Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua Puluh Dua
# 22
Sekilas tentang Ki Danulung, penguasa Hutan Sancang ...
Nama aslinya, DANU WULUNG ( DANU artinya, busur yang kuat dan ampuh. Orang yang senantiasa berpegang teguh pada nilai – nilai dan asas kebenaran. WULUNG, artinya elang perkasa ). Ia adalah saudara kandung KI MATARAMAN. Diantara empat bersaudara : KI MATARAMAN, KI HNING SWARA, KI DANULUN dan KI GAHARU, Ki Danulung – lah yang paling menyayangi Langkor, sekalipun tahu bahwa Langkor bukanlah tergolong pemuda baik – baik, pembuat masalah. Namun, dengan sabar dan penuh kasih sayang berusaha untuk mengarahkannya kembali pada jalan yang benar. Sayangnya, tidak membuahkan hasil. Permasalahan dengan Ayahnya, Colopala dan Samitra Gantari pun tidak luput dari pengamatannya. Yah, itu karena Danulung tidak memiliki anak, maka, ia menyayangi Langkor melebihi apapun.
Selain memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, ia adalah salah satu saudagar yang kaya raya. Berbeda dengan Ki Hning Swara dan Ki Gaharu yang lebih suka menghabiskan waktu dengan menyepi dan bertapa. Sebelum menjadi pengusaha kaya raya, Ki Danulung sempat berkelana malang – melintang di dunia persilatan bahkan sempat menjadi anak buah Si Pedang Setan ( Sebelum Gerombolan Perampok itu diobrak – abrik oleh Brama Kumbara ). Setelah Si Pedang Setan tewas, ia sempat membantu Dewi Mantili dan Brama Kumbara menumpas habis para pembakar Pesanggrahan Keramat dan Goa Pantai Selatan.
Belakangan setelah mendengar bahwa Dewi Mantili dan Brama Kumbara wafat, ia memilih tinggal di Hutan Sancang, bermaksud menghabiskan masa tuanya di tempat itu. Namun, manakala mendengar Langkor, keponakannya terlibat perselisihan dengan Colopala dan Samitra Gantari, membuat dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani.
Hingga pada malam itu, pemuda bertompel sebesar 2 ibu jari orang dewasa melekat pada pipi sebelah kiri persis di samping hidungnya yang pesek itu mendatangi rumah Ki Danulung sementara wajahnya babak belur. Menurut pengakuan Langkor, ia baru saja dikejar – kejar oleh para tukang pukul Colopala yang menuduhnya menyembunyikan puteri Colopala, Dewi Wulandari.
“Kali ini kau membuat masalah apalagi, Langkor ?” tanya Ki Danulung.
“Maaf, paman... orang – orang Colopala mengejar saya, mereka menuduhku menculik dan menyembunyikan Dewi Wulandari, puteri orang Bengali itu,” jelas Langkor, “Saya sudah memberikan penjelasan, namun, mereka tetap tidak percaya dan mendesak saya untuk mengakuinya,”
“Lalu, apa kau benar – benar menculik dan menyembunyikan gadis itu ?” tanya Bu Danulung kesal.
“Ti... tidak, Bibi... saya berani bersumpah,”
“Sudah cukup banyak masalah yang kau timbulkan akhir – akhir ini. Masih belum cukupkah kelakuanmu yang membuat keluarga ini kacau balau ?” ujar Bu Danulung ketus.
“Langkor ... Langkor ... Paman sudah berulang kali menasihatkan kepadamu agar jangan terus – terusan cari masalah. Tapi, kau benar – benar keras kepala,” desah Ki Danulung.
“Maaf, Paman... saya memang nakal, selalu membuat paman dan bibi kesal ataupun repot. Tapi, tegakah Paman membiarkan orang – orang barbar itu membunuh saya ?”
“Mereka bukanlah orang – orang barbar... kaulah yang seharusnya disebut barbar,” celetuk Bu Danulung namun, ia segera terdiam saat suaminya memberi isyarat agar tidak bicara sembarangan.
