NovelToon NovelToon
Dipaksa Kawin Kontrak

Dipaksa Kawin Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Pelakor jahat
Popularitas:9.3k
Nilai: 5
Nama Author: Dini Nuraenii

Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.

Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Langkah kaki Kaila dan Arya meredup menjauh dari ruangan. Pintu tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang begitu padat di udara.

Detik jarum jam kembali terdengar. Dinginnya ruangan kini terasa menyesakkan, seakan menyerap sisa emosi yang baru saja meledak.

Wira menghela napas pelan, lalu melangkah menuju jendela tempat Arya tadi berdiri. Pandangannya menerawang keluar, ke langit yang semakin kelabu.

Di belakangnya, Nayla masih berdiri, wajahnya tak menunjukkan kelembutan, hanya kemenangan yang diam-diam memancar dari sorot matanya.

“Terima kasih, Papa,” ucap Nayla akhirnya, suaranya tenang tapi penuh arti. “Papa telah membuat segalanya kembali ke tempatnya.”

Wira tidak segera menjawab. Ia menyentuh bingkai jendela, dingin seperti isi kepalanya yang sedang berusaha tetap jernih.

“Aku tidak melakukannya demi kau, Nayla,” katanya perlahan. “Aku melakukannya demi keluarga ini. Demi garis keturunan Satya.”

Nayla berjalan pelan, menatap punggung mertuanya. “Tapi tetap saja... aku menghargainya. Papa menyelamatkan pernikahan kami dari aib. Dari skandal. Dari gosip tak berujung yang bisa menghancurkan citra Arya, citra kita semua.”

Wira membalikkan tubuhnya. Tatapannya menusuk, namun bukan karena marah. Lebih kepada kekuatan seorang pria tua yang telah lama memahami dunia dan luka-lukanya.

“Dan kau puas dengan itu?” tanyanya pelan. “Kau puas menghapus jejak seorang ibu dari kehidupan anak itu hanya demi nama belakang?”

Nayla mengangkat dagunya. “Aku tidak punya pilihan lain. Aku bisa menerima kehadiran anak itu. Tapi tidak dengan ibunya. Kaila... dia pengganggu. Simbol dari kesalahan Arya. Jika dia tetap ada, aku tak akan pernah bisa menjalani hidup ini dengan damai. Aku akan selalu membayangkan dia... berdiri di balik setiap foto keluarga, di balik setiap senyum anak itu.”

“Lalu apa bedanya kau dengan wanita-wanita di luar sana yang hanya peduli pada nama dan status?” Wira menatapnya dalam.

 “Kau pikir aku tidak tahu? Aku tahu betul bagaimana rasanya menjaga nama besar. Aku sudah menjalaninya puluhan tahun. Tapi bahkan aku pun tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa Kaila telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dibayar dengan rumah, mobil, atau tabungan.”

Nayla tersenyum kecil. “Papa mulai terdengar seperti sedang membela dia.”

“Bukan membela,” sahut Wira, melangkah mendekat. “Menghormati. Karena meski dia bukan siapa-siapa, dia perempuan yang berani berdiri sendiri, bahkan ketika dihadapkan pada penawaran yang bisa mengubah hidupnya. Dia tidak memohon, tidak menangis minta dikasihani. Itu hal yang langka.”

Nayla mengangkat alis. “Tapi dia tetap akan memilih tinggal di sini, kan? Dia tak punya pilihan lebih baik. Dia akan menerima semuanya. Dan akhirnya, dia akan pergi. Seperti yang Papa katakan.”

Wira mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari menantunya. “Ya, mungkin. Tapi keputusan itu akan menjadi bekas luka seumur hidup. Dan aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai wanita yang kalah. Sebaliknya... aku akan tetap berterima kasih padanya.”

Nayla mengerutkan dahi, lalu duduk di sofa kulit tempat Kaila tadi sempat menduduki. Tangannya menyusuri sandaran, seolah mencoba menghapus jejak keberadaan perempuan itu.

“Berterima kasih?” gumamnya. “Untuk apa? Dia hanya menjalani akibat dari kesalahan yang dia buat sendiri.”

Wira menghela napas. “Aku sudah tua, Nayla. Aku tahu dunia ini tak pernah adil sepenuhnya. Tapi ketika seorang perempuan muda memilih untuk tidak menggugurkan, tidak kabur, tidak menuntut apa pun... dan datang ke hadapan kita dengan kepala tegak, hanya demi anaknya... itu bukan kesalahan. Itu kekuatan.”

Nayla menoleh, tatapannya mulai mengeras. “Lalu apa yang Papa harapkan dariku? Merangkul dia? Berbagi suami? Menjadi tiga orang tua dari satu anak?”

“Tidak,” jawab Wira tegas. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak memenangkan apapun hari ini. Kita hanya membuat pilihan sulit. Dan dalam setiap pilihan seperti itu, selalu ada harga yang harus dibayar.”

