Ijab qabul yang diucapkan calon suaminya, seketika terhenti saat dirinya pingsan. Pernikahan yang diimpikan, musnah saat dirinya dinyatakan hamil. Terusir, sedih, sepi, merana dan sendirian. Itulah yang dirasakan oleh Safira saat ini.
Dalam keputusasaan yang hampir merenggut nyawanya, Safira dipertemukan dengan sosok malaikat dalam wujud seorang pria paruh baya. Kelahiran anak yang tidak diharapkan, justru membuat kehidupan Safira berubah drastis. Setelah menghilang hampir 6 tahun, Safira beserta sepasang anak kembarnya kembali untuk membalas orang-orang yang telah membuatnya menderita.
Satu per satu, misteri di balik kehamilan dan penderitaan Safira mulai terkuak. Lalu, siapakah ayah dari si kembar jenius buah hati Safira?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restviani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Masa Depan
Lara sontak menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Begitu juga dengan Opa Hadi dan Bik Cucum. Wajah kedua orang tua itu terlihat gembira menyambut kedatangan Rana dan Safira. Lain halnya dengan Lara yang terlihat ketakutan. Apalagi setelah Rana berjalan mendekatinya.
"Ikut Abang!" titah Rana, mencekal pergelangan tangan Lara dan menariknya keluar dari kerumunan para orang dewasa.
"Eh, adeknya mau dibawa ke mana, Bang?" seru Bik Cucum.
"Abang ada urusan sama Lara sebentar," sahut Rana tanpa menoleh.
"Tapi, Bang ..." timpal Opa Hadi.
"Sebentar saja, Opa!" lanjut Rana.
Opa Hadi, Bik Cucum juga Safira, hanya bisa saling pandang melihat sikap dingin Rana. Ya Tuhan ... entah mewarisi sifat siapa anak itu? Kecut dan tanpa ekspresi.
Tiba di sudut ruangan. Rana melepaskan cekalannya. Dia menatap tajam sang adik. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir mungil Rana.
Namun, Lara bisa merasakan arti tatapan elang milik saudara kembarnya itu. Gadis kecil berambut pirang itu hanya bisa menundukkan kepala seraya berkata, "Maaf, Bang!"
"Huft!"
Rana membuang napas dengan kasar. Dia tidak habis pikir dengan sikap Lara. Jika masih kecil saja Lara begitu mudah bersikap terbuka dan terlalu jujur, bagaimana jika kelak dia dewasa. Mungkin dia akan lebih mudah mempercayai orang asing begitu saja, pikir Rana.
"Lara keceplosan, Bang. Abisnya Opa Hadi terus mendesak Lara," imbuh Lara memberikan alibi.
"Opa tidak mendesak, Ra. Beliau hanya bertanya. Kamunya saja yang gampang terpancing," ketus Rana.
"Maaf!" Sekali lagi gadis kecil itu meminta maaf.
"Sebenarnya Abang enggak marah sama kamu, Dek. Abang cuma khawatir saja. Jika kamu bersikap seperti ini sejak kecil, bagaimana setelah dewasa nanti? Abang enggak mau kamu gampang terbuka sama orang, gampang percaya yang akhirnya mereka akan dengan mudah memperdaya kamu. Apalagi kamu perempuan, Ra. Kamu harus bisa menjaga diri kamu. Jangan mudah menyimpan kepercayaan kepada orang lain." Nasihat Rana panjang lebar.
"Tapi Opa bukan orang lain, Bang! Beliau kakek kita," kilah Lara.
"Abang tahu, Ra. Kamu bisa menceritakan apa pun dengan keluarga. Namun, kamu juga harus ingat jika kamu sudah berjanji pada Abang. Ra, jika memang Lara sudah berjanji, maka Lara harus bisa menepatinya," tutur Rana, kembali menasihati adiknya.
"Iya, Bang. Lara salah, Lara minta maaf," sahut Lara yang sedari tadi ingin menumpahkan air mata.
Baru kali ini sang kakak memarahinya. Meskipun setiap kalimat yang keluar merupakan sebuah nasihat, tapi nada bicara Rana sedikit tinggi. Hingga Lara merasa, jika Rana sedang memarahinya.
"Sudah, Bang. Adeknya sudah minta maaf, tuh! Enggak usah diomelin lagi!"
Tiba-tiba, Safira sudah berdiri di antara kedua anaknya. Melihat raut wajah Rana yang tegang dan juga ekspresi kesedihan Lara, Safira yakin jika kedua anaknya sedang bersitegang. Safira tidak ingin mereka menciptakan jarak satu sama lain. Karena itu, dia menghampiri Rana dan Lara.
"Bu-bunda?" ucap Rana dan Lara berbarengan.
"Kemarilah!"sahut Safira seraya merentangkan kedua tangannya.