“Itu, memang kesalahanmu, nak ... Jika kau tidak berurusan dengan Gerombolan Elang Karang Para, mungkin kau tidak akan seperti ini,” ujar Ki Danulung, “ Apalagi, kau tahu siapa Colopala itu. Jika Paman tidak memandang Ayahmu yang telah berjasa besar dalam hidup Pamanmu ini, mungkin Paman akan membiarkanmu dibantai oleh mereka,”
“Terima kasih, Paman. Saya tidak akan melupakan budi baik paman ini,”
“Itu sudah sewajarnya, sebagai Pamanmu, nak.... Nah, pergilah dan kuncilah dirimu di dalam kamar rahasia ... jangan keluar sebelum urusan ini selesai. Paman akan mencoba berbicara dengan Colopala,”
“Terima kasih, Paman ..” ujar Langkor sambil melangkah menuju ke ruang belakang sementara tatapan mata sinis dan dingin Bu Danulung hingga tubuh pemuda itu menghilang di kelokan.
Sepeninggal Langkor, Bu Danulung menatap tajam ke arah suaminya yang masih berdiri terpaku. Wanita itu menghela nafas panjang sejenak lalu berkata, “Tingkah laku anak itu semakin lama, semakin parah saja, kang ...”
“Sudahlah, bu... dia masih muda. Masih belum bisa berpikir dengan matang dan mudah naik darah. Aku tidak apa – apa,”
“Tapi, kang... itu akan membahayakan dirimu. Elang Karang Para itu terkenal kejam, sadis dan tanpa ampun ... saranku, tak perlu lagi kau bela pemuda berandalan itu di hadapan mereka. Perhatikan dirimu sendiri, kang...”
“Cuma itu yang bisa kulakukan demi membalas budi baik Kangmas Mataraman, tugasku ... menjaga dan melindunginya saat ia jauh dari orang tuanya,”
“Itu benar, kang... tapi, aku khawatir, hanya karena membela bocah tak tahu diri itu, nyawamu jadi taruhannya, kang...”
“Colopala, bukanlah Samitra Gantari. Dia masih lebih baik,”
“Aku tahu, kang... tapi, apa yang dilakukan oleh Samitra Gantari terhadap Sri Murti beserta keluarganya, ia tidak akan tinggal diam. Boleh dibilang karena ulah Langkor – lah, kebahagiaan rumah tangga Colopala hancur. Aku takut terjadi apa – apa pada diri kakang,”
“Tenangkanlah dirimu, bu... kita hanya bisa berserah pada Yang Maha Pencipta. Dialah yang mengatur segalanya. Tapi, ...” ucapan Ki Danulung terputus, ia tampak terkejut.
“Ada apa, kang ?” tanya Bu Danulung.
“Astaga, aku lupa ... di kamar rahasia itu tersimpan Kitab Pedang Setan. Sekalipun aku menyayangi Langkor, tapi, apabila kitab itu sampai jatuh ke tangannya, Dunia Persilatan bakal geger. Aku ... aku harus segera menemui anak itu,” ujar Ki Danulung lalu bergegas menuju ruangan bawah tanah diikuti oleh isterinya.
Dulu, diantara anak buah Gerombolan Pedang Setan sebelum dan sesudah Dewi Mantili menjadi pemimpin, Ki Danulung masih muda sekali. Ia tergolong sebagai salah satu anak buah yang paling berani, jujur, cerdas dan adil. Itulah sebabnya, setelah Dewi Mantili mengundurkan diri dari Dunia Persilatan, Ki Danulung-lah yang diberi mandat untuk mengurus Padepokan Pedang Setan. Mantili berniat memberikan Pedang Setan padanya, tapi, ditolak dengan halus.
