Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal Mendekati Satria
"Tadi itu siapa? Bukannya itu rumah Vania?" batin Satria setelah Adira masuk kembali ke kamar.
Sesaat Satria seperti dihipnotis akan bayang-bayang seorang gadis yang menari-nari.
"Satria, ngapain?" tanya Amalia melihat anaknya yang terus menatap ke arah lantai dua ke rumah Vania.
"Eh ... Bu, anu ..."
"Masuk masuk, titipan Mama udah kamu beliin kan?"tanya Amalia dan Satria mengangguk.
Malamnya, Vania mogok makan. Dia masih berdalih kepikiran dengan ucapan Adira. Ella yang melihat suaminya sudah keluar untuk cari angin bersama Bapak-bapak lainnya pun, memutuskan untuk menghampiri Adira yang sibuk dengan ponselnya di sofa lantai atas.
Ella bukannya gak tahu, selama ini suaminya sudah mulai dekat dengan Adira. Namun, itu bukan masalah baginya. Yang tidak di terimanya adalah, saat Afandi lebih membela Adira dibandingkan Vania.
"Adira, Ibu boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa Bu?" tanya Adira kaget karena Ibunya tiba-tiba muncul.
"Minta maaf lah, pada Vania. Kamu gak mau kan? Kalau Kakakmu kenapa-napa?"
"Kenapa aku harus minta maaf Bu? Aku salah?"
Ella menghela napas panjang. "Adira, ucapan mu yang tadi membuat Kakakmu kepikiran. Nanti dia stres dan berakibat pada kesehatannya." ujar Ella merasa jengkel.
"Ya udah deh. Dimana Kak Vania nya?" tanya Adira mengalah.
Ella dan Adira turun, menuju kamar Vania. Di dalam, Vania sedang memakan cemilan, yang pernah di belinya saat pulang sekolah. Namun, cemilan tersebut disimpan dalam lemari belajarnya. Tentu saja dengan kunci di sembunyikan.
Saat mendengarkan suara ketukan dari luar. Vania buru-buru menyimpan dan membersihkan sisa-sisa cemilannya. Tak lupa, dia juga bercermin untuk menghilangkan bekas-bekas di mulutnya.
"Aku mau sendiri Bu." ungkap Vania dari dalam kamar.
"Sayang, bukain dulu pintunya. Ini Adira mau ngomong sesuatu." ujar Ella.
Mendengar nama Adira di sebut. Vania langsung membukakan pintu kamarnya. Tak lupa, raut wajah yang di atur sesedih mungkin.
"Masuk ..."
"Vania, kamu makan ya? Ibu gak mau kamu kenapa-napa." rayu Ella. "Adira." tekan Ella.
"Aku minta maaf, jika perkataanku membuat Kak Vania kepikiran." ucap Adira. "Udah ya, aku masuk." lanjut Adira.
"Ibu, dia pasti terpaksa." rengek Vania.
"Adira, yang ikhlas."
"Maaf ..." lirih Adira meninggalkan Vania.
"Bu, makasih ya. Karena cuma Ibu yang selalu ngertiin aku."
"Tak apa, sekarang makan ya. Ibu ambilkan dulu."
Di kamar Adira merasa jengkel terhadap Ibunya. Sebab Ibunya selalu saja menuruti setiap permintaan Vania.
Setelah menyuapi Vania. Ella keluar dari kamar tersebut. Dia ingin agar Vania bisa istirahat. Sedangkan Vania dia sangat senang. Karena Ibunya, dia bisa mendengar ucapan maaf dari Adira.
"Akan ku pastikan, kamu tidak bisa mendapatkan kasih sayang Ibu dan Ayah Adira." gumam Vania.
Vania tahu, jika sekarang Ayahnya mulai membagi kasih sayangnya untuk Adira. Namun, Vania harus memikirkan cara yang benar-benar matang. Untuk menjelekkan Adira di mata Ayahnya.
Satria terus saja memandangi balkon kamar Adira. Dia sengaja duduk di kursi yang ada di balkon. Karena dia masih berharap bisa bertemu dengan gadis tersebut. Entah kenapa bayang-bayang itu tidak pernah pergi dalam ingatannya.
Sekian lama menunggu, gadis itu tak keluar juga. Yang ada malah lampu kamar yang di matikan. Pertanda, jika gadis tersebut telah tidur.