Rana dan Lara menghambur ke dalam pelukan sang bunda. Untuk beberapa detik, mereka menumpahkan semua rasa yang tidak bisa diungkapkan lewat kata.
"Dengar, Sayang. Bunda tahu, terkadang ada perselisihan di antara saudara. Namun, pesan Bunda untuk kalian hanya satu. Sehebat apa pun perselisihan tersebut, carilah jalan keluar dengan kepala dingin. Bunda enggak mau hubungan kalian renggang hanya karena perselisihan. Apalagi untuk hal yang sepele." Nasihat Safira untuk kedua anaknya.
"Baik, Bunda," jawab Rana.
"Iya, Mom. Lara janji, Lara tidak akan membuat Abang kecewa lagi," imbuh Lara.
Rana menguraikan pelukannya. Sedetik kemudian, dia memeluk adik kesayangannya.
"Tidak apa-apa, Dek. Abang juga minta maaf karena berbicara terlalu tinggi sama Adek," timpal Rana.
"Abaang ...."
Lara mulai merengek manja kepada kakaknya. Membuat Safira tersenyum haru menyaksikan kasih sayang kedua anaknya.
Ya Tuhan ... jagalah selalu persaudaraan mereka. Mereka terlahir tanpa ayah. Kelak, tidak akan ada yang menjaga mereka selain diri mereka sendiri, batin Safira, menatap sendu kedua anaknya.
"Baiklah. Apa Bunda boleh tahu apa yang menjadi perdebatan kalian tadi?"
Pertanyaan Safira sontak membuat Rana dan Lara saling menguraikan pelukan. Untuk sejenak, mereka hanya bisa saling pandang tanpa tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan ibunya.
"Ya sudah, jika tidak ada yang ingin ngasih tahu, tidak apa-apa. Bunda tidak akan memaksa kalian. Bukankah sebagai seorang anak, kalian juga memiliki privasi?" lanjut Safira.
"Tidak apa-apa, Bunda. Bukankah sebagai seorang ibu, bunda juga berhak tahu apa yang menjadi kegiatan anak-anaknya?" balas Rana
Safira tersenyum. "Tapi Bunda enggak maksa loh, Bang."
"Iya, Bun. Abang juga enggak terpaksa kok," sahut Rana.
Bocah berusia lima tahun itu mengeluarkan tablet dari dalam tasnya. Setelah mengotak-atik sebentar, dia kemudian menunjukkan layar tablet itu kepada ibunya.
Opa Hadi dan Bik Cucum yang merasa penasaran, segera menghampiri Safira. Kening mereka pun ikut berkerut ketika melihat sebuah gambar mansion begitu megah dan unik di layar tablet milik Rana.
"Kali ini, siapa klien kamu, Bang? Opa lihat, pesanannya begitu mewah sekali," kata Opa Hadi, mengagumi gambar villa yang dibuat Rana.
"Ini klien khusus, Opa," sahut Lara.
"Hmm, pasti seorang pengusaha besar," timpal Bik Cucum.
"Bukan, Bu. Klien khusus ini hanya seorang pemimpin sebuah perusahaan furniture," tutur Lara.
"Maksud, Adek?" Kali ini Safira ikut menimpali pembicaraan mereka.
"Klien kita kali ini, adalah ibu kita sendiri. Suatu hari nanti, Abang dan Lara akan membuat mansion ini untuk rumah masa depan kita, Bun," tutur Rana.
Baik itu Safira, Opa Hadi, bahkan Bik Cucum, mereka sangat terkejut dengan rencana si kembar. Tanpa terasa, air mata mulai menetes di kedua sudut mata Safira. Kedua anak yang sempat disangkal kelahirannya, justru menjadikan Safira sebagai ratu.
"Terima kasih, Nak."
.
.
Di hotel.
"Bagaimana lukisannya? Apa sudah kamu beli?" tanya Kenzo kepada asistennya.
"Sudah, Tuan. Saat ini sedang dikemas oleh petugasnya," jawab Tomi.
"Langsung saja kamu kirim ke rumah!" titah Kenzo.
"Baik, Tuan!"
"Jika sudah selesai, cepatlah kembali! Malam ini juga, kita harus kembali ke rumah."
"Malam ini, Tuan?" ulang Tomi.
"Ya, Baginda Ratu telah menitahkan kita untuk kembali. Hmm, kamu sendiri tahu, 'kan, bagaimana reaksinya jika kita tidak mengikuti titahnya," lanjut Kenzo.
"Hmm, saya paham, Tuan. Baiklah, saya akan segera menyelesaikan urusan saya di sini. Setengah jam lagi, saya kembali ke hotel," pungkas Tomi.
Tidak ada jawaban lagi dari orang di ujung telepon. Rupanya, atasan Tomi telah memutuskan sambungan teleponnya.
"Uuh, beginilah nasib seorang asisten," gumamnya tersenyum kecut.