Pasca keributan, Padepokan Pedang Setan dipindahkan ke Gunung Wangsit, Ki Danulung memilih mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk pimpinan kepada SOMA WIKARTA. Untuk menghindari hal – hal yang tidak diinginkan, Kitab Jurus Pedang Setan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dipegang oleh Ki Danulung dan bagian kedua dipegang oleh Soma Wikarta. Ki Danulung menyimpan kitab tersebut dalam sebuah ruangan rahasia yang kini ditempati oleh Langkor. Sekalipun Ki Danulung menyayangi keponakannya itu, akan tetapi, melihat watak dan pribadi pemuda yang kurang baik juga rasa hormatnya kepada Dewi Mantili, wajarlah jika Ki Danulung merasa cemas dan khawatir.
Sementara itu di sebuah ruangan yang lebar dan memanjang, dalam temaram cahaya obor menempel pada dinding, tampak Langkor sedang gelisah. Ia berjalan mondar – mandir di sepanjang lorong. Sesekali ia duduk di tepi pembaringan sambil memandang ke arah langit – langit, sesekali pula ia membaringkan tubuhnya di pembaringan mencoba untuk memejamkan mata, namun, sesekali pula terbangun sambil memandangi berbagai macam hiasan dinding dan perabotan yang terbuat dari emas. Ia tak kuasa menahan jari – jemarinya untuk meraba dan membelai barang – barang berkilauan itu.
“Hm, Ayah memang tidak adil padaku,” desisnya, “Orang Bengali itu mendapatkan hampir seluruh warisan Ayah yang seharusnya menjadi milikku. Ini juga, seharusnya barang – barang ini milikku, tapi, mengapa orang lain yang mendapatkannya. Sementara aku, aku hanya mendapatkan sebidang tanah tandus, kering dan tidak menghasilkan apa – apa,”
Mendadak sepasang mata Langkor nyalang menatap seisi perabotan dalam ruangan itu, ia teringat akan perjalanan hidup yang serasa tidak adil menurutnya. Dulu sewaktu Ayahnya masih disegani dan dihormati, segala sesuatu yang diinginkan mudah didapat, semudah membalik telapak tangan. Ia bagai seorang Raja Muda, tak seorang pun berani menentang perintahnya. Akan tetapi, setelah Ayahnya bangkrut, ia selalu dikejar – kejar orang dimanapun berada. Kini nasibnya bagai seekor tikus yang terpojok, harus menumpang di rumah orang lain yang menurutnya, kumuh. Wajah Colopala berikut keluarganya juga wajah Samitra Gantari mendadak terlintas, bermunculan silih berganti di benaknya sambil tersenyum mengejek.
Tubuh Langkor bergetar hebat, darahnya bergolak, wajahnya tegang menahan amarah, ia menendang sebuah patung perunggu yang ada di hadapannya keras – keras.
“PRAK !!”
Patung perunggu itupun terpental, membentur sebuah dinding dimana terdapat lukisan seorang wanita cantik menggenggam sebilah pedang bergagang kepala tengkorak. Mendadak seisi ruangan seakan bergetar hebat dan lukisan itu terangkat ke atas. Sepasang mata Langkor terbelalak lebar, mulutnya ternganga manakala di hadapannya terpampang sebuah lubang dan dari dalam tercium aroma kayu cendana yang cukup menyengat.
Langkor meraih sebatang lilin dan perlahan – lahan melangkah mendekati lubang berbentuk persegi panjang itu. Tampak olehnya sebuah kotak kayu cendana yang merupakan sumber dari aroma wangi. Langkor menggerakkan tangan kanannya berniat untuk mengambil kotak tersebut, namun, terdengar suara berat dan sangat familiar menegurnya, “Jangan kau sentuh kotak kayu cendana itu, nak... “
Langkor melompat kaget, buru – buru menoleh ke asal suara yang terdengar dari arah belakangnya. Ki Danulung sudah berdiri dan menatap tajam ke arah Langkor. Jari – jemari Langkor sudah bergerak mengeluarkan kotak tersebut, sambil menimang – nimang dan sesekali mendekatkan hidungnya ke kotak, “Harum sekali kotak ini, Paman. Kalau boleh tahu, apa isinya ?” tanya Langkor.