Diam sejenak. Hanya suara AC yang mengalir seperti bisikan sunyi.

Nayla berdiri lagi, menahan emosi yang entah kecewa atau malu.

“Aku mencintai Arya, Papa. Tapi aku tidak bisa mencintai bagian dari hidupnya yang melibatkan perempuan lain. Itu satu-satunya kelemahan yang kumiliki. Dan jika Kaila terus berada di sekitar kami, aku tak akan pernah benar-benar utuh lagi.”

Wira menatapnya, dalam dan lama. “Apakah kau mencintai Arya... atau hanya mencintai versi sempurna dari dirinya?”

Nayla terdiam.

“Karena cinta sejati,” lanjut Wira, “bukan hanya menerima kelebihan seseorang. Tapi juga merangkul kesalahannya, memperbaikinya bersama, dan menanggung luka bersamanya.”

Tatapan Nayla melembut, tapi tidak luluh. “Aku tidak sekuat itu, Papa. Aku tidak seperti Kaila yang bisa berdiri dengan semua luka itu sendirian.”

Wira mengangguk pelan. “Maka belajarlah darinya. Setidaknya sekali dalam hidupmu, lihat seorang wanita bukan dari mana dia berasal, tapi dari bagaimana dia memilih bertahan.”

Nayla menunduk, lalu berjalan menuju pintu. Tapi sebelum membuka pegangan pintu, ia berbalik.

“Papa...” katanya pelan. “Jika Kaila tetap memilih pergi dan menyerahkan anak itu, bisakah kita memastikan... dia benar-benar dijaga dengan baik setelahnya? Aku tahu aku tak bisa memberinya tempat di rumah ini, tapi... dia tetap ibu dari anak itu.”

Untuk pertama kalinya sejak percakapan mereka dimulai, Wira tersenyum kecil.

“Aku sudah menyiapkan segalanya,” ujarnya. “Bahkan sebelum tawaranku hari ini, aku sudah mencari tempat yang aman dan nyaman untuknya, jika ia memilih pergi. Aku bukan hanya kepala keluarga Satya. Aku juga kakek dari anak itu. Dan kakek yang baik... tidak pernah melupakan perempuan yang mengandung cucunya.”

Nayla menunduk sedikit, sebagai tanda hormat.

“Terima kasih, Papa.”

Wira kembali berdiri menatap jendela.

“Jangan ucapkan itu padaku,” katanya. “Ucapkan pada waktu. Karena waktu yang akan menunjukkan... apakah keputusan kita hari ini benar atau hanya menunda kehancuran.”

Dan ruangan kembali sunyi.

Tapi kali ini, keheningan itu bukan dingin yang membekukan.

Melainkan ruang renung yang dalam... tentang cinta, ego, dan harga yang dibayar atas nama martabat.

.....

Langkah Arya dan Kaila menjauh dari pintu. Kaila menunduk, mencoba menyembunyikan getar di matanya. Arya berjalan di sampingnya, diam. Saat mereka tiba di lorong sepi, Kaila menghentikan langkahnya.

"Aku akan pergi setelah bayi ini lahir," katanya lirih. “Seperti yang diinginkan keluarga kalian.”

Arya menatapnya, rahangnya mengeras. “Kaila…”

“Aku tidak apa-apa,” potong Kaila cepat. Ia tersenyum, tapi matanya sembab. “Aku sudah mempersiapkan hati untuk hal seperti ini. Sejak awal.”

Arya menatapnya lama, lalu menarik napas panjang. “Kau tidak seharusnya sendirian.”

Kaila tersenyum tipis. “Aku tidak sendiri. Ada dia di sini,” katanya sambil menyentuh perutnya yang belum membesar. “Itu cukup.”

Arya hampir berkata sesuatu, tapi mulutnya tertutup kembali. Ia hanya menatap Kaila dengan luka yang tak bisa diucapkan.

Kemudian Kaila melangkah pergi lebih dulu. Diam-diam membawa luka yang baru saja tertanam, namun ia tetap tegak.

Dan Arya hanya bisa mematung, menatap punggung perempuan yang telah mengubah segalanya.

1
mbok Darmi
sekarang kamu merasa menang arya dan nayla tunggu saja seperti ucapan kakek wira kalian hanya menunggu waktu pembalasan atas perbuatan kalian semua ke kaila
mbok Darmi
ngapain takut melahirkan dan merawat anakmu kaila selama kamu sehat bisa bekerja keluar dari rumah tersebut kenapa kamu ragu jgn gadaikan harga diri mu untuk orang2 yg menganggap rendah dirimu jgn sampai kamu menyesal telah menukar anakmu dgn dalih tdk bisa memberikan yg terbaik builshit
R 💤
jangan mau kaila,
R 💤
hadir Thor 👋🏻
R 💤: siap Thor 👋🏻
Dini Nuraeni: Thanks dah mampir dan jadi yang pertama mengomentari 🥹🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!