Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VELASCO EMPIRE : THE NEXT GENERATION OF LEGACY
Asap rokok melingkar pelan di udara, menciptakan aroma tajam yang menyatu dengan aroma kayu tua dan kopi hitam di sudut ruangan. Mateo duduk di belakang meja kerjanya, bersandar santai namun dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan kebencian.
Di tangannya, sebuah majalah bisnis terbitan terbaru dengan sampul depan bergambar dirinya, Don Marsel Velasco, Ariana dan... Livia.
Wajah gadis itu tampak tersenyum kikuk, berdiri di sisi Mateo yang memasang ekspresi dingin khas CEO muda. Di bawah judul besar bertuliskan "Velasco Empire: The Next Generation of Legacy," ada nama Livia ikut tercantum sebagai “istri dari pewaris Velasco Group.”
Mateo mengepalkan rahangnya.
"Menjijikkan..." desisnya lirih. Ia melempar majalah itu ke meja, lalu mengambilnya kembali hanya untuk menatap foto itu lebih lama. Lebih dalam.
"Aku akan pastikan kau hancur, Livia." Suaranya datar tapi penuh dendam. Matanya menyala, menyimpan rencana yang tidak main-main.
Baginya, Livia adalah noda. Gadis gemuk dari dunia bawah yang berani masuk ke dalam lingkaran elitenya. Bukan karena cinta. Bukan karena pilihan. Tapi karena paksaan... karena satu malam kelalaian yang terekam kamera dan membunuh harga dirinya.
Mateo kembali menyedot rokoknya dalam-dalam, lalu mematikan ujungnya ke asbak dengan gerakan cepat.
"Aku sudah menciptakan neraka untukmu. Dan ini baru permulaan..." gumamnya pelan, hampir seperti janji yang ia bisikkan pada dirinya sendiri.
Di luar ruangannya, sekretaris pribadi Mateo melirik jam dinding dengan gugup. Tak seorang pun berani masuk ke dalam ketika pria itu sedang dalam mode “dingin” karena semua tahu, badai yang mengikuti selalu berbahaya.
Sudah dua minggu sejak pernikahan itu. Dua minggu sejak Livia resmi menjadi nyonya Velasco setidaknya di atas kertas. Tapi di balik dinding megah rumah keluarga Velasco, status itu tak lebih dari ilusi. Dalam rumah itu, Livia bukan istri... hanya tahanan dengan label sah di jari manisnya.
Mateo tak pernah bersikap baik. Bahkan ketika Livia hanya diam dan melakukan semua yang diperintahkan, pria itu tetap saja mencari celah. Seolah penderitaan Livia adalah hiburan terbaik untuknya.
Dan puncaknya terjadi saat Livia diam-diam menemui ibunya di area belakang rumah. Hanya lima belas menit, sekadar melepas rindu dan menyerahkan beberapa makanan yang ia sembunyikan dari dapur. Tapi kesalahan kecil itu... langsung berubah menjadi bencana.
Mateo mengetahuinya. Tapi bukan karena kebetulan. Ia yang menjebak.
Ia yang mengatur agar salah satu penjaga pura-pura lengah, agar Livia berpikir itu aman. Lalu dengan kamera tersembunyi, ia menangkap pertemuan itu dan memperlihatkannya kepada Don dan Ariana seolah itu adalah bentuk pengkhianatan.
"Dia menyelundupkan informasi ke luar. Mungkin tentang bisnis keluarga. Atau mungkin hanya berusaha mempermalukan kita lagi." ucap Mateo tenang, dengan nada licik di depan orang tuanya.
"Wanita semacam itu memang tidak bisa dipercaya," sahut Ariana sinis. "Aku sudah bilang dari awal, dia hanya sampah yang terbungkus gaun."
Dan hukuman pun dijatuhkan. Tanpa perdebatan.
Livia dikunci di salah satu kamar kosong di lantai tiga kamar yang dulunya dipakai oleh salah satu pelayan lama yang sudah meninggal. Kamar itu sempit, pengap, dan tanpa akses makanan.
Hari pertama, Livia menangis sepanjang malam. Ketakutan. Kelaparan. Dan kesepian.
