya duduk. Semua keperluan Oma sudah tertata sempurna di meja.
“Terima kasih, Maura. Kamu sangat telaten,” puji Oma sambil tersenyum hangat.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki tegas terdengar dari arah tangga. Shaka muncul dengan jas kerja berwarna gelap, rambutnya disisir rapi, aura maskulinnya langsung memenuhi ruangan. Ia menatap meja makan, lalu duduk dengan tenang di kursi yang biasa ia tempati.
“Pagi, Oma. Pagi… Maura,” sapanya singkat, namun matanya sempat terhenti sesaat pada gadis itu.
“Pagi,” jawab Maura pelan, berusaha menghindari tatapannya.
Saat semua telah duduk dan mulai sarapan, Oma menoleh pada Maura. “Ayo, kamu juga duduk dan sarapan. Oma takut kamu telat ke kampus.”
Maura sempat menolak halus, tapi Oma tak mau dengar alasan. Akhirnya, ia menurut dan duduk di ujung meja, menikmati makan dalam diam bersama mereka.
Setelah sarapan selesai, Maura bangkit dan bersiap pamit. Ia menyandang tas, lalu membungkuk sopan ke arah Oma.
“Saya berangkat, Oma . Terima kasih untuk sarapannya.”
Namun Oma segera menahan, “Shaka, antar Maura sekalian. Mobilmu juga lewat jalan kampus, kan?”
Maura buru-buru menggeleng. “Nggak usah, oma. Aku naik bus saja. Nggak mau merepotkan.”
Tapi Shaka hanya diam, meneguk kopinya sambil menatapnya datar.
“Nggak ada merepotkan. Sudah, ikut saja,” timpal Oma, kali ini dengan nada tak bisa dibantah.
Maura masih mencoba menolak, tapi tatapan tajam Shaka dan dorongan lembut dari Oma membuatnya tak berkutik. Ia hanya menghela nafas, lalu mengangguk pasrah.
“Baiklah…”
Shaka bangkit lebih dulu, merapikan jasnya. “Ayo, nanti malah makin telat,” ucapnya dingin, lalu berjalan menuju pintu keluar.
Maura menyusul, masih dengan wajah sedikit kesal. Oma hanya tersenyum puas, lalu kembali menyesap susunya perlahan. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang perlahan mulai berubah antara keduanya.
Mobil hitam mewah dengan kaca gelap berhenti tepat di depan pintu utama mansion. Sopir pribadi Shaka dengan sigap membukakan pintu belakang. Shaka masuk lebih dulu tanpa berkata apa pun, duduk dengan tenang di sisi kanan. Maura masih ragu di ambang pintu, memandangi mobil itu seperti sedang menimbang takdirnya.
“Apa kamu butuh undangan khusus buat naik?” suara Shaka terdengar dari dalam, dingin namun jelas mengandung nada menggoda samar.
Maura mendengus pelan, lalu masuk dan duduk di sisi berlawanan. Jarak antara mereka terasa seperti dua dunia yang berbeda. Mobil mulai melaju pelan meninggalkan gerbang Darmawan yang megah.
Selama beberapa menit, hanya ada suara AC dan deru pelan mesin mobil. Maura menggenggam tali tasnya erat-erat, menatap keluar jendela dengan ekspresi kaku. Sementara Shaka sesekali melirik ke arahnya lewat sudut mata, tak berkata apa-apa.
“Kamu selalu gitu ya? Menuduh orang tanpa lihat dulu siapa mereka?” tiba-tiba Shaka membuka suara, membuat Maura menoleh cepat.
“Aku kira kamu... ya, kamu masuk kamar cewek malam-malam tanpa izin. Normalnya itu aneh,” balas Maura cepat, pipinya sedikit memerah, entah karena malu atau masih kesal.
Shaka terkekeh pelan, suara tawa yang begitu langka. “ aku tau semalam…..Kalau mau dibilang aneh, kamu juga nggak kunci pintu. Gampang dimasuki siapa saja.”
Maura makin kesal, matanya menatapnya tajam. “Aku nggak nyangka ada pria yang senekat itu masuk kekamar cewek sembarangan !”
“ aku hanya memastikan saja ,” jawab Shaka gugub. “Dan aku nggak nyangka ada gadis yang teriak ‘mesum’ di depan pelayan dan nenekku.kau tau aku bukan orang seperti itu.”
Maura memutar bola matanya, sementara Shaka menahan senyum. Untuk pertama kalinya sejak lama, suasana pagi yang biasanya dingin kini terasa lebih hidup baginya.
Sopir memberitahu bahwa mereka hampir tiba. Maura memperbaiki duduknya, bersiap turun.
“Terima kasih... udah dianter,” ucap Maura pelan, tetap tanpa menatapnya.
Shaka hanya mengangguk kecil. “Jangan bikin heboh di kampus juga.”
Maura membuka pintu, lalu turun dengan langkah cepat. Namun sebelum sempat menutup pintu, Shaka sempat menambahkan,
“Dan kunci pintumu malam ini, gadis ceroboh.”
Pintu tertutup. Maura berdiri sejenak di trotoar, menatap mobil yang melaju pergi. Bibirnya sedikit tersenyum meski ia sendiri tak sadar. Di balik dinginnya pria itu, ada sesuatu yang perlahan membuat hatinya bergetar.
*
*
*
Sementara itu, di apartemen mewah lantai dua puluh sembilan dengan pemandangan langsung ke pusat kota, Thalita duduk di depan cermin rias. Rambutnya masih terurai, wajahnya polos tanpa riasan. Matanya menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi campur aduk—kesal, gelisah, dan juga sedikit takut.
Nathan belum membalas pesannya sejak semalam. Biasanya setelah mereka bertemu diam-diam, Nathan akan mengirimkan pesan manis,biasanya dia juga ngajak ketemuan di hotel, sekadar memastikan bahwa Thalita baik-baik saja. Tapi pagi ini, tak satupun pesan masuk dari pria itu. Apakah Nathan marah?
Thalita berdiri, berjalan ke jendela besar, memandangi gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah di tengah kota. Ia menggigit bibir bawahnya, gelisah. Dalam pikirannya, masih terbayang wajah Shaka tadi malam—dingin seperti biasa, tetapi penuh wibawa dan selalu berhasil membuatnya merasa tak di hargai.
“Aku nggak bisa terus begini...” gumamnya lirih. Ia menoleh ke meja rias, memandang ponselnya yang kini kembali menyala—ada pesan masuk.
Namun wajah Thalita langsung berubah muram saat melihat pengirim pesan itu.
Oma Margaret.
"Shaka menginap di mansion tadi malam. Sarapan bersama kami pagi ini. Sekadar info, dia terlihat sangat nyaman.dan aku akan membuatnya menjauh darimu .”
Pesan itu singkat, tapi menyayat. Seolah-olah sang Oma sengaja hanya ingin memberikan peringatan agar jangan terlalu yakin kamu punya tempat istimewa di hati Shaka selamanya.
Thalita mengepalkan tangannya. Ia tahu, Oma Margareth tak pernah menyukainya. Tapi yang membuat kepikiran bukankah selama ini pria itu selalu pulang ke apartemen mereka setelah kerja?
“Jangan-jangan... Ada sesuatu yang aku tak tau …” gumamnya dengan nada tajam.
Thalita menghempaskan dirinya ke sofa. Ia tahu, ia harus segera bertindak sebelum segalanya lepas dari kendali. Kalau sampai Shaka benar-benar lepas dari nya —apalagi kalau Oma membokar kelakuannya di depan Shaka —semua rencananya bisa berantakan.