"Bahkan untuk melihatmu kembali, sesusah itu." lirih Satria. Menghembuskan napas.
Kemudian Satria masuk ke kamar. Besok dia memutuskan untuk melihatnya langsung ke rumah Vania.
Adira berangkat lebih awal dari biasanya. Karena semalam dia udah janjian bersama dengan Ifana, untuk sarapan di kantin.
Adira pergi setelah pamit pada Ella yang kebetulan lagi menyiapkan sarapan. Setelahnya dia langsung pergi, karena ojek yang langganannya sudah diwanti-wanti dari semalam. Makanya sekarang ojek tersebut sudah berada di depan rumahnya.
Beberapa menit setelah keberangkatan Adira. Satria keluar, dia memutuskan untuk menunggu Vania keluar. Karena Satria sudah menduga, jika Vania pasti satu sekolah dengan gadis yang di lihat tersebut. Sebab menurut ingatannya. Afandi dan Ella mempunyai dua orang anak perempuan. Itulah, sepenggal ucapan yang diingatnya, saat malam perkenalan.
Hampir setengah jam menunggu, Afandi keluar, di susul oleh Vania. Kebetulan rumah mereka tidak mempunyai gerbang. Hanya dibatasi dengan halaman dan jalanan.
Satria buru-buru menaiki motor sport-nya, Vania yang melihat Satria langsung berjalan menghampirinya.
"Satria ..." panggil Vania, saat Satria hendak memakai helm.
"Mau sekolah? Boleh nebeng?" harap Vania.
"Eh- kamu bukannya pergi sama Pak Afandi?"
"Bentar ..." meninggalkan Satria yang kebingungan.
Afandi yang baru saja memanaskan mesin mobilnya, menoleh ada Vania yang menghampirinya.
"Ayah, Satria mengajak ku untuk berangkat bersamanya. Boleh?" tanya Vania.
"Gak usah macam-macam Vania, kamu belum pernah naik sepeda motor."
"Ayah mah, selalu saja begitu. Coba aja kalau Adira yang minta. Pasti selalu aja Ayah turuti. Dia ke sekolah naik ojek aja, Ayah izinin. Ayah selalu saja membanding-bandingkan kami." rajuk Vania.
"Bukan begitu sayang. Adira, sudah biasa melakukan semua itu. Lagian, Ayah hanya takut kamu kenapa-napa."
"Ayah memang udah gak sayang sama aku. Ayah lebih sayang Adira. Makanya, Ayah selalu melarang aku. Ayah tidak percaya dengan ku." ujar Vania membuat Afandi menghembuskan napas.
"Ya sudah, pergilah Ayah berangkat dulu." seru Afandi menyerah.
Mendengar perkataan Ayahnya Vania sangat senang. Setelah Afandi berangkat, Vania langsung mendekati Satria yang masih menunggu.
"Ayo, kita berangkat bareng." ajak Vania.
"Tapi, aku gak ada helm." ungkap Satria.
"Loh? Kenapa baru ngomong sekarang. Ya udah deh, gak pake helm juga gak apa-apa." ujar Vania mencoba untuk tetap naik.
"Gak bisa Vania. Itu bisa membahayakan mu. Aku pergi dulu. Atau kamu turun di depan aja mau? Terminal." tawar Satria.
"No ,,, aku belum pernah naik angkot Satria." rajuk Vania.
"Aku berangkat dulu. Karena aku gak mau meninggalkan kesan buruk. Sebab aku siswa baru." meninggalkan Vania yang terus berteriak memanggil namanya.
"Kenapa gadis itu belum keluar? Apa hari ini dia gak sekolah?" batin Satria.
"Harusnya tadi aku bertanya pada Vania." kesal Satria melajukan motornya.
Vania merasa jengkel terhadap Satria. Dengan menghentakkan kakinya. Vania masuk ke dalam untuk memanggil Ibunya.
"Kenapa belum berangkat? Ayah mana?" tanya Ella sedang menikmati minumannya di ruang keluarga.
"Ayah sudah pergi. Ibu antarkan aku ya."
"Kenapa Ayah meninggalkan mu? Biar Ibu telpon dulu."
"Jangan Bu, tadi, aku yang gak mau berangkat sama Ayah. Karena mau sama Ibu."
"Cih ,,, tunggu .. " desis Ella jengkel.