"Kenapa aku bisa di sini? Kenapa aku tak memakai baju?"
Alicia Putri Pramudya begitu kaget ketika mengetahui dirinya dalam keadaan polos, di sampingnya ada pria yang sangat dia kenal, Hafis. Pria yang pernah menyatakan cinta kepada dirinya tetapi dia tolak.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Alicia Putri Pramudya?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih ulasan bagus dan kasih bintang 5 untuk yang suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa ada dia?
Cia sore ini memutuskan untuk pulang ke kediaman Dion, dia ingin bertemu dengan ayahnya dan juga Ibu sambungnya. Saat dia datang, Anggun sedang memasak di dapur, sedangkan Dion masih ada di kafe.
"Mom, lagi masak apa?"
"Masak buat makan malam, kamu Dateng gak bilang Mommy dulu. Kalau bilang, Mom bakal buatin makanan kesukaan kamu."
"Tak apa, Mom. Si kembar ke mana?"
"Aih! Kamu tuh lupa apa gimana? Mereka kuliah di luar kota," ujar Anggun sambil menoleh hidung Cia.
"Lupa, Mom. Cia bantu masak ya?"
"Iya, Sayang."
Cia dan juga Anggun memasak bersama, setelah masakan matang, kedunya memutuskan untuk mandi karena sebentar lagi waktu maghrib akan tiba.
"Alhamdulillah," ujar Cia setelah dia melaksanakan kewajibannya terhadap Sang Khalik.
Cia melipat mukena yang sudah dia pakai, lalu dia melangkahkan kakinya untuk keluar dari dalam kamar yang biasa dia tempati ketika menginap di rumah Dion.
"Dad, sudah pulang?" tanya Cia ketika dia melihat Dion baru masuk ke dalam rumah.
"Sudah dong, Sayang. Kamu tumben Dateng gak bilang Daddy," ujar Dion sambil memeluk putrinya dengan begitu erat.
"Abisan kangen, Dad." Cia mengusakkan wajahnya pada ketiak ayahnya.
"Ya ampun, udah gede masih aja manja sama ayahnya. Udah waktunya manja sama aku."
Cia merasa heran karena di saat dia sedang memeluk ayahnya, ada orang yang menepuk pundaknya sambil menegur dirinya seperti itu. Cia mengurai pelukannya dengan Dion, lalu menolehkan wajahnya ke arah suara.
"Anjar! Kenapa kamu di sini?"
"Daddy yang ajak, soalnya tadi dia habis bantu pembukaan Kafe baru."
"Daddy kenal Anjar?"
"Yes," jawab Dion.
"Sejak kapan?"
"Sejak empat tahun lalu, karena kami memiliki kerjasama."
"Astagfirullah! Kenapa kamu tuh selalu saja mendekati orang yang aku sayang?" tanya Cia.
"Dih! Kepedean, aku tuh kerja. Dekat sama mereka bukan karena kamu, karena pekerjaan aku."
Cia langsung mencebikkan bibirnya, dia merasa kalau apa yang dikatakan oleh Anjar itu hanyalah kilahan semata.
"Udah jangan cemberut, Daddy lapar. Makan yuk?"
Cia menganggukan kepalanya, lalu dia memeluk lengan ayahnya tersebut dan melangkahkan kakinya menuju ruang makan.
"Duduk, Yang. Biar nasinya aku yang sendokin," ujar Anggun penuh perhatian.
"Iya, Sayang." Dion tersenyum sambil mengusap lengan istrinya.
Anggun dengan cekatan menyendokan nasi untuk Dion, tentunya lengkap dengan lauk pauknya. Anjar yang melihat akan hal itu langsung memberikan piring kosong kepada Cia.
"Apa?" tanya Cia.
"Mau dong disendokin nasi kaya ayah kamu," jawab Anjar.
"Idih! Emang siapa kamu?" ujar Cia sewot.
"Calon suami," jawab Anjar. Lalu, pria itu nyengir kuda setelah mengatakan hal tersebut.
"Dih! Ogah punya calon suami kaya kamu," ujar Cia.
Dion dan Anggun malah tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh Cia, tak lama kemudian Anggun mengambil piring kosong milik Anjar.
"Biar Tante yang sendokin."
"Uuuuh! Tante memang baik, gak seperti calon istri aku itu." Anjar menunjuk Cia dengan dagunya.
Cia langsung memelototkan matanya ke arah Anjar, dia tidak suka karena pria itu terus saja menyebut dirinya sebagai calon istri.
"Aku itu bukan calon istri kamu ya, awas aja kalau ngomong gitu lagi."
"Iya, calon istri." Anjar malah sengaja menggoda Cia, senang sekali rasanya Anjar menggoda wanita itu sampai marah-marah.
"Daddy!" pekik Cia sambil menolehkan wajahnya ke arah Dion.
"Sudahlah, Sayang. Mending makan, jangan bertengkar terus. Nanti jatuh cinta beneran," ujar Dion.
"Aaaah! Daddy gak asik, malah bela Anjar!" keluh Cia.
Anggun dan Dion malah tertawa melihat tingkah Cia yang manja, Anjar tak ikut tertawa, tetapi dengan cepat dia mencondongkan tubuhnya ke arah wanita itu.
"Udah jangan manja terus, nanti kalau udah nikah aku manjain tiap hari tiap malem."
"Anjar!" teriak Cia sambil menodongkan garpu ke arah pria itu.
"Uuuh! Belum nikah aja udah galak, nanti udah nikah pasti tambah galak. Tapi kalau udah nikah galaknya dalam versi lain ya," ujar Anjar.
"Daddy! Dia kurang ajar tuh," ujar Cia yang tak terima dengan apa yang dikatakan oleh Anjar.
Dion malah semakin keras tertawa mendengar aduan dari putrinya, lalu dia memukul lengan Anjar dan berkata.
"Sudah, sudah. Jangan godain Cia terus, makan dulu. Nanti kalau udah makan baru kamu dekati Cia lagi."
"Siap!" jawab Anjar dengan penuh semangat, sedangkan Cia terlihat tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya tersebut.
Tanpa Cia tahu, selama 4 tahun ini dia memang begitu fokus dalam bekerja dan juga kuliah. Selama 4 tahun itu pula, Anjar begitu gencar mendekatkan diri kepada kedua orang tua Cia dan juga seluruh keluarganya.
Dia bahkan membuktikan semua kata-katanya, pria itu berkata akan membahagiakan Cia dengan cintanya.
Pria itu juga berkata akan serius dalam bekerja untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah, agar suatu saat nanti bisa membahagiakan Cia dan tidak membuat wanita itu kekurangan harta.
"Pulang sana! Udah kenyang, kan?"
Anjar baru saja selesai makan, dia terlihat hendak ingin minum. Namun, Cia sudah mengusir dirinya.
"Daddy," panggil Anjar kepada Dion.
Sontak saja hal itu membuat Cia memelototkan matanya ke arah Anjar.
"Apa maksud kamu itu?" tanya Cia.
"Aku sedang mengadu kepada calon mertuaku, kenapa memangnya?"
"Anjar, ih!" teriak Cia sebal.