Hari kedua, tubuhnya mulai lemas. Perutnya kosong, bibirnya kering. Ketika suara pintu terbuka untuk pertama kalinya sejak dua hari, ia langsung memeluk dirinya sendiri dengan gemetar.
Mateo berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan santainya, satu tangan menyelip di saku celana, ekspresinya datar.
"Menemui ibumu tanpa izinku, itu pelanggaran berat, Livia." ucapnya pelan.
Livia mengangkat wajahnya yang pucat dan lemah, matanya sayu.
"Saya... saya hanya ingin melihat beliau sebentar saja..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Mateo mendekat, lalu jongkok di hadapannya.
"Kau pikir aku peduli alasanmu?" gumamnya, menyentuh dagu Livia kasar agar gadis itu menatapnya. "Kau akan belajar satu hal, Livia. Dalam hidup ini, kau tidak boleh melanggar aturan. Apalagi aturanku."
Lalu ia berdiri dan pergi, membiarkan pintu kamar terbuka.
Livia tidak langsung bangkit. Ia hanya memeluk lututnya... dan menahan air mata.
Ia tahu satu hal pasti ini bukan rumah. Ini penjara.
Dan Mateo? Ia adalah sipir tanpa hati.
Tok… tok… tok…
Ketukan pintu membuat Mateo menoleh sejenak dari layar laptopnya yang menampilkan grafik pertumbuhan saham salah satu anak perusahaan Velasco Group.
"Masuk," ucapnya datar tanpa menoleh penuh.
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria muda berpakaian rapi dengan clipboard di tangan Dani, sekretaris pribadi Mateo yang setia dan selalu menjaga profesionalitas meski tahu betapa rumitnya karakter sang CEO.
"Jam sebelas ada agenda rapat dengan klien dari Australia, Pak. Mereka sudah mengonfirmasi kehadiran dan akan hadir via Zoom dari kantor cabang Sydney," ujar Dani dengan nada sopan dan tenang.
Mateo hanya mengangguk tanpa ekspresi. Tatapannya kembali tertuju pada layar, jari-jarinya mengetik cepat mungkin menyusun catatan rapat atau sekadar memastikan angka-angka tetap stabil seperti egonya.
"Siapkan semuanya. Sepuluh menit lagi aku akan menyusul," ucapnya dingin, suaranya rendah tapi tegas.
"Baik, Pak Mateo." Dani membungkuk kecil dan segera keluar, menutup pintu rapat di belakangnya.
Begitu ruangan kembali sepi, Mateo menatap kosong ke arah cermin besar di dinding ruangan. Refleksi dirinya terlihat kuat, rapi, berwibawa... Tapi dalam hatinya, badai terus bergemuruh. Nama Livia muncul di benaknya seolah menjadi virus yang tak bisa ia singkirkan. Gadis itu yang seharusnya tak pernah masuk ke dalam hidupnya.
"Fokus," gumam Mateo pada dirinya sendiri.
Ia meraih jas yang tergantung di sandaran kursi dan mengenakannya perlahan, menyiapkan diri untuk menjadi sosok CEO muda dan karismatik yang dikagumi banyak orang meski di balik senyum profesionalnya, ada sisi gelap yang terus meracuni hidup orang lain, termasuk wanita yang kini menjadi istrinya.
Kini Mateo duduk tegak di ruang rapat lantai dua kantor pusat Velasco Group. Ruangan itu luas dan mewah, dengan dinding kaca besar yang menghadap langsung ke pusat kota, memberi pemandangan gedung-gedung tinggi yang berdiri sejajar dengan kekuasaan keluarganya.
Di hadapannya, layar besar menampilkan wajah para rekan bisnis dari Australia yang hadir secara virtual. Beberapa staf dan petinggi perusahaan juga duduk di sekeliling meja oval, mencatat dan memperhatikan setiap kata.
Mateo tampak tenang dan penuh kontrol, mengenakan jas abu gelap dengan dasi hitam. Rambutnya tertata rapi, dan matanya fokus menatap layar seolah tak ada yang bisa mengganggu konsentrasinya.
"Kita ingin memastikan kerja sama ini memberi keuntungan dua arah," ucap salah satu rekan dari Australia dengan logat khas.
