Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penasaran Yang Kubenci
Sudah satu minggu berlalu sejak kepergian Andreas dari mansion, dan tidak sekali pun sosok pria itu menampakkan diri. Bagi sebagian orang, ketiadaan seseorang yang sebelumnya terasa dominan dan penuh misteri akan menimbulkan kekosongan atau kerinduan yang menggigit. Namun tidak demikian bagi Mistiza. Hari-hari tanpa kehadiran Andreas justru terasa seperti hembusan angin musim semi yang lembut—tenang, damai, dan begitu nyaman.
Pagi-pagi sekali, seperti biasanya, Mistiza sudah terbangun sebelum matahari sepenuhnya menyinari taman di luar jendela kamarnya. Ia menarik tirai jendela perlahan, membiarkan cahaya keemasan menyentuh lantai kayu dan dinding-dinding kamar yang hangat. Tidak ada lagi rasa was-was ketika mendengar derap langkah kaki dari lorong. Tidak ada lagi percakapan canggung yang membuat hatinya berdebar dengan campuran rasa takut dan penasaran.
Kehidupan di mansion berjalan dalam irama yang teratur. Clara menjadi teman yang menyenangkan, sementara para pelayan lainnya menunjukkan perhatian mereka dalam bentuk-bentuk kecil yang tulus: menyeduhkan teh kegemarannya, membawakan buku dari perpustakaan, atau sekadar menyapa dengan senyum ramah saat mereka berpapasan di taman.
Namun, meskipun segala sesuatunya terasa baik-baik saja, Mistiza tidak bisa membohongi dirinya sendiri sepenuhnya. Di balik keheningan yang menenangkan itu, ada ruang kosong yang mengganggu di dalam pikirannya—sebuah tanda tanya besar tentang ke mana sebenarnya Andreas pergi. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Richard, dan tidak seorang pun dari pelayan lainnya yang tahu, atau setidaknya mau mengatakan lebih dari yang sudah disampaikan sebelumnya.
Pada awalnya, Mistiza mencoba untuk menyingkirkan rasa penasarannya. Baginya, tidak mengetahui keberadaan Andreas seharusnya menjadi sebuah kelegaan. Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin pikirannya kembali membentuk skenario-skenario liar.
Apakah ia pergi ke kediaman Wilton? Bertemu dengan Ryan? Mistiza menggeleng cepat saat pikiran itu muncul. Andreas bukanlah tipe pria yang senang berbaur atau mencari kenyamanan dalam kebersamaan keluarga. Dari apa yang ia ketahui, hubungan Andreas dengan keluarganya—termasuk dengan Ryan—bisa dikatakan renggang, jika tidak ingin disebut nyaris tidak ada. Jadi, kemungkinan ia bertandang ke sana sangatlah kecil.
Namun, jika bukan ke Wilton, lalu ke mana?
Mistiza menghela napas panjang, merasa jengkel pada dirinya sendiri. Mengapa aku repot-repot memikirkan itu? Bukankah aku seharusnya senang ia pergi? Ia merutuki pikirannya yang terus berputar, menciptakan tanda tanya yang tidak berkesudahan.
Untuk melupakan kegelisahannya, Mistiza kembali ke kegiatan barunya—merajut. Sudah sejak Clara memberikan alat dan benang rajut, ia mulai menyibukkan diri di sore hari dengan duduk di sudut taman, di bawah pohon flamboyan yang rindang, sambil mencoba membentuk baris demi baris rajutan dari benang biru tua yang lembut.
Ia memutuskan untuk membuat syal. Benda yang sederhana, tidak memerlukan pola rumit, dan cocok untuk pemula sepertinya. Namun, saat benang mulai terurai dan jarum mulai bergerak, Mistiza mendapati bahwa merajut bukan hanya tentang membuat benda fisik—ini adalah proses yang menenangkan, seperti meditasi yang pelan namun mengikat pikirannya agar tidak terlalu liar.
Belum separuh jalan, syal itu tampak masih berantakan. Beberapa simpul tampak terlalu kencang, sebagian lainnya terlalu longgar. Namun Mistiza tidak peduli. Ia punya banyak waktu untuk memperbaikinya. Setiap simpul adalah caranya untuk menyusun ulang pikirannya yang semrawut. Dan entah untuk siapa syal itu nanti, ia belum memutuskan. Yang jelas, membuatnya terasa menyenangkan.