“Kembalikan kotak itu pada tempatnya, nak... “ ujar Ki Danulung, ia merasa tidak senang dengan kelakuan Langkor, “Itu adalah satu – satunya kenang – kenangan mendiang Guru Paman,”
“Kalau begitu, ini adalah sebuah kitab kanuragan,” tebak Langkor sambil buru – buru membuka penutup kotak tersebut. Walau hanya sekilas, Langkor bisa membaca tulisan yang tertera pada sampul kitab : “PEDANG SETAN”. Sebelum Langkor sempat membaca lebih lanjut, mendadak, tangan Ki Danulung seperti memanjang dan berkelebat menyambar kotak tersebut. Kotak kayu cendana sudah berpindah ke tangan Ki Danulung tapi, tidak dengan isinya yang sudah berpindah ke tangan Langkor.
“Maaf, Paman ... aku tidak bisa mengembalikannya sekarang, aku sudah bosan menjadi orang yang dihina dan direndahkan. Aku bosan berlari dari para pengejarku. Setelah aku mempelajarinya, aku akan mengembalikannya pada Paman,” ujar Langkor.
“Maaf, nak... terpaksa Paman harus merebut kitab itu dari tanganmu. Aku takkan membiarkannya jatuh ke tangan orang yang salah. Kembalikan !” sambil berkata dermikian tangan Ki Danulung kembali bergerak bermaksud untuk merampas kitab Pedang Setan yang kini berada di dalam genggaman Langkor.
Sekalipun ilmu bela diri Langkor belum seberapa tinggi, ia mampu berkelit sambil mencari sela untuk melarikan diri dari tempat itu, sedang Ki Danulung berusaha untuk menghadang, atau mempersempit ruang gerak Langkor sambil sesekali mencoba untuk merebut Kitab itu, ia benar – benar tidak ingin melukai keponakannya itu.
“Jangan paksa Paman bertindak terlalu jauh, nak .... berikan Kitab itu segera, Paman berjanji tidak akan memperpanjang urusan ini,”
Langkor bersikap acuh tak acuh dengan peringatan Pamannya ini, ia terus mencari sela untuk keluar. Ki danulung tergolong sebagai orang yang cukup sabar, tapi sekalipun demikian kesabaran orang pastilah ada batas – batasnya. Dan tingkah laku Langkor ini membuat kesabaran pria tua itu menipis. Ki Danulung meningkatkan serangan, gerakannya cepat sekali menghadang kemanapun Langkor bergerak sehingga Ki Danulung tampak bukan hanya satu orang saja, tapi banyak. Ia mengurung tubuh Langkor sambil mengeluarkan suara aneh, mirip dengungan ribuan lebah.
Mendadak Langkor bagai orang kesetanan, ia menutup telinga dan matanya sambil berteriak – teriak kesakitan. Ki Danulung telah mengeluarkan salah satu ajian kadigjayaannya, yakni : TARIAN PENGGODA JIWA. Jurus yang mampu memecah konsentrasi lawan, semacam manipulasi pikiran dengan menggunakan tenaga dalam. Semakin tinggi tenaga dalam orang tersebut, semakin mudah lawan dipengaruhi. Langkor seakan merasakan seisi ruangan berputar – putar, pandangannya berkunang – kunang, lutut dan sekujur tubuhnya serasa lemas tak bertenaga, pada saat itulah tapak tangan Ki Danulung bergerak memukul tengkuk Langkor. Tak ayal lagi pemuda dengan tompel pada pipi kirinya itu roboh tak berdaya.
Ki Danulung menghela nafas panjang, “Roboh juga akhirnya bocah tengil itu,” katanya sambil mengamati Langkor yang tergolek tak berdaya, “Jika kau bukan putera kakakku, pastilah kau sudah kubunuh, bocah nakal,”
Saat tangannya bergerak hendak mengambil kitab Pedang Setan yang tergeletak tak jauh dari tempat dimana Langkor tergeletak, mendadak sepasang mata pemuda itu terbuka dan dengan gerakan yang susah diikuti oleh mata biasa, tapak tangan kanan Langkor berkelebat dan menghantam dada Ki Danulung.
..._____ Bersambung _____...