Mateo mengangguk pelan, lalu membalas, "Kami sepakat dengan pendekatan win-win. Namun Velasco Group memiliki standar khusus, terutama dalam hal efisiensi operasional dan kontrol kualitas. Saya harap tim Anda bisa menyesuaikan."
Nada suaranya dingin, profesional, tanpa basa-basi. Ia bukan tipe yang suka membuang waktu dengan pembicaraan manis. Semua orang tahu, Mateo hanya bicara seperlunya, tapi setiap katanya seperti keputusan yang tak bisa dibantah.
Beberapa bawahannya mencatat cepat saat Mateo memberikan beberapa masukan tambahan, termasuk strategi distribusi dan target kuartal selanjutnya.
Salah satu staf perempuan melirik Mateo sebentar, terkagum dengan ketenangannya yang nyaris menakutkan. Tapi semua tahu, di balik karisma seorang CEO muda paling berpengaruh ini… ada sisi gelap yang hanya sedikit orang tahu, dan salah satu yang merasakannya langsung adalah Livia.
Namun di ruang rapat ini, Mateo adalah raja dan semua tunduk pada logika, bukan hati.
Di tempat berbeda, angin siang berhembus pelan di antara pepohonan rindang yang tumbuh mengelilingi lapangan golf milik keluarga Velasco. Tempat itu sunyi, hanya suara dedaunan yang bergoyang dan burung-burung yang mulai kembali ke sarangnya. Livia duduk di atas bangku kayu tua yang menghadap ke hamparan rumput hijau. Pandangannya kosong, menatap jauh tanpa fokus, seolah pikirannya mengembara ke tempat lain tempat di mana hatinya tidak seberat ini.
Lapangan ini memang jarang digunakan. Hanya saat keluarga besar Mateo datang atau ketika rekan bisnis penting berkunjung, tempat ini mendadak hidup. Selebihnya, lapangan golf itu seperti dirinya ada tapi tak dianggap.
Tiba-tiba, suara langkah pelan mendekat. Livia menoleh dan melihat Nano, salah satu penjaga rumah, datang membawa dua kaleng soda dingin. Lelaki berperawakan sedang itu tersenyum hangat dan duduk di sampingnya tanpa banyak kata.
"Minumlah," ucap Nano sembari menyerahkan satu kaleng soda. "Siang begini enaknya minum yang dingin."
Livia menerimanya dengan anggukan kecil. "Terima kasih, Nano." Suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara dedaunan yang bergesek.
Mereka berdua duduk dalam diam, menikmati minuman itu sambil memandangi lapangan golf yang sepi. Hening yang tercipta bukan karena canggung, tapi karena masing-masing terlalu lelah untuk berkata-kata.
Nano melirik lengan Livia dan mendapati rona biru yang samar lebam yang belum hilang. Matanya langsung mengeras, lalu melunak kembali saat menatap wajah Livia yang tetap tersenyum meski begitu rapuh.
"Apa suamimu… melukaimu lagi?" tanyanya hati-hati.
Livia mengangguk kecil, masih menatap ke depan. "Aku tidak hati-hati. Menumpahkan kopi ke dokumennya…" jawabnya ringan, tapi penuh luka.
Nano menghela napas berat. Ada amarah yang ia tahan dalam-dalam, tapi ia tahu tak bisa berbuat banyak.
"Maaf, Livia. Aku benar-benar minta maaf… aku nggak bisa bantu."
Livia menoleh padanya dan tersenyum lemah. "Tidak apa-apa. Ini bukan salah siapa-siapa, Nano. Ini jalan ku… dan aku tidak ingin orang baik sepertimu ikut terluka. Mateo… dia bukan orang yang bisa diajak bermain-main."
Mata Nano berkaca-kaca, namun ia hanya mengangguk. "Kalau suatu hari kamu butuh pergi dari sini… bilang saja. Aku akan bantu semampuku."
Livia tak menjawab. Ia hanya kembali menatap lapangan luas di depannya tempat sunyi yang menjadi saksi bisu betapa beratnya hidup dalam jeruji mewah bernama pernikahan.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/