Clara sering menemaninya di taman, terkadang sambil membaca buku atau sekadar berbincang ringan. Kehadiran Clara membuat Mistiza merasa seperti memiliki keluarga kecil di tempat asing ini.
“Sudah mulai rapi, Nona,” komentar Clara suatu sore, saat melihat hasil rajutan Mistiza. “Jika terus seperti ini, syalnya akan selesai dalam dua minggu.”
Mistiza tersenyum kecil, menatap hasil kerjanya. “Aku tidak tahu untuk siapa syal ini, Clara. Tapi membuatnya membuatku merasa lebih baik.”
“Kenapa bukan untuk anda saja?”
“Emm… Aku tidak terlalu suka pakai syal. Rasanya seperti tercekik”
“Tidak apa-apa. Syal itu akan menemukan pemiliknya sendiri, pada waktunya.” ujar Clara sambil tersenyum.
Sore itu, angin bertiup sedikit lebih kencang, menggoyangkan daun-daun flamboyan dan membawa wangi mawar dari sudut taman. Mistiza menarik lututnya ke dada, membiarkan benang tetap tergulung di pangkuannya.
“Aku benci mengakuinya, tapi… aku penasaran ke mana Andreas pergi,” gumamnya pelan.
Clara menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Apa Nona khawatir?”
Mistiza menggeleng cepat, lalu menghela napas. “Bukan khawatir… hanya… rasa penasaran yang menyebalkan. Dia pergi tanpa kabar, dan itu membuat pikiranku terus mengarang berbagai kemungkinan.”
Clara tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang mulai berubah warna ke jingga. “Tuan memang terkadang punya urusan di banyak tempat, tempat rahasia yang kita sebagai manusia pada umumnya tidak dapat mengetahui itu”
Ucapan itu membuat Mistiza terdiam. Ia menatap kosong ke depan, mencoba mencerna makna di balik kata-kata Clara.
“Apapun alasannya, aku harap dia berubah baik setelah pulang kesini” kata Mistiza akhirnya.
Yang mana membuat Clara tergelak karena tak menyangka jika Mistiza akan berkata demikian.
“Berhati-hatilah, Nona. Tuan bisa tau apa yang kita ucapkan meskipun dia ada di ujung dunia sekalipun”
Hari-hari berlalu dengan irama yang serupa. Mistiza mulai hafal jadwal para pelayan, sudah bisa menebak waktu makan tanpa harus menunggu panggilan, dan ia semakin mahir mengatur rutinitasnya sendiri. Namun, seperti terjebak dalam siklus musim yang tak bergerak, ia merasa seperti berada di dalam waktu yang tak punya kepastian.
Ia menuliskan tanggal pada kertas kecil yang ditempel di meja. Satu minggu, dan belum ada tanda-tanda Andreas akan kembali. Tidak ada kabar. Tidak ada surat. Bahkan tidak ada desas-desus dari pelayan yang mungkin tak sengaja terdengar.
Di malam hari, ketika cahaya lampu kamar menjadi satu-satunya penerang, Mistiza memandangi hasil rajutannya yang kini sudah setengah jadi. Ia membayangkan syal itu membalut leher seseorang—seseorang yang barangkali tidak akan pernah benar-benar ia pahami, namun telah menjadi bagian penting dari kehidupannya di tempat ini.
Tanpa ia sadari, bayangan wajah Andreas muncul dalam benaknya. Dingin, keras, dan penuh rahasia. Namun di balik itu semua, ada luka yang belum sempat terungkap. Luka yang sama-sama mereka bawa dalam diam.
Apakah ia akan kembali? pertanyaan itu kembali datang, seperti debur ombak yang tak bisa dihentikan.
Namun malam itu, Mistiza hanya memejamkan mata, menarik selimut hingga ke dagu, dan membiarkan pikirannya tenggelam dalam keheningan malam yang tak memberinya jawaban.
Mungkin besok, atau lusa, atau minggu depan, Andreas akan kembali.
Atau mungkin tidak.
Tapi selama itu, ia akan terus merajut—menyulam benang demi benang, simpul demi simpul—hingga waktunya keluar dari mansion ini tiba.
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu